Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Apakah Menulis Fiksi adalah Pekerjaan "Ecek-ecek"?

27 Mei 2021   18:33 Diperbarui: 27 Mei 2021   21:03 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karya fiksi (theguardian.com)

Boleh dong ya saya curhat sedikit.

Kemarin seorang teman berkomentar setelah membaca salah satu cerpen yang saya tulis di Kompasiana. “Capek-capek sekolah engineering, kok ya nulis fiksi? Kayak nggak ada kerjaan yang lebih berbobot. Mbok ya nulis yang berguna sesuai keahlian atau topik-topik lain yang lebih intelek,” katanya. Ha ha ha ha. Saya hanya tertawa sedih mendengar komentar ini.

Selama hampir dua bulan saya bergabung di Kompasiana, saya lebih banyak menulis di kanal Fiksiana. Dari 46 artikel yang sudah saya tulis, 18 artikel masuk ke dalam kanal fiksiana. Sisanya, masuk ke beberapa kanal lain seperti diary, gaya hidup, dan hiburan. Memang tidak ada satu artikel pun yang tergolong “intelek” atau “berbobot” versi teman saya.

Di Kompasiana sendiri, kanal fiksi juga kurang “dianggap” dibandingkan dengan kanal politik. Pembaca kanal politik bisa mencapai ratusan bahkan ribuan orang. Sedangkan untuk kanal fiksiana, hanya segelintir kompasianer kawakan yang menarik minat pembaca sampai ratusan orang. Untuk saya sendiri, awal-awal menulis, pembaca artikel saya berkisar 30-80 orang. Mendekati bulan kedua, pembaca artikel saya mulai meningkat menjadi sekitar 90-120.

Menurut saya ada dua faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah pembaca artikel fiksi saya. Yang pertama, saya belajar meningkatkan kualitas dan gaya penulisan saya. Saya berguru dalam senyap artikel-artikel yang ditulis oleh Pak Khrisna Pabichara, Pak Zaldy Chan, Pak Shayrul Chelsky, Pak Pical Gadi, Ayah Tuah, Ibu Lilik Fatimah Azzahra, dan Mba Wahyu Sapta.

Faktor kedua adalah meningkatnya interaksi saya dengan para kompasianer lain. Awal-awal bergabung dengan Kompasiana, kompasianer lain belum kenal dengan saya. Tak kenal maka tak sayang. Tak kenal maka artikel tidak dibaca. Setelah beberapa lama, suasana mulai cair. Kompasianer lain sudah mulai mengunjungi artikel saya.

Lalu, apakah menulis fiksi adalah pekerjaan tidak berbobot, kurang intelek, seperti yang dikomentari oleh teman saya? Saya pikir Ralph Wardo Emerson, Albert Camus dan, Pak Pram bisa bangkit dari kubur mendengar komentar ini.

Saya sendiri tidak tahu apakah kompasianer lain juga menganggap menulis fiksi adalah pekerjaan “ecek-ecek” atau “kasta rendah”. Bagi saya sendiri, saya cukup kesulitan menulis puisi dan cerpen. Bagaimana menuliskan perasaan dan pikiran yang kompleks ke dalam kata-kata yang cukup representatif, namun juga estetik secara bersamaan? Bagaimana memprotes atau mempertanyakan suatu realitas dalam kata-kata yang terbatas?

Khusus untuk cerpen, bagaimana memfokuskan cerita pada tokoh cerita dan latar belakang  tertentu sehingga pesan cerita dapat ditangkap pembaca? Bagaimana mengakhiri cerita, apakah dibiarkan menggantung atau diselesaikan dengan ending yang jelas? Bagaimana menggabungkan hal-hal yang riil dengan sesuatu yang imajinatif sehingga tulisan menjadi menarik? Bagi saya, Ibu Lilik sangat ahli dalam hal ini.

Selain itu, kata-kata puisi yang berbeda dengan kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari memaksa saya membolak-balik KBBI untuk mencari padanan kata yang lebih estetik. Bagi saya yang baru belajar menulis fiksi, semua ini membutuhkan usaha yang lumayan juga. Mungkin bagi yang biasa menulis fiksi, hal-hal ini tidak lagi menjadi masalah.

Berbeda dengan menulis artikel berupa opini pada kanal lain yang lebih membutuhkan kekuatan analisis dalam mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi penyebab dan konsekuensi dari suatu masalah, dan merumuskan solusi atau masukan. Pemilihan diksi tidak menjadi tuntutan seperti halnya pada tulisan fiksi.

Jadi untuk saya pribadi, pekerjaan menulis fiksi bukan pekerjaan “ecek-ecek” atau “kasta rendah". Bagi saya, menulis entah itu di kanal politik ataupun kanal fiksiana dan kanal-kanal lain, semuanya membutuhkan usaha. Dan saya sadar saya masih perlu banyak belajar.

Walau bagaimanapun, kritikan teman saya jadikan pengingat. Mungkin di lain waktu saya akan menulis sesuatu yang lebih “berbobot” atau “lebih intelek”. Saya mungkin akan menulis topik-topik yang berkaitan dengan “engineering” dan dunia profesional. Tapi untuk saat ini, saya masih tertarik menulis di kanal fiksiana. Sabar ya! He he he he.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun