Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Carita Anak-anak Alam

17 Juni 2020   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2020   13:26 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cafe Lico, Yogyakarta 2017

Malam itu secangkir kopi  hitam menemani kami bertiga. Tak luput, sebungkus gudang garam hitam hadir dalam pergumulan tiga insan manusia muda. Asapnya mengepul bergulung-gulung pecah di udara dan abu arangya jatuh ke lantai. 

Di luar ruangan, gemercik hujan tak henti-hentinya bernyanyi. Mungkin mereka lagi bersuka cita, melepas pisah putaran musim yang tak kunjung usai. 

Ruangan cafe Lico itu begitu ramai. Beberapa pemuda dan pemui hilir mudik mengambil posis yang tak jauh dari kami. Ada yang duduk dibangku dan ada pula yang duduk lesehan di lantai.

Kopi hitam dengan cerutu terjepit di tangan masing-masing terus kami nikmati. Tak membiarkan sang waktu berlalu begitu saja, kami bercengrama walau hiruk pikuk tak kunjung selesai.

Kawan ku yang satu asalnya dari bumi Kalimantan. Ia sastrawan jalanan., Yasir namanya. Satu lagi dari  timur Halmahera, aktivis mahasiswa, namanya Ali. Dan aku dari bumi Nusa Bunga-Flores.

Yasir mengawali ceritanya tentang dasyatnya flora dan fauna di hutan di kampung halamnya. 

Bumi kalimantan penuh dengan hutan, aku tak mampu menghitung banyak jumlahnya pohon-pohon di hutan kami itu.. pokoknya dasyat...!! Ia mengoceh sambil tangannya yang bertato pedang menjepit erat sang cerutu dan asap berlahan menyembur dari bibirnya.

Hutan kami itu eksotik kawan. ia melanjutkan pembicaraan. Masyarakatnya masih nomaden, mereka menikmati hasil alam, dan sangat menjaga serta merawatnyanya...! 

Tapi itu dulu, ketika hutan kami jumlahnya beribu-ribu. Heemmmm...! Sekarang hutan kami bisa dihitung dengan jari. Hutan kami sekarang sudah hancur. Masyarakat adat kami sudah tak bergenerasi, mati berlahan tapi pasti.

Hujan terus menitik pada celah-celah batu. Jarum jam terus berdetak. Angin malam menerobos masuk lewat tirai bambu, persis disebelah kami. Diskusi pun kian menukik. Suasana yang ramai tak menghambat perbincangan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun