Mohon tunggu...
Helena Safitri
Helena Safitri Mohon Tunggu... Lainnya - Mom-blogger

Menjalani homeschooling usia dini membuat Helena suka belajar parenting dan menuliskannya di Helenamantra.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Melalui Jalan Pagi

29 Agustus 2021   04:33 Diperbarui: 29 Agustus 2021   06:57 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mampir di kandang kambing/dokpri

PPKM membuat aktivitas saya dan keluarga lebih banyak di dalam rumah. Namun, pagi itu berbeda karena anak-anak bangun lebih awal. Mumpung bangun pagi, saya mengajak mereka jalan-jalan pagi di sekitar tempat tinggal kami. Apa yang kami temukan?

Jalan-jalan di sini benar-benar berjalan kaki. Rasanya sudah lama tidak melakukannya padahal sebelum pandemi kami terbiasa jalan pagi keliling ke gang sebelah. Tentunya diakhiri dengan membeli sarapan nasi uduk langganan. Hehe ....

Mengapa berjalan kaki? Selama ini kami setiap keluar rumah lebih sering naik motor. Jadinya fokus ke mencapai tujuan dengan cepat. Beda dengan berjalan kaki yang lebih slow dan fleksibel.

Kandang Kambing

Rute pertama, keluar gerbang belok kiri. Di sana, kami menemukan kandang kambing. Si sulung minta berhenti cukup lama untuk melihat lebih dekat kambing-kambing tersebut.

Ada sekitar dua puluh kambing di situ. Kebetulan mereka sedang diberi makan daun lamtoro. Wah, pemandangan menarik bagi kami, nonton kambing sarapan.

Kambing-kambing itu berkulit, eh atau berambut, hitam, putih, dan cokelat. Motif di tiap badannya berbeda antara satu kambing dengan yang lain. Kami menemukan ada yang motifnya seperti memakai kacamata karena terdapat lingkaran hitam pada sekeliling matanya.  Masya Allah, unik-unik banget.

Kami cukup lama berhenti di samping kandang kambing. Si sulung begitu menikmati observasinya. Bagaimana dengan aroma kambing yang aduhai? Alhamdulillah kami memakai masker! Hehe ....

Saking lamanya kami mengamati para kambing sampai penjaga atau pemiliknya datang. Ia menawarkan kambing tersebut dengan harga 2jutaan rupiah. 

Anak saya mengingat-ingat berapa uang tabungannya. Lebih baik beli kambing atau sepeda?

Jembatan Cinta

Perjalanan kami lanjutkan dengan menyeberangi jembatan kecil yang hanya dapat dilalui motor dan manusia. Jembatan ini membentang di atas kali. 

Insya Allah Jembatan Cinta, begitu kami menyebutnya, kuat dan aman. Namun, membawa dua anak kecil cukup menantang. Khawatir mereka ngintip ke bawah, meleng, mak byur ....

Menyeberangi jembatan membuat kami belajar keseimbangan dan kehati-hatian lebih hati-hati lagi.

Pemandangan kali di jembatan ini sungguh tidak sedap dipandang. Airnya keruh, gelap, dan banyak sampah terombang-ambing di sana. Sering kali kami melihat petugas kebersihan membantu melancarkan aliran sungai dengan excavator, menjaring sampah, namun tetap saja banyak sampah hanyut di sana. Ku gemas dengan pihak yang membuang sampah sembarangan di sungai!

Kehausan

Dari Jembatan Cinta, kami mengambil rute menyusuri kali. Ada opsi lain untuk masuk ke gang sebelah tapi itu lain kali, lah.

Di sepanjang kali, berdiri rumah-rumah pemotongan ayam. Terdapat kotak-kotak besar untuk membawa ayam menggunakan mobil. Ada drum-drum biru tempat merendam ayam. Nampak juga lantai yang kusam berbercak merah tempat pembantaian, eh pemotongan ayam terjadi.

Tak terasa perjalanan kami semakin jauh. Mau pulang ke rumah perlu menuntaskan jarak yang cukup panjang juga karena tidak ada jalan pintas. Anak-anak pun mulai kehausan dan kami tidak membawa bekal.

Sepanjang jalan yang kami lalui tidak ada toko atau warung yang buka. Si sulung perlu belajar menahan rasa haus dan lelahnya berjalan kaki. Satu lagi pembelajaran pagi itu.

Sampai di perempatan jalan, alhamdulillah ada minimarket buka. Kami rehat sejenak di sana.

Si sulung yang bertugas membeli minuman, masuk sendiri ke dalam toko, memilih, lalu membayar di kasir. Alhamdulillah ia sudah mandiri urusan belanja seperti ini. Saya bangga melihat kemajuannya di usia 6 tahun.

Menaklukkan Ketakutan

Saat kami asyik ngobrol, re-call perjalanan hari itu, datanglah ujian untuk si bungsu. Apa itu?

Ada ondel-ondel menghampiri kami. Hihi .... Si bungsu ini takut melihat ondel-ondel. Ia bisa menangis dan memeluk saya erat.

Saya juga kaget melihat tampang ondel-ondel pagi itu. Tingginya sekitar 1,5 meter dengan bentuk kepala seperti tengkorak. Ah aneh banget, tidak biasanya begini. Buru-buru saya memasukkan uang receh pada kaleng cat bekas yang ia sodorkan.

Rasa Lega

Minum, sudah. Istirahat, sudah. Kami pun berjalan pulang dengan lebih santai. Matahari semakin tinggi, jalanan ibukota semakin ramai dengan pengendara yang berangkat kerja.

Jalan-jalan pagi hari itu memberikan kami banyak pelajaran. Setelah sekian lama hanya di rumah, jalan pagi memberikan nuansa baru, bertemu hal-hal baru, mengelola emosi, dan sebagainya.

Bagaimana dengan pagimu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun