Aku yang sedang duduk menghadap jendela sambil menikmati pancaran cahaya pagi dengan bingkisan bangunan gedung yang begitu lekat di bola mata, tiba-tiba terkejut dengan tingkah seorang wanita paruh baya, berumur kurang lebih 40 an tahun. Ia berjalan di lorong tengah tempat duduk. Jalannya agak pincang, mungkin dia seorang disabilitas, aku bertanya dalam hati.Â
Sambil berjalan rupanya ia memberikan aplop putih kepada semua penumpang yang ada di dalam bus itu. Aku pun menerima amplop yang ia berikan itu. Ada apa gerangan dengan amplop yang ia berikan ini? Aku bertanya dalam hati. Segera kuraih aplop yang ia sodorkan dengan tanda tanya. Di bagian luar dari aplop tersebut tertulis sebuah memo singkat: bapa/ibu/sdr/sdri sekalian, mohon bantun dan keiklasannya, berapa pun bantuan anda saya haturkan limpah terima kasih. Â
Sambil memegang amplop yang bertuliskan kalimat itu, aku kembali memandang bangunan gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di luar sana. Aku bertanya dalam hati...! Apa gunanya gendung-gedung mewah di sisi kiri kanan jalan ini? Apa gunanya pernak-.pernik yang menghiasai sudut-sudut perkotaan? Untuk siapakah semuanya itu? Sementara ada sebagian orang yang masih memungut rupiah dengan mengemis, mengamen. Mengapa demikian? Aku bertanya..
Roda bus tetap melaju kencang. Sesekali ia berhenti guna merotasi penumpang yang hendak naik dan turun. Bedesak-desakan dan berebutan tempat duduk menjadi tontonan yang sudah biasa. Tak hanya penumpang rupanya yang naik, pengamen jalanan pun ingin mengadu nasip mengais rejeki dalam bus. Memohon belas kasihan para penumpang dengan menukarkan bingkisan lagu yang mereka nyanyikan dengan recehan rupiah.Â
Ada beberapa pengamen yang juga naik dalam bus, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sekejap suasana dalam bus berubah laksana orkestra, suara dan musik "orang-orang jalanan" memecah kesunyian.
Yaa....., Orang-orang jalanan menjadi label bagi mereka yang mengemis dan mengamen. Kadang mereka dituduh sebagai penghambat pembangunan, orang yang suka melakukan huru hara dan merusak keindahan kota. Begitulah label dan stereotipe bagi mereka oleh orang kebanyakan.
Inilah pemandangan oposis biner kehidupan; kaya/miskin, punya uang/tak punya uang, kenyang/lapar dan lain-lannya. Dalam pandangan dunia yang liberal dan kapitalistik sepetri sekarang, variabel pertama cenderung lebih superior dari pada yang dua. Bahakan yang pertama mendominasi yang kedua. Sesungguhnya telah menyejarah dalam historigrafi umat manusi yang berkelas-kelas.
Aku yang duduk membisu di kursi bagian depan dibuat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan ini, bahkan ia terngiang-ngiang dalam kepalaku ketika menyaksikan pemandangan yang dekat dengan kelopak mata ku itu.Â
Roda bus pun terus melaju dengan angkuh, dan aku masih menyimpan sejuta pertanyaan tentang angkuhnya kehidupan yang penuh dengan anomali**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H