Apa yang cantik menurut seseorang, belum tentu cantik menurut orang lain. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada standar kecantikan yang diterima secara umum.Â
Banyak perempuan tertekan dan berusaha mati-matian untuk memenuhi standard kecantikan ini agar dapat diterima oleh orang lain. Beauty is pain.
Naomy Wolf dalam bukunya The Beauty Myth yang diterbitkan tahun 2002 menuliskan bahwa mitos kecantikan merupakan upaya masyarakat patriarki untuk mengendalikan perempuan melalui standar kecantikan.Â
Yang menentukan standar kecantikan perempuan bukanlah perempuan itu sendiri, melainkan laki-laki. Terlepas dari majunya gerakan perempuan dan kekuatan yang diperoleh perempuan dalam hal professional dan pengakuan hukum, gagasan masyarakat tentang kecantikan membuat perempuan terjebak untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
Mengapa perempuan berusaha mati-matian memenuhi standar kecantikan ini? Kalau dipikir-pikir kecantikan lahiriah bukanlah hal yang utama. Namun pada kenyataannya, kecantikan lahiriah ini justru dianggap penting.Â
Bahkan kita sering mendengar kecantikan adalah privelese. Jika perempuan itu cantik, maka bisa dikatakan 50% masalah hidupnya beres. Kecantikan bahkan dapat menentukan masa depan dan nasib seseorang. Kita lihat saja ada banyak artis cantik yang berhasil menikahi anak-anak konglomerat.Â
Untuk skala kecil, kita bisa melihat misalnya ada perempuan cantik minta bantuan untuk mengangkat barang, laki-laki dengan sigap memberi bantuan. Atau kalau lagi belanja di mal, para karyawan toko dengan senang hati melayani. Perempuan cantik juga lebih popular dalam pergaulan sosial.
Media berperan besar dalam mempromosikan standar kecantikan ini dengan membordir perempuan dengan apa yang dianggap cantik ideal. Ini akan mempengaruhi bagaimana perempuan melihat dirinya sendiri, bahwa dia harus terlihat seperti apa yang media gambarkan.Â
Kecantikan ideal bagi perempuan Indonesia digambarkan dengan kulit yang putih mulus, bertubuh langsing, rambut panjang lurus dan hidung mancung. Kolonialisme telah meninggalkan jejaknya dalam standar kecantikan yang lebih condong ke Eurosentris.
Upaya Perempuan dalam Memenuhi Standar Kecantikan