Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jatuh Cinta pada Sejarah

15 Mei 2021   07:49 Diperbarui: 15 Mei 2021   20:41 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu waktu saya sekolah, pelajaran sejarah adalah salah satu pelajaran yang saya anggap membosankan. Begitu banyak hal yang harus dihafalkan, dari mulai tanggal dan tahun, isi perjanjian, silsilah kerajaan dan tokoh-tokoh yang terlibat dari suatu peristiwa. Bagi saya saat itu, sejarah adalah masa lampau yang memang perlu diketahui, tapi secara pribadi, saya tidak merasa terhubung dengannya.

Setelah saya masuk kuliah, saya mulai membaca buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Saat itu, novel-novel karangan Pram belum banyak beredar karena ada pelarangan sebelumnya. Saya meminjam dari teman saya yang entah dari mana mendapatkan buku-buku itu. Novel pertama yang saya baca adalah Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Untuk pertama kalinya, saya menjadi tertarik dengan sejarah. Saya mencoba mengingat-ingat gerakan awal kemerdekaan Indonesia yang saya pelajari sebelumnya di bangku sekolah. Saat saya membaca Tetralogi Buru, saya seakan-akan dibawa masuk ke dalam peristiwa di masa lalu. Saya ikut merasakan bagaimana penderitaan kakek nenek buyut di masa itu. Bagaimana perjuangan para pahlawan yang dikenal dan yang tidak dikenal untuk mendapatkan kemerdekaan.

Ingatan-ingatan samar nenek saya bercerita kehidupan masa penjajahan dulu pun muncul. Bagaimana susahnya hidup dalam keadaan terjajah. Untuk makan saja susah, boro-boro untuk mendapatkan pendidikan. Nenek saya termasuk orang yang beruntung bisa bersekolah di HBS. Saat penjajahan Jepang, orang-orang Indonesiapun disuruh kerja paksa. Banyak korban yang mati karena tidak kuat dan kelaparan.

Saat membaca Tetralogi Buru, mata saya seakan-akan tidak merasa lelah. Berhari-hari saya membaca non-stop 4 novel itu. Sulit rasanya untuk meletakkan buku barang sejenak. Ini rekor terlama saya membaca buku secara non-stop.

Setelah membaca Tetralogi Buru, saya pun tergoda membaca karya Pram yang lain. Saya dipinjamkan Arok Dedes dan Arus Balik. Kedua novel ini masing-masing mengambil latar belakang Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Singosari. Lagi-lagi, saya baru mengerti perebutan kekuasaan yang terjadi di masa kedua kerajaan itu. Padahal dulu saat belajar sejarah di bangku sekolah, ini termasuk salah satu topik yang merepotkan karena banyaknya tanggal dan nama-nama raja yang harus dihafal.

Mulai Jatuh Cinta Dengan Sejarah

Setelah membaca novel-novel Pram, pandangan saya tentang sejarah berubah total. Sejarah tidak lagi persoalan tanggal dan tahun suatu peristiwa. Sejarah tidak lagi soal silsilah raja-raja yang pohon keluarganya rumit. Sejarah tidak lagi bicara tentang candi-candi tempat dimakamkannya raja-raja. Sejarah tidak lagi tentang prasasti-prasasti dengan tulisan kuno yang sulit dipahami.

Dahulu saya berpikir sejarah adalah ranah bagi orang-orang yang memiliki latar belakang sosial, bukan untuk orang-orang berlatar belakang eksakta seperti saya. Sekarang saya mengerti, sejarah adalah bagian dari kehidupan manusia. Bahkan hidup saya nantinya juga akan menjadi sejarah bagi generasi penerus. Penemuan-penemuan teknologi mutakhir pun banyak yang terinspirasi dari teknologi kuno yang dipelajari dari sejarah.

Sejak saat itu, saya tidak lagi menggangap sejarah adalah sesuatu yang membosankan. Sejarah menjadi menarik untuk dipelajari karena sejarah mencatat dinamika kehidupan manusia. Saya pun jatuh cinta kepada sejarah.

Cara Pandang Baru terhadap Peninggalan Bersejarah

Kuliah di Pulau Jawa memberi keuntungan bagi saya. Lebih banyak museum dan tempat-tempat bersejarah yang dapat saya kunjungi. Saat liburan semester, beberapa kali saya tidak pulang ke rumah. Saya berlibur mengunjungi rumah teman-teman. Pengalaman berlibur ini memberi saya cara pandang baru terhadap peninggalan bersejarah.

Untuk pertama kalinya saya mengunjungi Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Mengingat novel karya Pram, membuat saya jadi membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat zaman itu. Bagaimana konstelasi politik dan kekuasaan saat itu? Apa yang menjadi lambang kejayaan kerajaan saat itu? Semaju apa teknologi saat itu?

Kalau dulu ke tempat wisata, saya hanya mengagumi keindahan bangunan dan mengambil foto di beberapa tempat. Sekarang saya lebih tertarik mengambil foto arca maupun relief-relief yang ada di dinding-dinding candi. Peralatan-peralatan gerabah, alat perang atau apapun yang ada di lokasi, saya ambil foto. Saya juga mengunjungi museum di sekitar lokasi untuk mendapatkan informasi lebih jauh.

Untungnya teman-teman saya waktu itu tidak keberatan. Mereka juga menaruh minat yang sama terhadap benda-benda peninggalan sejarah. Jadi saya tidak harus terburu-buru saat berada di museum.

Latar belakang pendidikan engineering saya membuat saya tertarik untuk mempelajari bagaimana teknik membangun candi-candi oleh para leluhur. Bagaimana membuat fondasi, menyusun batu-batu tanpa semen atau perekat, dan membuat drainase. Hal ini sudah saya tuliskan juga di artikel saya yang lain untuk blog competition Kompasiana "Sound of Borobubur" (link).

Mengunjungi kawasan Trowulan memberikan saya paradigma baru tentang tata kota. Trowulan adalah kawasan kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani dan Hayam Wuruk. Beberapa bangunan seperti istana kerajaan, candi, makam, gapura, dan kolam air dapat ditemukan di Trowulan.

Saya dulu berpikir zaman baheula pasti tata kotanya jelek. Ternyata anggapan saya salah. Menurut saya, Trowulan menjadi bukti bahwa leluhur kita memiliki tata kota yang baik, sangat terorganisir. Jika dibandingkan dengan saat ini, kita kalah jauh. Tata kota kita saat ini bisa dibilang amburadul, tidak jelas peruntukkan kawasannya.

Saat berkunjung di Trowulan, saja jadi teringat novel Pram yang telah saya baca sebelumnya tentang kerajaan Majapahit dan Singosari. Saya juga menyadari  bahwa sejarah tidak hanya melulu soal bangunan, ada banyak hal lain yang dapat dipelajari. Buktinya masalah tata kota ini. Kita harus belajar banyak dari para leluhur.

Sejarah Meningkatkan Rasa Kemanusiaan

Sejak membaca karya-karya Pram, saya pun mulai merambah membaca karya para penulis asing. Teman saya menghadiahkan El Filibusterismo karya Jose Rizal setelah menghadiri konferensi di Manila. Selama ini saya mengenal Jose Rizal sebagai pahlawan nasional Filipina. Namun, saya tidak pernah membaca karyanya.

Selain Jose Rizal, saya juga membaca buku-buku karya penulis Amerika Latin. Garcia Marquez dengan bukunya yang berjudul Seratus Tahun Kesunyian dan Luis Sepulveda dengan bukunya yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Karya penulis latin ini membuka mata saya pada penderitaan rakyat yang disebabkan oleh kediktatoran dan kekerasan politik di kawasan Amerika Latin.

Setelah paradigma saya tentang sejarah berubah, saya menjadi tertarik untuk membaca kembali sejarah ataupun novel-novel yang ditulis berlatar belakang sejarah. Kali ini, saya membaca bukan karena keterpaksaan karena mengejar nilai di sekolah, tapi karena benar-benar tertarik. Saya juga banyak menonton film-film dokumenter sejarah dari BBC ataupun National Geographic.

Dari belajar sejarah, saya mendapati bahwa banyak tragedi kemanusiaan disebabkan oleh kerakusan untuk menguasai sumber daya alam dan ekonomi, kediktatoran, kekerasan politik dan agama.  Entah itu di Eropa di masa lalu yang menyebabkan runtuhnya beberapa kerajaan, di kawasan Timur Tengah yang sampai sekarang masih bergejolak, dan di Amerika Latin yang hingga sekarang masih terjadi ketidakstabilan politik. Entah itu di Myanmar, Sudan, ataupun konflik bersenjata di kawasan Afrika lainnya. Yang menyedihkan, jika masalah politik dan ekonomi dibungkus dengan agama.

Rasa kemanusiaan saya pun mulai meningkat sejak saya belajar sejarah. Saya mulai lebih peka terhadap penderitaan orang lain di belahan bumi lain, terlepas dari ras dan agama. Bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi bukan hanya penderitaan orang lain atau bangsa lain, tapi juga penderitaan semua orang di dunia ini. Dan sejarah memberi saya pemahaman mengapa tragedi kemanusiaan itu terjadi.

Novel-novel berlatar belakang sejarah telah berhasil membuat saya mencintai sejarah. Sejarah tidak lagi perihal bangunan monumental dan artifak-artifak mati. Sejarah adalah bagian dari hidup manusia. Jika kita bijaksana, sejarah adalah guru yang siap mengajar.

Blog competition Kompasiana yang bertajuk Sound of Borobudur semakin menambah ketertarikan saya untuk mempelajari sejarah. Saya baru tahu ternyata ada banyak alat musik terpahat di relief Candi Borobudur. Ada banyak warisan leluhur yang berharga, yang kini tersembunyi atau bahkan hilang. Ini saatnya untuk menggali kearifan para leluhur, termasuk tata kota di Trowulan. Mungkin para arkeolog, planologi dan engineer terkait dapat bekerja sama mempelajari hal-hal yang dapat kita terapkan di masa kini.

Winston Churchill berkata “history has been written by the victors – sejarah ditulis oleh para pemenang”. Apa yang ditulis oleh sejarah belum tentu benar, termasuk beberapa sejarah kelam bangsa ini yang perlu ditulis ulang.  Tapi bukan berarti sejarah tidak berguna. Tinggal kita memilah mana yang harus dipercaya, mana yang tidak. Untuk itu, kita memang harus terbuka untuk terus menerus belajar, mengambil hikmah dan kearifan dari suatu sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun