Terpilihnya Nadiem Makarim sebagai menteri Kemendikbudristek masih menyisakan tanya bagi para orangtua. Kapan pembelajaran tatap muka akan dimulai? Apakah benar sekolah akan dibuka pada tahun ajaran baru bulan Juli nanti?Â
Beberapa waktu lalu, telah dilakukan vaksinasi untuk guru dan tenaga kependidikan dan ditargetkan selesai pada bulan Juni.Â
Pemerintah merencanakan pembelajaran tatap muka saat bulan Juli mulai tahun ajaran baru. WAG pun mulai kembali ramai membicarakan rencana pembelajaran tatap muka ini.
Para orangtua masih galau jika dilakukan pembelajaran tatap muka. Memang guru-guru dan tenaga kependidikan sudah divaksin. Tapi bagaimana dengan para orangtua siswa dan siswanya sendiri?Â
Walau bagaimanapun, anak-anak tidak saja berinteraksi dengan guru, tapi juga dengan teman-temannya di sekolah. Kemudian anak-anak akan pulang ke rumah dan berinteraksi dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya.Â
Jadi kalau yang divaksin masih hanya guru-guru dan tenaga kependidikan, masih ada risiko terpapar virus Covid-19 dari anggota keluarga dan berpotensi menyebar ke sekolah jika si anak tidak menunjukkan gejala Covid-19.
Mengingat informasi penjadwalan vaksinisasi ini hinggga sekarang masih belum jelas, banyak orangtua yang tidak yakin bahwa pada bulan juni orangtua dan anggota keluarga dewasa lainnya juga akan mendapatkan vaksin. Ditambah dengan merebaknya Covid-19 di India akhir-akhir, menambah kekhawatiran orangtua.Â
Pemerintah India sudah kewalahan mengatasi kenaikan kasus harian yang meningkat tajam di atas 300.000 kasus. Kasus kematian harian juga mencapai ribuan.Â
Hanya dalam satu minggu, sudah ada 1,57 juta kasus dan lebih dari 15.000 kematian. Rumah sakit dibanjiri pasien dan krematoriun bekerja dengan kapasitas penuh di India.
Di sisi lain, kasus positif Covid-19 pada anak di indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Berdasarkan data covid.go.id per bulan April 2021, untuk anak-anak dengan rentang umur 0-18, 12.3% positif Covid-19 dan 1,3% meninggal dunia. Angka kematian anak karena Covid-19 di Indonesia tertinggi di ASEAN dan Asia Pasifik.
health.detik.com (30/3/2021), Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI) menjelaskan bahwa sampai saat ini anak-anak masih belum menjadi target vaksinasi Covid-19.Â
Dikutip dariStudi masih berjalan untuk membuktikan keamanan dan efektivitasnya. Vaksinasi Covid-19 untuk anak-anak diperkirakan baru dapat dilakukan tahun 2022-2023.
Permasalahan Pembelajaran Jarak Jauh
Memang pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah dilaksanakan selama kurang lebih 1 tahun ini, dirasa kurang efektif dan banyak mengalami permasalahan. Salah satunya adalah adanya kesenjangan pembangunan, di mana masih banyak daerah yang belum memiliki infrastruktur yang memadai, di antaranya jaringan listrik dan jaringan internet.Â
Kita pernah mendengar berita beberapa waktu lalu, anak-anak sekolah terpaksa mendaki bukit untuk mendapatkan sinyal internet. Perhimpunan Pendidikan dan Guru mencatat di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T), guru-guru masih mengunjungi rumah-rumah siswa untuk mengajar. Namun, hal ini juga mengalami keterbatasan karena jarak rumah guru dengan siswa tidak dekat. Di beberapa daerah 3T, masih banyak guru dan siswa yang tidak memiliki gawai.
Permasalahan gawai ini tidak hanya dialami oleh daerah 3T. Untuk masyarakat yang tinggal di kota pun mengalami kendala tersendiri. Misalnya dalam keluarga ada 3 orang anak, dengan kedua orangtua bekerja. Laptop hanya dimiliki oleh ayah, sementara ibu meminjam laptop dari kantor.Â
Oleh karena orangtua juga bekerja dari rumah, laptop tidak bisa dipinjamkan ke anak-anak. Di sisi lain, membiarkan anak melaksanakan PJJ dengan menggunakan gawai yang berlayar kecil juga memiliki problema tersendiri. Layar kecil menyebabkan anak menjadi tidak nyaman saat melakukan PJJ karena melelahkan mata menatap layar gawai selama berjam-jam.Â
Hal tersebut tentu akan berpengaruh pada kesehatan mata anak. Dan mengerjakan tugas dengan gawai juga sulit dilakukan karena terbatasnya software yang tersedia di gawai. Mau tak mau terpaksa harus mengeluarkan uang membeli laptop baru, Padahal banyak orang yang di-PHK ataupun potong gaji atau dirumahkan.Â
Untuk orangtua yang masih bekerja, terutama yang berstatus karyawan swasta, tetap ada kekhawatiran jika di kemudian hari ada PHK. Uang yang seharusnya disimpan untuk berjaga-jaga, mau tak mau harus dikeluarkan agar anak-anak dapat melakukan PJJ. Hal ini tentu sangat membebani.
Banyaknya terjadi pHK dan menurunnya pendapatan juga menyebabkan banyak anak yang terpaksa berhenti sekolah selama pelaksanaan PJJ. Anak-anak terpaksa membantu orangtua mencari nafkah ataupun dinikahkan dini.
Kendala lain yang dihadapi adalah sumber daya manusia yang tidak siap. Selama ini guru hanya dipersiapkan untuk menghadapi kegiatan belajar mengajar dalam keadaan normal.Â
Keterampilan menggunakan perangkat digital sangat minim. Masih banyak guru yang belum dapat menyajikan materi presentasi yang menarik dan mudah dipahami sehingga banyak siswa merasa bosan.Â
Tentunya kita pernah melihat di berita ada anak-anak tertidur saat melakukan PJJ dengan pose yang lucu-lucu. Namanya anak-anak, susah juga dipaksa untuk tetap fokus. Atau anak-anak yang berpura-pura membuka laptop untuk PJJ, tapi malah asyik menonton YouTube atau bermain game.
Keterbatasan lain yang dihadapi adalah tidak semua sekolah memiliki fasilitas Zoom berbayar untuk PJJ. Penyampaian materi pelajaran dibatasi waktu Zoom gratisan, tanpa mempedulikan apakah seluruh materi sudah disampaikan ataupun para  siswa sudah mengerti dengan materi yang diajarkan.
Permasalahan lain yang sangat dikuatirkan adalah learning loss. Menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru, capaian materi dan pemahaman materi siswa selama PJJ hanya mencapai 40%.Â
Dengan demikian, pembelajaran selama PJJ dianggap tidak efektif. Materi yang disampaikan oleh guru kadang-kadang belum tentu dapat dipahami siswa saat belajar tatap  muka di sekolah, apalagi jarak jauh.Â
Bagi orangtua yang juga bekerja, agak kesulitan untuk mengatur waktu menyelesaikan pekerjaan kantor dan di saat yang sama harus mendampingi anak-anak selama PJJ.Â
Tidak jarang orangtua komplain merasa beban mengajar yang harusnya menjadi tugas guru, sekarang dilimpahkan ke pundak orangtua. Apalagi bagi orangtua tunggal, beban dirasa makin berat.
Belum lagi pelajaran anak-anak zaman sekarang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan saat orangtua dulu bersekolah. Jadi orangtua pun susah mengikuti pelajaran anak-anak walaupun ikut mendampingi selama PJJ.Â
Ada orangtua yang merasa wong dulu saja sekolah dapat nilai matematika dan fisika jelek, eh dilalah malah disuruh ngajarin anak. Ada lagi orangtua yang merasa anaknya tidak secerdas yang diharapkan. Akibatnya, saat mengajari anak malah marah-marah dan membandingkan kecerdasan dirinya dengan si anak. Belum lagi orangtua juga dikejar-kejar tenggat waktu di kantor. Orangtua stres, anak-anak juga ikutan stres. Apalagi kalau guru memberi pekerjaan rumah yang menumpuk.
Pekerjaan rumah membuat video juga menjadi tantangan tersendiri. Pembuatan video membutuhkan keahlian dari pengambilan gambar dan mengedit, sedangkan waktu pengumpulan tugas video sering mepet.Â
Pengambilan gambar berulang-ulang agar video sempurna bisa membuat orangtua naik darah. Hal ini juga memicu stres bagi anak dan juga orangtua.
Sebelum pandemi, banyak orangtua yang mengikutsertakan anak-anaknya les di luar sekolah. Dan selama ini, memang efektif membantu orangtua sehingga orangtua tidak turun langsung menghadapi anak belajar sehingga benturan-benturan mengajari anak belajar dapat diminimalkan. Selain memang memang orangtua hampir tidak punya waktu. Namun sejak pandemi, kegiatan les pun dihentikan.
Selama berada di rumah saja, juga membuat anak-anak merasa jenuh dan bosan karena tidak dapat bermain-main dengan teman-teman dan berinteraksi dengan para guru. Hal ini berdampak pada psikososial anak. Belum lagi masalah ruang belajar yang nyaman selama anak di rumah saja juga menjadi tantangan tersendiri.
Penggunaan gawai selama PJJ juga menyebabkan anak jadi lebih banyak bermain gawai. Padahal sebelum PJJ, orangtua sudah berusaha membatasi penggunaan gawai.
Namun sekarang apa boleh buat, daripada anak bosan, terpaksa orangtua mengizinkan anak bermain gawai di luar jam PJJ. Potensi anak kecanduan gawai pun menjadi meningkat.
Kendala lain dalam menjalankan PJJ adalah saat anak-anak naik kelas, anak-anak akan bergabung dengan kelas yang baru dengan teman-teman yang baru dan guru-guru yang baru, di mana anak-anak belum pernah berinteraksi sebelumnya.Â
Hal ini akan membuat anak canggung untuk berinteraksi dengan teman ataupun bertanya kepada guru jika anak tidak memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Ini juga akan berpengaruh pada hasil PJJ.
Banyaknya permasalahan yang timbul selama PJJ membuat pemerintah ingin segera melaksanakan pembelajaran tatap muka. Namun, rencana pembelajaran tatap muka yang direncanakan akan dilaksanakan bulan Juli mendatang mengundang pertanyaan bagi orangtua:
- Apakah pembelajaran tatap muka akan dilakukan setiap hari atau pembelajaran dilakukan secara hibrid dengan menggabungkan sesi virtual dan tatap muka?
- Jika pembelajaran dilakukan secara hibrid, berapa proporsi masing-masing pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh?
- Apakah kita siap melaksanakan pembelajaran tatap muka?
Kesiapan melaksanakan pembelajaran tatap muka tentunya membutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, fasilitas kesehatan, pihak sekolah serta siswa dan orangtua siswa. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan orangtua dalam menghadapi pembelajaran tatap muka
VaksinasiÂ
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, belum semua orangtua dan orang dewasa yang tinggal bersama siswa divaksinasi. Ketidak jelasan jadwal vaksinasi membuat orangtua khawatir apabila hingga bulan Juli belum divaksinasi. Apalagi dengan munculnya varian baru virus Corona seperti varian India dan Afrika Selatan. Apakah vaksin yang ada saat ini cukup efektif untuk melawan varian virus baru ini?
Sistem Tracking
Apakah pemerintah dan pihak sekolah sudah menyiapkan sistem tracking yang cepat tanggap jika nantinya terjadi klaster-klaster sekolah?
Fasilitas Kesehatan
Apakah fasilitas kesehatan semuanya sudah disiapkan, termasuk akses pengujian Covid-19 dengan harga terjangkau? Apakah pemerintah sudah melakukan simulasi atau pemodelan terkait skenario terburuk yang terjadi sehingga dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan?
Kesiapan Sekolah
Apakah sekolah sudah menyiapkan SOP Adapatasi Kebiasaan Baru (AKB) di sekolah dan mensosialisasikannya kepada para siwa dan orangtua siswa? Apakah pihak sekolah dapat memastikan semua guru dan tenaga kependidikan menerapkan 3M: memakai masker, menjaga harak dan mencuci tangan dengan sabun?Â
Jangan sampai karena merasa sudah divaksin, disiplin menjadi kendor. Apakah guru-guru juga dapat memastikan anak-anak konsisten menerapkan 3M, terutama untuk siswa-siswa TK dan SD?Â
Apakah pihak sekolah akan memberikan semacam safety induction terkait 3M sebelum kelas dimulai? Apakah sekolah juga membuat brosur-brosur ataupun spanduk terkait 3M di setiap pintu masuk kelas dan tempat-tempat strategis di sekolah sebagai pengingat?Â
Tidak mungkin anak-anak dapat diawasi selama 24 jam sehari. Walaupun orangtua mengajari dan mengingatkan anak-anak di rumah, ada kemungkinan anak-anak lupa saat berada di sekolah.Â
Apakah sekolah juga akan menyediakan fasilitas cuci tangan lengkap dengan sabun di depan setiap ruang kelas atau setidaknya hand sanitizer?Â
Apakah sekolah juga menyediakan masker cadangan untuk berjaga-jaga jika siswa perlu mengganti maskernya? Apakah guru mengajar disediakan alat pengeras suara agar suara guru dapat didengar dengan jelas oleh para siswa?Â
Bagaimana dengan pengumpulan tugas atau ujian, apakah tetap dilakukan dengan cara konvensional menggunakan kertas?
Layanan Transportasi
Tidak semua orangtua dapat mengantarkan anak ke sekolah dengan kendaraan pribadi. Apakah pemerintah dapat menjamin ketersediaan transportasi umum terutama pada jam sibuk sehingga waktu tunggu transportasi umum dapat dimimalkan? Bagaimana pengaturan antrian penumpang di halte-halte bus dan di stasiun-stasiun kereta?
Bagi masyarakat yang kurang mampu, ada potensi masalah lain juga yang akan dihadapi saat melaksanakan pembelajaran tatap muka. Harga masker relatif mahal meskipun saat ini memang sudah jauh lebih murah dibandingkan dengan waktu semester pertama Covid-19 merebak.Â
Kalau dihitung kasar, rata-rata harga masker berkisar Rp 2000-Rp 3000 per potong. Belum lagi anak membawa hand sanitizer untuk berjaga-jaga.Â
Biaya sebesar ini masih relatif mahal bagi masyarakat kurang mampu. Kecuali pemerintah mengeluarkan regulasi terkait harga masker sehingga masyarakat dapat membeli masker dengan harga yang lebih murah. Kendala lain jika di daerah tersebut fasilitas air bersih tidak memadai, bagaimana bisa mencuci tangan jika air tidak ada?
Sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi pro dan kontra pelaksanaan pembelajaran tatap muka ini sehingga keputusan yang diambil adalah yang terbaik.Â
Jika memang pembelajaran tatap muka tetap akan dilaksanakan bulan Juli mendatang, perlu rencana dan koordinasi yang matang antara semua pihak: pemerintah, fasilitas kesehatan, sekolah, orangtua dan siswa. Pastinya semua pihak berharap semuanya berjalan lancar. Dan semoga Covid-19 cepat berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H