Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebaris Kata Terlambat Kusampaikan

2 Juni 2020   14:00 Diperbarui: 2 Juni 2020   14:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kejauhan, tampaknya ia sangat lelah. Sebatang kayu berdiameter 7 cm dengan panjang 2 meter ia jadikan tongkat. Kayu yang menopang tubuhnya yang gontai dan lelah. Hanya sayur yang ada di dalam tas ladangnya. 

Aku berdiam diri menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa nilai-nilaiku stabil. Ia meneguk air dalam jumlah yang sangat banyak. Aku merasa bersalah bila harus meminta ia memberiku uang roti. 

Hal ini karena aku belum berani untuk memulai pembicaraan persoalan hasil belajar. Tanpa diperintah aku memetik sayur daun singkong dan merendam di dalam air. Aku masih belum bisa memasak walau waktu-waktuku setiap hari, seperempatnya berada di dapur. 

Selain itu, orang tuaku maklum karena usiaku masih 9 tahun 8 bulan. Aku melihat ia mengerjakan banyak hal dan sibuk dengan ternak-ternaknya sepanjang hari. Kali ini aku banyak berdiam, ada kekecewaan kecil yang melukai perasaanku. Kekecewaan itu bukan karena makanan atau tradisi pemberian wejangan di hari pembagian rapor. Namun, ada janji terlupakan. Seperti kukatakan di dalam hidup ini terkadang ada kisah yang terlupakan dan syukurlah kalau teringat. 

Di usia yang belum singgah di angka 2 dan masih berputar pada embel-embel belasan, ia pergi. Aku hanya bisa terdiam, teringat kala hari-hari yang pernah membuatku tersenyum. Kubiarkan saja hatiku merasakan hal baru. Ia tidak akan pernah kujumpai lagi dalam kemeja yang rapi ataupun ekspresiku yang lusuh. 

Ia juga tidak dapat mendengarkanku lagi tentang nilai yang menanjak atau melandai. Ia juga tidak dapat menjanjikan atau mengingkari apa pun. Yang paling menyakitkan, tak sempat kusampaikan maaf atau terima kasih di malam hari. Seharusnya sebelum subuh itu tiba aku bisa menelpon dan menanyakan kondisinya. 

Tidak lagi perlu aku menyalahkan waktu. Semuanya sudah tidak seperti yang dulu. Aku harus menemukan keberanian untuk berujar tentang rasaku dan  menemukan orang-orang yang baik. Wanita tua itu yang melahirkan ayahku. Meskipun tidak tersampaikan di indera pendengarannya, aku ingin mengucapkan bahwa aku juga mengasihinya. Aku menuliskannya karena dengan kata-kata yang tertuliskan keterlambatanku dapat kuobati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun