Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur, Menemukan Kembali Warisan yang Tersembunyi

12 Mei 2021   20:10 Diperbarui: 12 Mei 2021   20:13 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumentasi pribadi

Mengunjungi Candi Borobudur rasanya tidak cukup hanya sekali. Keindahan dan kemegahan Candi Borobudur memang tidak terbantahkan. Fakta bahwa Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-7 oleh dinasti Syailendra, masih berdiri hingga saat ini setelah 13 abad berlalu, semakin membuat kita berdecak kagum. 

Candi Borobudur adalah saksi bisu tingginya peradaban para leluhur kita di masa lampau. Hal yang sangat wajar jika Candi Borobudur diakui sebagai salah satu keajaiban dunia dan dijadikan situs warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO pada tahun 1991.

Saat ini, pemerintah sedang mengembangkan Program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dimana Candi Borobudur ditetapkan sebagai salah satu dari lima destinasi super prioritas (DPSP). Candi Borobudur bahkan menjadi bagian dari video promosi Wonderful Indonesia.

Borobudur sebagai Mahakarya Warisan Leluhur 

Dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 meter di atas permukaan laut, Candi Borobudur memiliki panjang 121,66 meter, lebar 121,38 meter dan tinggi 35,40 meter. 

Candi Borobudur berbentuk mandala raksasa yang melambangkan kosmologi Budha Mahayana, terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar, yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar dan sebuah stupa utama di puncaknya. Stupa utama dikelilingi 72 stupa berlubang, yang di dalamnya terdapat arca Budha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna. 

Struktur Candi Borobudur terdiri dari tiga tingkatan, yakni kamadathu, ripadhatu dan arupadathu. Kamadathu pada bagian kaki candi menggambarkan kehidupan keduniawian. Ripadhatu di bagian tubuh candi melambangkan perjalanan manusia meninggalkan keduniawian menuju nirwana. Arupadhatu pada bagian atas candi melambangkan kehidupan spritualitas yang telah mencapai kesempurnaan.

sumber: luk.staff.ugm.ac.id
sumber: luk.staff.ugm.ac.id

Pada dinding-dinding Kamadathu dan Ripadhatu terdapat 2.672 relief yang dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni 1.460 panel naratif mengisahkan kehidupan sang Budha dan 1.212 panel dekoratif mengisahkan kehidupan masyarakat pada masa itu. 

Panel naratif sendiri terbagi atas 4 kisah utama, yakni karmawibhangga (menggambarkan hukum sebab akibat/hukum karma), lalitawistara (menggambarkan kelahiran sang Budha sebagai Pangeran Sidharta), jataka dan awadana (mengisahkan sang Budha sebelum lahir sebagai Pangeran Sidharta), serta gandawhuya (menceritakan sang Budha tanpa lelah mencari kebijaksanaan sejati). 

Relief-relief tersebut dibaca sesuai arah jarum jam. Jika disusun berjajar, panjang panel relief mencapai 6 km. Candi Borobudur memiliki koleksi relief Budha terlengkap dan terbanyak di dunia. 

Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan sekitar 2 juta blok batu yang diperkirakan berasal dari Sungai Elo dan Sungai Progo. Batu-batu tersebut hanya ditumpuk dan disambung tanpa menggunakan semen atau perekat.

Candi Borobudur sempat terkubur tertimbun debu vulkanik dan ditumbuhi semak belukar. Penemuan kembali Candi Borobudur terjadi saat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1814. Dalam buku yang ditulis oleh Raffles yang berjudul “History of Java”, nama Borobudur diperkenalkan. Sejak ditemukan kembali, pemugaran dan rekonstruksi candi dilakukan mulai dari masa penjajahan Belanda sampai saat Indonesia telah merdeka.

Jika ditelisik dari sisi teknis arsitektur dan sipil, tentunya kita bertanya-tanya bagaimana caranya para leluhur kita meratakan bagian atas bukit dan memadatkan tanahnya serta membuat pondasi yang begitu kuat. 

Bagaimana caranya mengumpulkan balok batu dan mengangkutnya ke atas bukit? Bagaimana caranya memotong balok batu dengan rapi, lalu disambungkan secara presisi tanpa menggunakan semen atau perekat? Apakah Candi Borobudur memiliki blue print sebelum dibangun? 

Apakah seniman-seniman yang memahat relief-relief pada Candi Borobudur diberi kebebasan berkreasi atau memahat sesuai petunjuk? Bagaimana mendesain talang air yang berfungsi sebagai drainase yang baik? Perlu diingat bahwa peralatan yang pada masa itu relatif sederhana, tidak seperti yang kita jumpai pada masa kini.

Untuk menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur diperlukan sumber daya manusia dalam jumlah besar dan terampil. Sumber daya pertanian yang cukup diperlukan untuk menyediakan pangan bagi para pekerja. Belum lagi waktu pembangunan yang memakan waktu lebih dari 70 tahun tentunya membutuhkan suksesi lintas generasi. Ini membuktikan bahwa pembangunan Candi Borobudur memiliki perencanaan dan manajemen proyek yang sangat baik.

Melihat begitu kompleksnya dan megahnya Candi Borobudur yang sarat dengan nilai-nilai spriitualitas, kultural, dan intelektualitas, membuktikan tingginya tingkat peradaban leluhur kita di masa lampau. Pembangunan Candi Borobudur juga menunjukkan bahwa leluhur kita adalah pekerja keras, tangguh, bijaksana, memiliki  determinasi yang kuat, manajemen yang baik serta semangat gotong royong yang tinggi. Tidak heran jika berdasarkan catatan peziarah Budha, Borobudur sebagai pusat pendidikan Budhis internasional pada masa itu.

Candi Borobudur adalah mahakarya warisan leluhur kepada bangsa Indonesia. Penemuan kembali Candi Borobudur oleh Raffles juga berarti penemuan kembali warisan mahakarya leluhur yang sempat hilang.

Borobudur Pusat Musik Dunia

Candi Borobudur ternyata tidak henti-hentinya memberikan kejutan warisan pengetahuan kepada kita. Pada tahun 1885, ditemukan kembali bagian kaki candi yang masih terkubur oleh Dr. Ir. J.W, Ikzerman. 

Pada panel relief Karmawibhangga dijumpai 226 relief yang berada di 45 panel, menggambarkan manusia memainkan beragam bentuk dan jenis alat musik. Relief alat musik ini mencakup idiofon (bunyi dihasilkan dari getaran alat musiknya seperti gong), membrafon (bunyi dihasilkan dari bagian selaput seperti gendang), kordofon (bunyi dihasilkan dari senar/dawai seperti sampe), dan aerofon (bunyi dihasilkan dari getaran udara seperti suling).

Cukup mengejutkan bahwa pada abad 8, leluhur kita sudah memiliki ansambel orkestra yang bermain bersama. Ini berarti para leluhur kita sudah mengenal komposisi, aransemen, progesi dan aspek musikal yang cukup modern. Berbagai jenis alat musik yang dipahat pada relief Candi Borobudur masih tetap dimainkan hingga saat ini. Alat-alat musik tersebut tersebar di 34 provinsi di Indonesia dan di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.

Relief alat-alat musik ini menjadi bukti bahwa Borobudur pusat musik dunia pada masa lampau. Tidak ada situs-situs lain di dunia pada masa itu yang menampilkan relief alat musik sebanyak yang ada di Candi Borobudur. 

Borobudur merupakan titik pertemuan lintas bangsa dan lintas budaya dimana sebagian dari alat-alat musik tersebut di bawa dari luar untuk dipentaskan di Borobudur. Atau sebaliknya, berawal dari Borobudur, alat-alat musik tersebut menyebar ke segala penjuru nusantara dan berbagai belahan dunia. Relief alat musik ini juga menunjukkan bahwa leluhur kita memiliki hubungan yang harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

sumber: japungnusantara.org
sumber: japungnusantara.org

Sound of Borobudur, Menemukan Kembali Warisan yang Tersembunyi Selama Berabad-Abad

Ditemukannya relief alat musik pada panel relief Karmawibhangga Candi Borobudur seperti menemukan kembali warisan yang selama ini tersembunyi selama berabad-abad. 

Kassian Cephas mengabadikan foto-foto alat-alat musik yang terdapat di relief Karmawibhangga. Terinspirasi oleh foto-foto Cephas, Trie Utami, Redy Eko Prasetyo, Bachtiar Djanan dan Indri Kimpling Suseno mencoba merekonstruksi, merevitalisasi dan menginterprestasikan alat musik yang tergambar di relief Karmawibhangga. Ide inilah yang melahirkan Sound of Borobudur, sebagai upaya anak bangsa untuk menggali dan mengenal lebih dalam kebesaran peradaban leluhur masa lampau, khususnya melalui alat musik.

Sebagai permulaan, dilakukan rekonstruksi 3 buah alat musik dawai pada relief Karmawibhangga nomor 102 (gasola), 125 (solawa) dan 151 (gasona) dengan menggunakan material kayu jati Baluran. 

Oleh karena tidak adanya jejak dokumen historis bagaimana bunyi masing-masing alat-alat musik tersebut, maka menginterprestasikan bunyi alat musik ini bukanlah hal mudah. 

Ke-3 dawai ini ditampilkan pertama kali di depan publik pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur. Selanjutnya, alat-alat musik ini diperkenalkan lebih luas pada acara pembukaan Borobudur Cultural Fest pada tanggal 17-18 Desember 2016 di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur. Waditra berdawai dimainkan dalam lagu berjudul Padma Swargantara yang menjadi anthem di Borobudur Cultural Feast.

Anthem Patma Swargantara merupakan perpaduan bunyi instrumen tradisional dengan aransemen musik modern, kolaborasi masa lampau dan masa kini, sinergi warna timur dan barat. Ini menjadi perlambang bahwa bunyi dari Borobudur sebagai suara keluhuran jiwa dan sumber pengetahuan warisan leluhur kita, dapat menembus batas ruang dan waktu, lintas generasi, lintas budaya, lintas disiplin ilmu, lintas etnis dan bangsa.

Dalam 5 tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk merekonstruksi dan menginterprestasikan alat-alat musik yang terpahat di Candi Borobudur. Ini termasuk pengumpulan data, wawancara, studi literasi, rekonstruksi alat-alat musik, dan mengumpulkan berbagai alat musik dari berbagai pernjuru nusantara. 

Hingga saat ini, sudah terkumpul sekitar 195 alat musik serta sebanyak 18 instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen dari bahan gerabah dan 1 instrumen idiofone yang terbuat besi telah direkonstruksi.

Relief-relief alat musik pada dinding Candi Borobudur yang selama berabad-abad membisu, kini berbunyi kembali. Relief-relief yang dulunya tampak mati, kini menjadi “hidup” kembali.

What Next?

Sound of Borobudur membawa kita kepada paradigma baru bahwa Candi Borobudur tidak hanya sekadar mahakarya dan monumental megah masa lampau sebagai destinasi wisata. Sejatinya Borobudur adalah pusat peradaban. Sound of Borobudur adalah pijakan awal untuk menggali kembali warisan leluhur kita yang ditinggalkan di Candi Borobudur, yang selama ini kurang mendapat perhatian dari kita.

Candi Borobudur sebagai warisan (legacy) dari leluhur kita, menyimpan kekayaan spiritualitas, intelektualitas, seni budaya dan kebijaksanaan. Warisan ini nantinya akan kita teruskan kepada generasi mendatang, bahkan mungkin ribuan tahun lagi dari sekarang. Ini bukan saja tanggung jawab para seniman yang bergabung dalam gerakan Sound of Borobudur, tapi tugas kita bersama sebagai ahli waris leluhur. Masing-masing kita dapat berkontribusi sesuai kapasitas yang kita miliki. 

Borobudur sebagai pusat musik dunia tidak hanya menggemakan Sound of Borobudur. Lebih dari itu, Borobudur menggemakan Sound of Nations, di mana seluruh bangsa bersatu layaknya ansambel orkestra besar yang memainkan berbagai macam alat musik dalam harmoni, yang menyatukan keberagaman dalam tali persaudaraan dan kemanusiaan. 

Warisan Borobudur adalah warisan peradaban, tidak saja bagi Indonesia tetapi juga seluruh bangsa di dunia. “Menghidupkan” kembali Candi Borobudur memang pekerjaan rumah yang besar. Kolaborasi dan perencanaan terpadu diperlukan untuk merealisasikan tugas ini. Ini merupakan perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Tapi di mana ada kemauan di situ ada jalan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun