skripsi sebagai syarat kelulusan. Beberapa teman lain memilih jalur nonskripsi.Penulisan skripsi membutuhkan usaha dan perjuangan. Saya tahu itu dan saya sudah siap. Yang saya tidak sangka, proses itu akan dibumbui drama.
Di akhir masa studi sebagai mahasiswa jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), saya memilih membuatTragedi tepatnya.
Jujur, dulu saya termasuk orang yang senang mengerjakan segala tugas sekolah di saat-saat terakhir. Belajar pun hampir selalu sistem kebut semalam. Tugas yang dikumpulkan minggu depan, pantang diselesaikan sebelumnya.
Tapi, saat mengerjakan skripsi, saya berhasil menyelesaikan semuanya dua hari sebelum tenggat waktu. Bahagia banget rasanya. Selesai mencetak dan menjilid semua copy skripsi yang diperlukan, saya pergi ke gimnasium UI. Kebetulan hari itu ada latihan hoki. Sebagai anggota tim, saya ingin bersenang-senang di lapangan setelah sebelumnya menghabiskan malam-malam tanpa tidur nyenyak.
Begitu akan pulang dari gimnasium, saya baru sadar kalau tas ransel saya raib. Hilang tak berbekas!
Awalnya saya pikir ini ulah iseng teman-teman PHUI (Perkumpulan Hoki Universitas Indonesia), tapi ternyata tidak.
Beberapa hari kemudian seseorang menghubungi saya via pager atau penyeranta (dulu belum banyak yang memiliki handphone).
Dia bilang tas saya ada padanya. Kalau mau tas itu kembali, saya harus menyerahkan sejumlah uang.Â
Ini pemerasan!
Tentu saja saya tidak menuruti kemauan si pencuri. Selain memang tidak punya uang, saya tidak yakin pelaku akan langsung mengembalikan tas meski uang sudah ditransfer.
Saya kalut luar biasa. Bayangkan saja. Deadline skripsi tinggal satu hari lagi, sementara skripsi saya entah di mana. Sialnya, seluruh disket dan back up-nya juga ada di ransel yang hilang itu. Data di rental komputer tempat saya mengetik juga sudah tidak ada karena rental itu selalu menghapus semua data setiap hari.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah menemui pembimbing skripsi saya, yaitu Ibu Setiawati. Setelah menjelaskan segala permasalahannya, kampus memberikan saya kelonggaran waktu satu bulan untuk mengumpulkan skripsi. Fiuhhh! Lega.
PR selanjutnya adalah menceritakan masalah ini pada orang tua saya, terutama pada ayah saya yang tergolong keras.
Benar saja, begitu tahu kejadiannya, saya langsung dimarahi habis-habisan. Saya dianggap ceroboh karena tidak langsung menyimpan skripsi-skripsi itu di kos dan malah main hoki.