Mohon tunggu...
Helen Tuhumury
Helen Tuhumury Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Quiet but an easy going person

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Natal dan Konsumerisme: Memikir Ulang Tradisi dalam Era Konsumtif

24 Desember 2023   11:59 Diperbarui: 25 Desember 2023   07:05 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Pembeli memilih ornamen Natal di salah satu toko di Pasar Asemka, Jakarta Barat, Senin (12/12/2023).  | KOMPAS/REBIYYAH SALASAH 

Beberapa hari belakangan ini menjelang hari Natal, pusat-pusat perbelanjaan di  kota Ambon menjadi penuh sesak, sampai kesulitan untuk mencari parkiran.  

Orang- orang berbelanja kebutuhan untuk perayaan Natal, maupun berburu baju, sepatu baru, mencari kado-kado yang akan diberikan saat Natal. Berbelanja untuk baju dan sepatu baru menjelang Natal membawa nuansa kegembiraan yang tak terbantahkan. Saat langkah pertama memasuki pusat perbelanjaan, suasana penuh semangat Natal terasa begitu nyata. 

Di dalam toko, lampu-lampu berkilau dan hiasan-hiasan Natal memberikan sentuhan magis pada pengalaman berbelanja. Rak-rak penuh dengan pilihan baju-baju terbaru, dan aroma harum kain baru menyelimuti udara. Melalui setiap hentakan langkah di lorong sepatu, berbagai model dan warna menarik memikat perhatian. Memegang baju dan sepatu yang akan menjadi bagian dari perayaan Natal memberikan sensasi sentuhan lembut dan harapan baru. 

Dalam momen ini, belanja bukan hanya sekadar pencarian barang, tetapi juga perjalanan menyenangkan yang dihiasi dengan antusiasme Natal. Aroma konsumerisme memenuhi udara perayaan Natal.

Natal, sebagai perayaan keagamaan dan budaya, telah menjadi momentum berbagi kasih sayang, kedamaian, dan kegembiraan. Namun, di tengah pesatnya perkembangan masyarakat konsumtif, perayaan Natal semakin terjerat oleh fenomena konsumerisme. Bagaimana konsumerisme mempengaruhi makna Natal, memicu perdebatan tentang nilai-nilai yang mendasari perayaan ini.

Di satu sisi konsumerisme saat Natal dipandang sebagai pendorong ekonomi. Konsumerisme Natal dapat memberikan dorongan signifikan bagi ekonomi. Meningkatnya permintaan barang dan jasa selama musim liburan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

Sebagai contoh, peningkatan penjualan ritel selama musim Natal dapat memberikan dampak positif pada sektor perdagangan dan industri.  Dari tahun ke tahun konsumerisme di seputar Natal  sudah juga menjadi tradisi dan antusiasme. 

Pembelian hadiah, baju, sepatu baru, dan dekorasi Natal menjadi bagian dari tradisi dan antusiasme perayaan. Konsumerisme membantu menciptakan atmosfer yang meriah dan berwarna di sekitar perayaan ini. 

Melalui pemberian hadiah, orang dapat mengekspresikan kasih sayang dan kepedulian kepada orang-orang terdekat, memperkuat ikatan sosial. Selain itu konsumerisme juga mendorong inovasi produk dan desain. 

Permintaan yang tinggi selama musim Natal mendorong inovasi produk dan desain. Perusahaan bersaing untuk menciptakan barang yang menarik konsumen dengan desain kreatif dan inovatif. Ini menciptakan lingkungan di mana konsumen memiliki akses lebih banyak ke produk yang unik dan berkualitas tinggi.

Namun di lain sisi, konsumerisme Natal  cenderung menyebabkan hilangnya makna spiritual dari Natal itu sendiri.  

Konsumerisme Natal sering kali mengalihkan perhatian dari makna spiritual perayaan tersebut. Dorongan untuk membeli dan memiliki barang-barang baru dapat mengaburkan nilai-nilai seperti solidaritas, kedamaian, dan pemberian tanpa pamrih yang seharusnya menjadi fokus utama Natal. 

Lebih lagi, dorongan untuk membeli barang-barang baru selama musim Natal dapat menyebabkan peningkatan pemborosan dan limbah. Hadiah-hadiah yang dibeli mungkin tidak selalu dibutuhkan atau diinginkan, menyebabkan penumpukan barang yang tidak terpakai dan meningkatkan dampak lingkungan.

Konsumerisme Natal seringkali memicu tekanan finansial pada individu dan keluarga. Upaya untuk memenuhi ekspektasi sosial dan memberikan hadiah-hadiah mahal dapat mengakibatkan utang dan ketidakstabilan keuangan jangka panjang.

Perayaan Natal, yang seharusnya menjadi momen untuk merenungkan kelahiran Yesus Kristus dan mewartakan pesan kasih dan damai, seringkali terperangkap dalam belitan konsumerisme yang membingungkan. 

Konsumerisme Natal menciptakan dunia di mana perhatian utama terfokus pada pembelian, hadiah-hadiah mahal, dan keinginan akan barang-barang materi. Dalam sorotan konsumtif ini, makna spiritual Natal sering kali tergeser dan bahkan hilang di tengah-tengah gemerlap lampu-lampu kilau dan penjualan besar-besaran.

Konsumsi yang berlebihan selama musim Natal dapat menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan kepuasan dapat dicapai melalui akumulasi barang-barang material. Pemberian hadiah menjadi lebih berorientasi pada nilai materi daripada nilai-nilai batiniah. Alhasil, esensi sejati Natal, yakni kasih sayang, kerendahan hati, dan kehadiran spiritual, sering kali terabaikan

Dari sudut pandang teologis, fenomena konsumerisme Natal yang merajalela menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana kita sebagai masyarakat Kristen menjalani perayaan ini. Dalam Alkitab, Yesus Kristus diberikan kepada dunia sebagai tanda kasih Allah yang tanpa syarat (Yohanes 3:16). Namun, perayaan ini seolah-olah telah dibalik, dengan perhatian yang lebih besar diberikan pada apa yang kita terima daripada apa yang kita berikan.

Di tengah-tengah pusaran konsumerisme, kita perlu merenungkan makna kasih dan kepedulian yang terwujud dalam kelahiran Yesus Kristus. Kasih tersebut bukanlah sekadar dalam bentuk hadiah-hadiah mahal, tetapi lebih pada keberadaan dan kepedulian terhadap sesama. Pemberian kasih harus mencerminkan pemberian Allah yang tidak tergantung pada kekayaan materi.

Natal mengajarkan nilai-nilai kerendahan hati dan pengorbanan. Yesus dilahirkan dalam kemiskinan di palungan, dan hal ini menjadi teladan kerendahan hati yang harus diikuti oleh pengikut-Nya. 

Konsumerisme yang berlebihan bertentangan dengan kerendahan hati, karena seringkali menunjukkan kecenderungan untuk menilai nilai seseorang berdasarkan pada kekayaan dan kepemilikan.

Kitab Kejadian mencitrakan Allah sebagai Pencipta yang memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk merawat dan menjaga bumi (Kejadian 2:15). Dalam konteks ini, konsumerisme Natal yang menyebabkan peningkatan pemborosan dan limbah menjadi tidak sejalan dengan tanggung jawab kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan untuk menjaga kelestarian alam.

Refleksi teologis mengajak kita untuk kembali ke nilai-nilai sejati Natal. Ini mencakup pengembalian makna spiritual dalam perayaan ini dengan memusatkan perhatian pada kelahiran Kristus, dan bukan pada pengejaran materi yang tak berkesudahan. Menghidupkan kembali makna spiritual Natal membutuhkan keberanian untuk menentang arus konsumerisme dan mengutamakan nilai-nilai yang lebih abadi.

Sebagai umat Kristen, kita diingatkan bahwa kekayaan sejati tidak dapat diukur oleh harta benda materi, melainkan oleh kekayaan rohani yang mengalir dari hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, Natal menjadi panggilan untuk melepaskan diri dari ikatan konsumerisme yang membingungkan dan menyelami kedalaman makna spiritualnya.

Seiring gemerlap lampu-lampu Natal yang semakin redup dan nyanyian-nyanyian Natal yang perlahan memudar, kita dihadapkan pada penutup perayaan yang mencerminkan pertanyaan mendalam tentang hubungan antara Natal dan konsumerisme dalam era ini. 

Tradisi Natal, yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai spiritual dan kebersamaan, sering kali merosot ke dalam pusaran belanja dan konsumsi berlebihan. 

Dalam era konsumtif ini, kita diingatkan untuk memikir ulang tradisi-tradisi yang mendasari perayaan ini. Bukanlah hadiah-hadiah mahal yang seharusnya menjadi fokus utama, tetapi makna spiritual yang menghidupkan semangat Natal. 

Mungkin saatnya bagi kita untuk merenung dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati Natal tidak dapat ditemukan dalam kuantitas hadiah yang kita berikan atau terima, melainkan dalam kualitas hubungan dan pengalaman berbagi kasih sayang. 

Dengan begitu, kita dapat membuka pintu bagi perayaan Natal yang lebih bermakna dan mendalam, melepas diri dari belenggu konsumerisme yang memudar dan mengembalikan makna sejati perayaan ini dalam diri kita dan dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun