Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Salam Tempel dan Mentalitas Miskin

13 Mei 2021   08:07 Diperbarui: 13 Mei 2021   08:08 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Money Kompas.com

Waktu saya kecil, menerima salam tempel dari sanak saudara membuat hati saya senang. Ini bukan masalah besar kecilnya uang yang diterima, tetapi lebih kepada perhatian yang diterima dari kakek, nenek, om, tante, dan sepupu yang memberikan salam tempel. Apalagi kalau si pemberi salam tempel menanyakan bagaimana prestasi di sekolah. 

Walaupun pertanyaan ini mungkin hanya basa basi saja bagi orang dewasa, namun bagi saya yang masih kecil saat itu, ini seperti penyemangat untuk belajar lebih rajin. Interaksi seperti ini juga membuat suasana menjadi lebih akrab. Uang salam tempel yang biasanya masih baru dicium-cium karena aromanya khas. Maklum, saat itu kesadaran tentang higienitas belum tinggi.

Salam tempel diberikan saat sanak saudara berkunjung ke rumah orang tua saya ataupun sebaliknya. Biasanya uang yang diterima semakin besar seiring dengan bertambahnya usia. Mungkin para pemberi salam tempel berpikir semakin besar anak, semakin besar kebutuhannya. 

Orang tua saya tidak pernah mengajarkan untuk meminta salam tempel dari sanak saudara. Namun mereka juga tidak melarang kami untuk menerima salam tempel. Orang tua hanya mengingatkan berapapun jumlah uang yang diterima, wajib hukumnya mengucapkan terima kasih. Selain itu juga, kami dilarang membandingkan jumlah salam tempel yang diterima.

Ada kebahagiaan tersendiri saat uang dari salam tempel dimasukkan ke celengan dan membuat tabungan semakin bertambah banyak. Uang tabungan biasanya saya gunakan untuk membeli buku cerita ataupun majalah bobo. Kalau salam tempel yang diterima jumlahnya cukup besar, biasanya saya gunakan untuk membeli sepatu ataupun tas sekolah.

Saat saya dewasa dan sudah bekerja, posisi pemberi salam tempel pun dibalik. Sekarang sayalah yang memberi salam tempel kepada sanak saudara. Oleh karena saya perantau, salam tempel tidak saja diberikan kepada anak-anak, tetapi juga sanak saudara yang sudah dewasa. Di sinilah muncul hal-hal yang menurut saya ada yang salah dengan salam tempel.

Salam Tempel Menjadi Hal yang Diutamakan

Saat berkumpul dengan sanak saudara, tentunya yang kita harapkan adalah terjalinnya silaturahmi. Namun ada saja sanak saudara yang mengutamakan salam tempel dari sanak saudara lainnya, khususnya yang merantau ke Jakarta. 

Jadi saat acara kumpul-kumpul berlangsung, mereka lebih banyak berinteraksi dengan para perantau dan terkesan mengabaikan yang lain dengan harapan nantinya menerima salam tempel yang lebih besar. Ada juga yang  bahkan menyuruh anak-anaknya untuk salim agar mendapat salam tempel.

Mungkin mereka berpikir kalau merantau ke Jakarta, pasti memiliki uang banyak. Yang tidak mereka sadari, walaupun gaji di Jakarta lebih besar, biaya hidup juga lebih tinggi. Selain itu, biaya tiket pesawat untuk pulang pergi ke kampung halaman juga cukup besar.

Hal ini juga dialami oleh teman-teman saya yang lain yang juga perantau. Kalau ada sanak saudara yang terlewat diberi sampel, akan menjadi bahan omongan. Padahal bukannya kita tidak mau memberi. Sebelum berangkat mudik, daftar sanak keluarga yang akan diberi salam tempel sudah ditulis dan uang sudah dimasukkan ke dalam amplop untuk masing-masing nama. Sesampai di kota kelahiran, ada saja sanak saudara yang berkunjung yang tidak termasuk dalam daftar. Oleh karena keasyikan ngobrol, kadang-kadang lupa bahwa kita diharapkan memberi salam tempel.

Kalau dipikir-pikir, sanak saudara ini bukanlah orang yang kesusahan secara ekonomi. Jadi kalaupun tidak menerima salam tempel, tentunya tidak akan membuatnya jatuh miskin ataupun menderita. Untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi, teman-teman saya memiliki trik tersendiri. Semua orang yang datang ke rumah akan diberi salam tempel. Uang cash dan amplop cadangan selalu dibawa untuk berjaga-jaga memberikan salam tempel kepada sanak saudara yang tidak termasuk dalam daftar penerima uang tempel.

Saya pribadi tidak setuju dengan cara ini. Bagi saya, orang yang mampu tidak perlu diberi salam tempel. Bisa saja kita memberi oleh-oleh ataupun hadiah. Jadi salam tempel memang diprioritaskan untuk sanak keluarga yang lebih membutuhkan. Saya bahkan tidak pernah memberi salam tempel kepada orang tua saya karena orang tua saya selalu menolak diberi uang. Bagi orang tua saya, lebih baik uangnya saya simpan untuk ditabung untuk masa depan karena mereka masih mampu. Bukan berarti orang tua saya kaya raya ya. Untuk mengganti salam tempel, biasanya saya memberikan hadiah seperti baju batik, sepatu dan lainnya.

Semua Diukur Dengan Uang

Banyaknya uang tempel yang diberikan biasanya berbanding linier dengan anggapan orang-orang tentang kesuksesan si pemberi salam tempel. Jika uang tempel yang diberikan berjumlah besar, maka sanak saudara menggangap si pemberi salam tempel hidupnya sukses. Jika uang yang diberikan sedikit, maka si pemberi salam tempel dianggap kurang sukses. Seperti saya singgung sebelumnya, saat acara kumpul keluarga, maka sanak saudara lebih ramah dan lebih banyak berinteraksi dengan orang yang dianggap memiliki uang banyak. Perilaku ini juga diajarkan secara tidak langsung kepada anak-anak dengan mengarahkan anak-anak bersalaman dengan si pemberi uang tempel terbanyak.

Tidak heran kalau para perantau sering terpaksa meminjam uang demi gengsi saat pulang kampung. Hal ini semata-mata demi dianggap sukses di kampung halaman. Dengan pembenaran toh ini hanya dilakukan setahun sekali. Orang-orang kampung juga tidak tahu kondisi sebenarnya. Padahal ini sama saja dengan menipu diri sendiri. Ujung-ujungnya, setelah kembali dari kampung halaman, kepala pusing memikirkan cicilan yang harus dibayar.

Salam Tempel di Pelayanan Publik

Pemberian salam tempel tidak hanya dilakukan saat hari raya keagamaan ataupun acara-acara keluarga lainnya. Dalam pelayanan publik, salam tempel juga masih dipraktekkan walaupun akhir-akhir ini sudah dilarang. Pemberian salam tempel bertujuan untuk mempercepat layanan yang diberikan. Padahal pelayanan tersebut adalah bagian dari tanggung jawab pekerjaan. Agak susah menghilangkan salam tempel di pelayanan publik karena memang biasanya kalau tidak diberikan salam tempel, dokumen hanya teronggok di meja. Daripada bolak-balik mendatangi kantor pelayanan publik dan prosesnya lama, banyak orang memilih memberikan salam tempel.

Salam tempel dan Mentalis Miskin

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan salam tempel karena tujuan awalnya adalah untuk berbagi. Namanya berbagi, pastinya dilakukan seikhlasnya. Namun masih banyak orang yang menerima salam tempel dengan mengharapkan sejumlah uang yang diterima. Saya pikir ini karena sebagian besar orang masih bermental miskin. Alih-alih senang menjadi pemberi, orang-orang lebih senang menjadi penerima. Itu sebabnya orang-orang senang mendapatkan sesuatu yang gratis walaupun mereka mampu membeli. Berbeda dengan budaya beberapa negara lain yang justru merasa malu mengambil sesuatu yang gratis jika mereka mampu membeli. Bagi mereka, mereka tidak berhak mendapatkan hal yang gratis karena ada orang lain yang membutuhkan.

Yang menyedihkan jika mentalitas miskin ini menghinggapi pelayanan publik sehingga orang-orang harus diberi salam tempel terlebih dahulu untuk mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya. Tentunya mentalitas seperti ini membuat bangsa Indonesia sulit untuk maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun