Biarkan saja semua keluhmu tertumpah. Tetap sampaikan meskipun itu menyakitkan. Bagi kita kawanan yang berperang dengan segala persoalan menunggu waktunya datang perubahan. Aku menunggu angin sepoi-sepoi itu mendebarkan niatku, mengusik segala nyaman yang kian membuatku tegar.
Para kawanan burung terus bersiul-siul meski waktu telah berubah menjadi gelap. Hari ini menjadi langkah yang nyata untuk kamu dan aku. Serangkaian kata-kata menghiasi kegelisahan dan kebingungan yang takkan pernah memiliki ujung selesai. Di bawah awan-awan yang sibuk berlari.
Di tengah udara yang selalu menyendiri ada pula sepi ku rasakan. Bingung sekali ingin berkata apa. Tumpukan jadwal belajar selalu mengusik pikiranku. Tapi, ribuan halu aku telah menyelesaikannya.
Pantas sekali aku bermimpi sebanyak napasku berhembus. Menghitung-hitung kesempatan akan datang berkali-kali. Seolah-olah aku sedang menggandeng tinta mengajaknya berdansa di atas permadani kertas.
Heran, seheran-herannya mataku mendelik. Kacau, hari ini sudah hampir pukul 3 sore, lamunanku masih merayap di selaput pikirku. Mataku kering dan hembusan napas berulang-ulang kukeluarkan dengan nada sumbang. Hari ini kesempatannya datang lagi, pilihan terbaik bila aku terdiam di atas kesakitan dan memikirkan hal-hal yang berguna.
Ketimbang tatapan kosong, linglung, dan akan nyata menjadi Sabari dalam novel karya Andrea Hirata. Bila kau tertarik koleksi aja yang judulnya Ayah. Gelutku tidak pula berakhir tanganku semakin lihai menari. Namun, tampaknya tak berhasil. Pandang saja coret-coretan ini penuh dengan halusinasi bertuliskan "DONE" untuk ujian-ujian akhir. Apa lagi usaha yang perlu kulakukan untuk meyakinkan engkau.
Tidak cukup dengan ini, masa-masa di mana gerakan-gerakan melambat menggaruk-garuk kepala dan akhirnya menjadi tak normal. Aku masih bisa berpaling, menegakkan diri agar segera meraih lembaran-lembaran yang membuat emosiku tidak stabil. Aku melihat ada coretan-coretan hitam yang sengaja membuat jadwalku tidak lagi kulihat. Kubalikkan tubuhku dan menghentak keras di lantai.
"Awwww...."
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan telah berdiri di hadapanku. Penglihatanku buram. Jelas sekali orang ini dekat denganku, rambutnya yang tidak tertata rapi dan daster yang dikenakannya sudah tidak lagi asing bagiku. Aku mengelus-elus kepalaku sendiri. Tidak kusadari bahwa di bawah alam sadar tugas-tugas itu turut menghantuiku.Â
"Kamu bermimpi?" tanyanya pelan padaku.
"Hm" singkat kuberi jawab. Ia menyentuh kepalaku dengan tekstur tangannya yang kasar. Aku semakin menyadari ketulusannya padaku. Namun, dengan jujur aku masih merasa malu dengan kejadian ini. Aku membenamkan wajahku di balik kain yang layaknya kusebut selimut. Bagi sebagian kaum, ini merupakan potongan kain yang tidak terpakai. Namun, bagiku ini sungguh cukup untuk menghangatkan.Â