Dalam rangka kepedulian terhadap ketahanan ekonomi nasional, Serikat Pekerja Pertamina Unit Pemasaran III (SPP UPms III) berkolaborasi dengan PT Pertamina Patra Niaga dan DEM Serang Raya menyelenggarakan Seminar Nasional Energi 2024 dengan mengusung tema "Dampak Penghapusan dan Pengelolaan Subsidi Terhadap Strategi Kemandirian Energi menuju Ketahanan Ekonomi Nasional" yang berlangsung di Hotel Oakwood, Kota Bandung, Sabtu, (2/11).
Kegiatan ini dilakukan secara hibrida melalui platform Zoom Meeting, dengan mengundang 4 narasumber dan salah satunya yaitu Abra P. G Talattov S.E., M.Sc yang merupakan Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development (CFESD) di Institute for Development of Economics Finance (INDEF).Â
Pada awal pemaparan beliau menyampaikan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, kini dihadapkan pada tantangan serius dalam pengelolaan subsidi energi, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG. Kebijakan subsidi yang dirancang untuk membantu masyarakat yang kurang mampu justru sering kali tidak tepat sasaran, sehingga membebani keuangan negara. Dalam artikel ini kita akan membahas berbagai aspek terkait tantangan ini, termasuk dampaknya terhadap ketahanan fiskal, kondisi ekonomi nasional dan reformasi subsidi yang diperlukan.
Tantangan Ekonomi Global dan Nasional
Menurut Abra, tantangan ekonomi global dan nasional sangat mempengaruhi ketahanan fiskal Indonesia. "Proyeksi dari berbagai lembaga dunia termasuk pemerintah sendiri bahwa masih ada risiko tekanan ekonomi negara-negara maju maupun Indonesia," ujarnya. Meskipun pemerintah mempunyai ambisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%, realitas menunjukkan bahwa Indonesia masih akan menghadapi tekanan di tahun-tahun mendatang.
Lonjakan Harga Komoditas dan DampaknyaÂ
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan fiskal adalah lonjakan harga komoditas. "Harga minyak jenis brent di tahun 2022 ketika terjadi perang antara Rusia dengan Ukraina, harganya tembus di atas 100 dolar per barel dan sangat berdampak besar terhadap APBN kita," jelas Abra. Kenaikan harga ini memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi dan non-subsidi, yang pada gilirannya menambah beban anggaran negara. Meskipun harga komoditas energi dan pangan diproyeksikan akan melandai pada tahun 2024, Abra mengingatkan bahwa "kita tidak boleh terlena " dan harus belajar dari pengalaman pahit di tahun 2022.
Pelemahan Daya Beli Masyarakat
Di dalam negeri, tantangan lain yang dihadapi adalah pelemahan daya beli masyarakat. "Selama 5 bulan berturut-turut, dari bulan Mei sampai dengan bulan September, tingkat inflasi di Indonesia mengalami kenaikan pertumbuhan negatif atau yang biasa disebut dengan deflasi," ungkap Abra. Deflasi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengurangi belanja dan konsumsi mereka, yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi. Penurunan daya beli masyarakat ini juga berkontribusi pada penurunan kelas menengah di Indonesia.
Fenomena penurunan kelas menengah menjadi perhatian serius. "Jika dibandingkan antara tahun 2019 sampai dengan tahun 2024, jumlah kelas menengah di Indonesia berkurang dari 21,4% menjadi 17,13%," kata Abra. Penurunan ini menunjukkan bahwa sekitar 10 juta orang telah turun kelas, yang berdampak pada kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional. Kelas menengah yang merupakan penyumbang utama ekonomi nasional, semakin menciut dan ini dapat berdampak pada PDB negara Indonesia.
Kontraksi Industri Manufaktur
Sektor industri juga mengalami tekanan. "Industri manufaktur Indonesia selama 4 bulan terakhir terkontraksi di bawah 50," jelas Abra. Hal ini berdampak pada penerimaan negara dari perpajakan, yang mengalami penurunan sebesar -12,2% di sektor industri pengolahan. Jika kondisi ini terus berlanjut, akan ada gap yang besar antara penrimaan perpajakan dan belanja negara. "Dampak tekanan industri manufaktur terhadap sektor ketenagakerjaan sangat nyata," tambahnya, dengan jumlah PHK yang meningkat secara signifikan.
Subsidi yang Tidak Tepat Sasaran
Salah satu masalah utama dalam pengelolaan subsidi adalah ketidakadilan dalam distribusi. "Beberapa jenis komoditas BBM dan LPG bersubsidi ini masih sangat besar dinikmati oleh masyarakat mampu," uungkap Abra. Misalnya kelompok masyarakat terkaya justru menikmati volume pertalite yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Hal ini menciptakan fenomena migrasi konsumen dari BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi, yang semakin memperburuk situasi.
Reformasi Subsidi yang Diperlukan
Dalam upaya untuk memperbaiki mekanisme subsidi, pemerintah telah mempertimbangkan beberapa skema baru. Salah satu skema yang diusulkan adalah memberikan subsidi secara langsung kepada individu atau rumah tangga yang berhak, melalui transfer tunai ke akun e-rekening mereka. "Targetnya kepada individu atau rumah tangga yang nantinya mereka akan mendapatkan cash transfer atau mendapatkan BLT langsung ke dalam akun e-rekening mereka," ujarnya. Dengan cara ini diharapkan subsidi dapat lebih tepat sasaran dan mengurangi kebocoran yang selama ini terjadi.
Kesimpulan
Reformasi subsidi yang efektif dapat membantu mengatasi masalah fiskal dan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih baik di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H