Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tanya

8 Juni 2020   12:42 Diperbarui: 8 Juni 2020   12:59 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya, umat manusia selau dihadapkan dengan sejumlah pertanyaan sulit yang muncul yang tidak dapat kita temukan jawabannya yang memuaskan. Maka muncul dua kemungkinan, kita dapat memperdayai diri sendiri dan seluruh dunia dengan berpura-pura bahawa kita mengetahui segala hal yang harus diketahui, atau kita dapat menutup mata terhadao masalah-masalah penting dan tinggal diam. Pada titik ini manusia terbagi menjadi dua, mereka merasa sangat yakin atau sama sekali tidak peduli (Jostein Gaarder, Dalam Dunia Shopie)


Tangerang, Minggu pagi-02 Juli 2017

Udara pagi saat itu begitu lembut. Mentari memancarkan sinarnya dengan gagah perkasa, cahayanya yang merona menjernihkan semesta raya. Di pagi yang cerah ini, aku berniat untuk ke gereja, namun entah mengapa pikiran ku berubah haluan. Pulang ke Jogja. Ya... aku harus pulang ke Jogja.

Sudah dua minggu aku berlibur di Tangerang. Di kota ini aku tinggal bersama Om dan Tante ku. Mereka sudah lama tinggal dan bekerja di sini.

Aku pun bergegas memperisapakan barang-barang ku untuk balik ke jogja, dan cepat-cepat menyampaikan niat ku ini ke pada Om dan tante, dan akhirnya mereka mengizinkan aku pulang ke jogja.

Tanpa menunggu lama, aku bergegas menuruni anak tangga menuju teras depan sambil menjinjing tas di belakang ku.  Om dan tante ku sudah siap-siap hendak ke gereja, kebetulan rute perjalan ke gereja melewati terminal bus, sehingga aku pun ikut naik mobil bersama mereka. Sesampainya di terminal bus aku pun turun dan berpamitan dengan mereka, dan mereka pun kembali melaju dengan cepat menuju gereja.

Rupanya bus yang akan mengbungkan dua kota Tangerang-Jakarta sudah berdiri dengan gagah dibibir jalan. Tanpa menunggu aba-aba aku pun langsung naik dan duduk dibangku paling depan. Tak lama dari itu, beberapa penumpang mulai memenuhi bangku-bangku bus hingga ada yang berdiri di pintu bagian belakang.

Sang kondektur mulai memberi aba-aba bahwa bus akan segera diberangkatkan. Berlahan tapi pasti sang pengemudi mulai mencapkan gas, dan tak lama kemudian roda bus yang aku tumpangi berputar begitu cepat, melaju melawati jalan lurus. Asapnya mengepul dan mengudara. 

Hilir mudik kendaraan begitu ramai. Di kiri dan kanan jalan tampak gedung-gedung mewah, tak luput juga perumahan dan perkantoran. Suasana kota terjebak dalan keriuhan. Aktivitas  dan kesibukan masyarakat kota begitu kental terlihat di kelopak mata.

Di dalam bus, bangku-bangku berderet telah di penuhi oleh penumpang. Berdesak-desakan menjadi pemandangan yang gerah. Dilumuri dengan keringat pagi yang bercampur dengan wewangian parfum mengusik penciuman seketika menambah pengap ruangan bus yang tak berAc itu. 

Sejauh mata memandang dari bibir jendela bus, gedung-gedung menjulang tinggi mengecup cakrawala. Tampak kota begitu indah bila dihiasai dengan rupa-rupa arsitektur pembangunan. Inilah ciri khas wilayah perkotaan, khususnya kota metropolitan seperti Jakarta ini.

Aku yang sedang duduk menghadap jendela sambil menikmati pancaran cahaya pagi dengan bingkisan bangunan gedung yang begitu lekat di bola mata, tiba-tiba terkejut dengan tingkah seorang wanita paruh baya, berumur kurang lebih 40 an tahun. Ia berjalan di lorong tengah tempat duduk. Jalannya agak pincang, mungkin dia seorang disabilitas, aku bertanya dalam hati. 

Sambil berjalan rupanya ia memberikan aplop putih kepada semua penumpang yang ada di dalam bus itu. Aku pun menerima amplop yang ia berikan itu. Ada apa gerangan dengan amplop yang ia berikan ini? Aku bertanya dalam hati. Segera kuraih aplop yang ia sodorkan dengan tanda tanya. Di bagian luar dari aplop tersebut tertulis sebuah memo singkat: bapa/ibu/sdr/sdri sekalian, mohon bantun dan keiklasannya, berapa pun bantuan anda saya haturkan limpah terima kasih.  

Sambil memegang amplop yang bertuliskan kalimat itu, aku kembali memandang bangunan gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di luar sana. Aku bertanya dalam hati...! Apa gunanya gendung-gedung mewah di sisi kiri kanan jalan ini? Apa gunanya pernak-.pernik yang menghiasai sudut-sudut perkotaan? Untuk siapakah semuanya itu? Sementara ada sebagian orang yang masih memungut rupiah dengan mengemis, mengamen. Mengapa demikian? Aku bertanya..

Roda bus tetap melaju kencang. Sesekali ia berhenti guna merotasi penumpang yang hendak naik dan turun. Bedesak-desakan dan berebutan tempat duduk menjadi tontonan yang sudah biasa. Tak hanya penumpang rupanya yang naik, pengamen jalanan pun ingin mengadu nasip mengais rejeki dalam bus. Memohon belas kasihan para penumpang dengan menukarkan bingkisan lagu yang mereka nyanyikan dengan recehan rupiah. 

Ada beberapa pengamen yang juga naik dalam bus, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sekejap suasana dalam bus berubah laksana orkestra, suara dan musik "orang-orang jalanan" memecah kesunyian.

Yaa....., Orang-orang jalanan menjadi label bagi mereka yang mengemis dan mengamen. Kadang mereka dituduh sebagai penghambat pembangunan, orang yang suka melakukan huru hara dan merusak keindahan kota. Begitulah label dan stereotipe bagi mereka oleh orang kebanyakan.

Inilah pemandangan oposis biner kehidupan; kaya/miskin, punya uang/tak punya uang, kenyang/lapar dan lain-lannya. Dalam pandangan dunia yang liberal dan kapitalistik sepetri sekarang, variabel pertama cenderung lebih superior dari pada yang dua. Bahakan yang pertama mendominasi yang kedua. Sesungguhnya telah menyejarah dalam historigrafi umat manusi yang berkelas-kelas.

Aku yang duduk membisu di kursi bagian depan dibuat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan ini, bahkan ia terngiang-ngiang dalam kepalaku ketika menyaksikan pemandangan yang dekat dengan kelopak mata ku itu. 

Roda bus pun terus melaju dengan angkuh, dan aku masih menyimpan sejuta pertanyaan tentang angkuhnya kehidupan yang penuh dengan anomali**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun