Dunia Twitter tentunya tidak asing dengan cuitan "Spill The Tea" yang biasa menarik banyak sekali atensi masyarakat. Budaya "Spill The Tea" pada awalnya terjadi di Twitter sebelum pada akhirnya merambah ke platform media sosial yang lain, seperti Instagram, TikTok, YouTube, dll. Ada berbagai latar belakang yang mendasari pembuatan cuitan seperti itu, mulai hanya sekedar mencari atensi dari masyarakat atau lebih kepada bentuk keputusasaan korban dalam menghadapi pelaku dan korban berusaha mencari bantuan dari masyarakat.
Salah satu kasus yang paling mengemparkan warga Indonesia yang bersumber dari cuitan "Spill The Tea" di Twitter pada tahun 2020 ini adalah kasus Gilang "Bungkus". Kasus ini ramai dibicarakan oleh masyarakat setelah akun Twitter @m_fikris menuliskan thread yang berisikan pengalamanya menjadi korban fetish dari Gilang. Berawal dari sebuah thread di Twitter, kasus ini berbuntut panjang hingga Gilang ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.
Mengenal Budaya "Spill The Tea"
"Spill The Tea (Secara bahasa berarti "Tumpahkan Tehnya" atau bisa diartikan sebagai meminta gosip atau fakta dari suatu isu)" merupakan sebuah kata gaul yang biasa digunakan untuk mengali suatu informasi. Biasanya hal tersebut diawali dengan pembuatan sebuah thread entah berupa tips and trick, cerita, atau bahkan sebuah gosip yang hanya berbentuk "teaser", kemudian warga Twitter akan mengucapkan kata "Spill The Tea" untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Kemudahan untuk menyampaikan informasi ini kemudian dimanfaatkan banyak orang entah hanya untuk sekedar viral ataupun menyampaikan pendapat/opini pribadinya yang tidak bisa ia sampaikan di dunia nyata.
Hal tersebut didukung karena banyak warga Indonesia yang sering lalai untuk mencari tau kebenaran suatu berita terlebih dahulu, sehingga sebuah thread di Twitter seperti itu mudah sekali untuk menjadi viral. Jika kita lihat memang cara "Spill The Tea" ini menimbulkan kepedulian masyarakat terhadap suatu kasus, contohnya kasus pelecehan seksual.
Seperti yang kita tau akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan seksual yang berhasil terangkat ke publik karena sebuah thread di Twitter, baik pelecehan seksual yang dilakukan melalui pesan singkat maupun yang sudah melukai korban secara fisik atau batin. Maraknya pembuatan thread semacam ini terkadang digunakan oleh oknum tertentu untuk mencari ketenaran atau menyebarkan sebuah hoaks secara cepat. Bagaimana tidak, jika sebuah thread mencuat di Twitter dalam hitungan jam ribuan likes, komentar, dan share langsung memenuhi thread tersebut hingga naik menjadi sebuah berita nasional.
Mengapa "Spill The Tea" Menjadi Suatu Budaya?
Pelecehan seksual menjadi kasus paling banyak yang terbongkar setelah adanya sebuah thread. Bagi sebagian orang akan mempertanyakan motif korban membuat sebuah thread di Twitter seperti itu, kadang kita berpikir Mengapa korban tidak lapor ke pihak berwajib, tetapi justru mengumbar masalahnya ke media sosial?
Menurut Dra. Binahayati salah satu dosen dengan Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD dengan konsentrasi gender violence mengatakan mengapa fenomena "Spill The Tea" tersebut kemudian menjadi suatu budaya? Karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum atau aparat hukum untuk menanggani suatu kasus terutama kasus pelecehan seksual. Banyak masyarakat yang bahkan menganggap sepele kasus pelecehan seksual, sehingga korban merasa frustasi dan merasa tidak punya ruang untuk mencari keadilan. Akhirnya korban merasa langkah paling cepat untuk mendapatkan keadilan adalah dengan membongkar kejadian yang ia alami ke media sosial dengan harapan mendapatan atensi dan bantuan dari masyarakat.
Bukan menjadi suatu hal yang asing di telinga kita bahwa ada anggapan di masyarakat bahwa kepolisian baru akan menindak suatu perkara jika sudah viral dimana-mana. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, jika kita ingat kasus pelecehan seksual yang menimpa Amy Fitria, seorang perempuan yang diperkosa oleh laki-laki asing di kamarnya saat ia sedang tertidur. Amy telah melaporkan kejadian pemerkosaan tersebut ke pihak kepolisian tetapi kasusnya tidak kunjung ditangani.
Satu tahun kemudian Amy membuat sebuah thread di Instagram yang menceritakan bagaimana kronologi kejadian pemerkosaan yang ia alami. Thread tersebut kemudian menjadi viral dan masyarakat mendesak pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku. Benar saja hanya dalam waktu dua hari pihak kepolisian berhasil menangkap pelaku pemerkosaan tersebut. Kejadian diatas seolah membenarkan stigma masyarakat bahwa suatu kasus harus menjadi viral terlebih dahulu agar dapat ditangani oleh pihak kepolisian, di sisi laln kejadian tersebut juga membenarkan pendapat Dra. Binahayati bahwa masyarakat masih menganggap remeh kasus pelecehan seksual bahakan dalam kasus ini kepolisian juga menganggap remeh kasus pelecehan seksual seperti yang dialami oleh Amy Fitria.
Dari Kacamata Hukum
Dalam konteks hukum pembuatan thread "Spill The Tea" seperti ini dianggap menyalahi aturan. Seringkali dalam setiap thread yang muncul di media sosial cenderung akan memojokkan pelaku, sedangkan dalam hukum kita mengenal asas praduga tak bersalah. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu perbuatan yang belum terbukti secara sah dan meyakinkan dalam peradilan belum boleh dianggap bersalah dan diumumkan sebagai "penjahat".
Kita memahami bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, sehingga korban maupun pelaku mempunyai kesempatan untuk mengajukan dalil-dalilnya atas perkara yang diajukan, seperti yang tertulis pada Pasal 65 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP "Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya."
"Spill The Tea" yang hanya berasal dari satu pihak (orang yang memposisikan diri sebagai korban) belum bisa dipercayai kebenarannya. Hal tersebut karena thread tersebut masih berupa opini atau asumsi satu pihak dan belum menjadi sebuah fakta hukum, sehingga belum bisa dipastikan kebenarannya. Jika kita tidak berhati-hati pembuatan thread seperti itu justru bisa menjadi fitnah dan pembuat thread bisa dijatuhi hukuman pidana jika terbukti apa yang ia bagikan di media sosial merupakan hoaks. Hal tersebut diperkuat karena biasanya pembuatan thread seperti itu memuat konten pencemaran nama baik, karena orang yang merasa korban langsung menyalahkan pelaku hanya berdasarkan asumsi pribadinya. Berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE seseorang yang dengan sengaja mendistribusikan konten yang berisi muatan penghinaan/pencemaran nama baik dapat dipidana maksimal empat tahun penjara dan denda maksimal Rp 750.000.000.
Untuk menjaga asas praduga tidak bersalah dan menghindari agar kita tidak terjerumus pada kasus yang seharusnya kita menjadi korban tetapi justru menjadi pelaku, maka jangan gegabah untuk melakukan "Spill The Tea". Kumpulkan alat bukti yang menguatkan kamu sebagai korban kemudian laporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian, walaupun terkadang kinerja kepolisian lambat tetapi hal itu akan jadi lebih baik bagi korban maupun pelaku.
Helena Mutiara Utomo | Unika Soegijapranata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H