Fenomena kekerasan dalam masyarakat adalah masalah yang perlu mendapat perhatian secara serius. Salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi adalah bullying atau perundungan, yang akhir-akhir ini sedang marak dipebincangkan.
Kasus demi kasus bullying yang berujung kekerasan, penganiayaan hingga kematian akibat bunuh diri, terjadi di satuan pendidikan sungguh mengejutkan kita.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan ada 23 kasus bullying di satuan pendidikan yang terjadi mulai Januari hingga September 2023. Dari 23 kasus tersebut, 50 persen terjadi di jenjang SMP, 23 persen terjadi di jenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK (tirto.com, 2023).
Kasus-kasus tersebut membuat kita membuka mata lebar-lebar dan merefleksikan pertanyaan, apa yang salah dengan dunia pendikan kita saat ini? Dan mengapa generasi muda, anak-anak kita begitu barbar mempraktikan kekerasan?
Secara harafiah bullying berarti intimidasi atau penindasan, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyakiti atau mengintimidasi orang lain yang lebih lemah secara fisik maupun psikologis. Tindakan ini dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau psikologis, yang menyebabkan korban merasa terluka, tidak nyaman, tertekan, trauma, dan tak berdaya.
Sejumlah analis sosiologis dan psikologis mengidentifikasi bullying melalui tiga karakteristik yakni disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan (https://www.unicef.org/indonesia/).
Bullying sering kali terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan antara pelaku dan korban. Pelaku bullying merasa kuat dan berkuasa, sedangkan korban merasa lemah dan terisolasi.
Pelaku bullying biasanya berasal dari kalangan masyarakat yang memiliki kekuatan fisik, kecerdasan, kekayaan, atau kepopuleran yang lebih besar dari korban. Sedangkan korban yang mendapat bullying biasanya berasal dari kalangan masyarakat yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, ras, gender, fisik, atau orientasi seksual (https://www.unicef.org/indonesia/).
Fenomena bullying yang terjadi akibat ketimpangan relasi kekuasaan, karenanya maka bullying merupakan fakta sosial kemasyarakatan. Dengan lain perkataan, meskipun lebih dikenal dalam konteks pendidikan, kasus-kasus serupa bullying sebenarnya mengakar dalam tatanan kemasyarakatan kita.
Dengan demikian, bullying sebagai cerminan kekerasan dalam masyarakat menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah masalah yang terisolasi. Kekerasan dapat terjadi di berbagai lapisan dan lingkungan masyarakat, baik itu di sekolah, tempat kerja, atau dalam interaksi sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan sikap dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena itu, bullying sebagai cerminan kekerasan dalam masyarakat merupakan peringatan bahwa kita perlu bergerak bersama untuk menciptakan masyarakat yang setara, Â aman, damai, dan tidak toleran terhadap kekerasan.
Pertama, pendidikan tentang pentingnya menghargai dan menghormati orang lain perlu diberikan sejak dini di lingkungan keluarga dan sekolah. Anak-anak perlu diajarkan tentang pentingnya empati, toleransi, dan kepedulian terhadap sesama dengan memperkuat sistem pendidikan yang inklusif.
Kedua, perlu ada upaya yang lebih besar untuk menghentikan budaya kekerasan dengan mempromosikan budaya perdamaian, saling menghargai, dan kerjasama dalam masyarakat sebagai upaya mencegah tindakan serupa di masa depan.
Dengan demikian, melalui pendidikan, kesadaran, dan tindakan nyata, kita dapat mengubah budaya kekerasan menjadi budaya perdamaian. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menghentikan siklus kekerasan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Ki Hadjar Dewantara (KHD) pernah berujar, pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan sebagai tonggak pembangunan manusia, bukan hanya mencetak generasi yang terdidik tetapi juga mencerminkan nilai, budaya, dan harapan masyarakat tempatnya berada.
Singkat cerita maka menciptakan relasi yang setara tanpa ketimpangan adalah kunci untuk mebangun tatanan Masyarakat yang adil makmut tanpa kekerasan. Tatanan Masyarakat yang demikan hanya mungkin terwujud dalam tata nilai masyarakat tanpa kelas.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI