Sejak munculnya Whatsapp Messenger sebagai aplikasi pesan untuk ponsel cerdas, orang-orang beramai-ramai menggunakan aplikasi ini. WA besutan Brian Acton dan Jan Kou ini adalah salah satu aplikasi yang termasuk user friendly dan ramah dikantong.
Kalau dulu orang-orang mengirim pesan melalui Short Message Service (SMS) melalui jaringan operator komunikasi harus membayar sekitar Rp.200/SMS, dengan WA cukup hanya menggunakan paket internet. Selain itu, WA juga dapat mengirim foto, video, dan file. Dengan WA, para pengguna juga dapat melakukan video call. Inilah keunggulan aplikasi WA.
Selain untuk komunikasi secara perorangan, WA juga dapat digunakan untuk grup sekelompok orang. Sekarang ini, hampir semua orang bergabung dalam grup WA atau yang dikenal dengan sebutan WAG. Dari WAG keluarga inti, keluarga besar, alumni sekolah, karyawan satu departemen, satu divisi atau satu direktorat, grup hobi, grup orang tua siswa, dan grup lainnya.
Tidak jarang ada grup di dalam grup. Biasanya ini terjadi karena ada rasa sungkan untuk mengeluarkan pendapat pribadi yang mungkin kurang nyaman diutarakan ke grup besar WA. Cukup hanya dengan teman-teman dekat yang juga anggota grup besar.
Ada banyak drama yang terjadi dalam WAG. Mulai yang salah kamar posting dan terpaksa dihapus lagi. Atau admin berselisih pendapat dengan salah satu anggota. Dua-duanya sama-sama ngotot, tidak ada yang mau mengalah.
Berhubung admin merasa dia memiliki kuasa lebih dibandingkan anggota WAG biasa, penyalahgunaan kuasa pun terjadi. Si “musuh” pun ditendang keluar dari WAG. Ada lagi yang bertindak sebagai drama queen, mengancam akan keluar dari WAG. Eh, dilalah dia punya 2 nomor ponsel yang masuk dalam WAG. Jadi dia masih bisa stalking teman-teman di dalam grup dengan menggunakan nomor ponsel lainnya.
Dan mungkin drama yang paling fenomenal adalah saat pemilu atau pilkada, dimana masing-masing punya jagoan. Segala berita atau rumor tidak jelas berseliweran di WAG, hanya untuk membela jagoan masing-masing dan menjatuhkan pihak lawan.
Akibatnya, banyak yang memilih keluar dari grup karena merasa tidak nyaman. Terutama bagi orang-orang yang memilih untuk menjadi golput. Lebih repot lagi kalau masalah pemilu dan pilkada dibahas di WAG keluarga. Sesama saudara kandung atau orangtua dengan anak bisa ribut karena beda pilihan. Dan akhirnya ada yang memutuskan untuk keluar. WAG yang semula ditujukan untuk media bersilatuhrahmi, telah berubah menjadi "kancah perang".
WAG keluarga juga memiliki persoalan tersendiri. Persaingan antar saudara kandung atau ikut campurnya ipar dalam urusan keluarga biasanya jadi pemicu masalah di WAG.
Misalnya ibu dekat dengan si bungsu dan membelikan motor tanpa memberitahu kakak-kakaknya yang tinggal di luar kota. Lalu si bungsu posting motor terbaru di WAG. Kakak kakak-nya pun iri dan merasa ibu tidak adil. Selama ini mereka toh naik angkutan umum waktu sekolah dulu. Dan saat mereka membutuhkan uang dan meminta pinjaman ke si ibu, ibu tidak mau membantu. Akhirnya ada anak yang merasa sakit hati dan keluar dari grup.
Belum lagi ipar yang mendominasi saudara kandung. Apa-apa mesti atas persetujuan ipar. Akhirnya muncul keributan yang tak bisa dihindari antara saudara kandung dan kakak ipar.
Untuk WAG orang tua di sekolah, biasanya yang aktif berinteraksi adalah ibu-ibu, terutama ibu-ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Untuk ibu-ibu yang bekerja sebagai karyawati ataupun yang wiraswasta, hanya sempat mengantarkan anak-anak pada pagi hari dan hampir tidak ada waktu bercengkrama dengan ibu-ibu lain. Acara arisan orang tua murid biasanya dikoordinir oleh ibu-ibu yang lebih sering berada di sekolah menunggu anak pulang sekolah.
Khusus grup alumni, biasanya admin grup adalah orang-orang yang dulu aktif sebagai panitia kegiatan di sekolah ataupun di kampus. Admin grup memasukkan nomor ponsel teman-teman kelas ke dalam WAG.
Tidak jarang tanpa menanyakan persetujuan orang yang bersangkutan. Ada yang OK saja dimasukkan ke dalam WAG karena merasa ini wadah bersilatuhrahmi. Tapi ada juga yang merasa keberatan. Entah karena ponsel menjadi lambat akibat terlalu banyak bergabung dalam WAG ataupun karena ada anggota WAG lain yang memang sengaja dihindari. Ada juga yang merasa topik yang dibahas di WAG membosan.
Kalau sudah begini, jadi serba tidak enak. Mau keluar grup sungkan, tetap di dalam grup juga merana. Terpaksa keluar diam-diam saat WAG sepi. Kalau ada teman yang ngeh ada yang keluar dari WAG, biasanya muncul komentar “Siapa tuh yang left?”
Lalu salah satu teman yang lebih dekat dengan yang bersangkutan menghubunginya secara pribadi. “Kok left sih? Kenapa?” Terpaksa buat alasan ponsel jadi lambat, terlalu banyak grup WA. Kalau yang menanyakan benar-benar teman dekat, yang bersangkutan bisa dengan jujur mengungkapkan alasannya. “Malas euy. Yang dibahas gak mutu, buang-buang kuota internet aja”.
Cerita lain yang sering dijumpai di grup alumni adalah kalau dari beberap anggota WAG bekerja tidak sesuai dengan background pendidikan atau memilih menjadi ibu rumah tangga, sedangkan teman-teman lain menjadi profesional di bidangnya. Pembicaraan di WAG jadi gak nyambung.
Di saat WAG membicarakan hal-hal yang sangat teknis dari profesi atau bidang industri tertentu, teman-teman yang berada di luar jalur merasa beda dunia. Merasa tersesat di dalam grup WA.
Akhirnya terbentuk grup di dalam grup, yang membahas hal-hal yang ringan saja atau sharing kehidupan sehari-hari. Mulai dari pusing harga-harga di pasar melonjak, biaya masuk sekolah anak yang bisa setara dengan 2-3 kali gaji, repotnya administrasi ujian masuk sekolah anak, anak-anak susah makan, pelajaran sekolah anak yang semakin susah diikuti, menemani anak belajar saat menjelang ujian, atau susahnya mencari asisten rumah tangga. Kadang-kadang diselingi dengan gosip artis terbaru yang lagi heboh.
Justru hal-hal yang tampaknya “remeh” ini seperti tali pengikat grup karena merasa senasib sepenanggungan. Kedekatan seperti ini tidak bisa dilakukan di grup besar, khususnya yang melulu berdiskusi tentang topik profesi tertentu.
Kadang-kadang ada juga yang membagikan topik grup besar ke dalam grup kecil. “Eh, itu anak-anak bahas apaan ya? Gue benar-benar gak ngeuh. Emang dulu kita pernah belajar itu ya di kuliah?”
Teman-teman yang lain ikutan nyeletuk, “Elu sih sering bolos kuliah, makanya elu gak ingat”, canda teman yang lain. Kemudian percakapan bersambung dengan dosen mata kuliah yang killer-nya ampun-ampun sampai harus mengulang mata kuliah. Dapat nilai C saja sudah sujud syukur.
Nah, selain masalah topik bahasan yang yang kurang membumi, WAG alumni memiliki dinamika lain yang menarik. Salah satunya adalah cinta lama yang belum kelar. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu sejak kelulusan, sekarang dipersatukan dengan WAG. Dari yang tidak tahu nomor ponsel mantan gebetan, sekarang jadi tahu.
Mau bertanya kabar secara langsung secara pribadi sungkan, terpaksa menggunakan WAG sebagai media komunikasi. Syukur-syukur mantan gebetan ikutan merespon pesan yang disampaikan. Dari sahut menyahut di WAG, cinta lama yang belum kelar, akhirnya bersemi kembali. Siapa sih yang gak senang diperhatikan orang lain? Apalagi kalau mantan gebetan masih cantik atau ganteng seperti dulu. Atau malah lebih cantik/ganteng dan memiliki posisi penting di tempatnya bekerja. Kekaguman yang dulu ada semakin bertambah.
Kalau kebetulan orang tersebut saat ini juga sukses, bisa jadi muncul keberanian untuk mencoba mendekati mantan gebetan kalau mantan gebetan jomlo.
Dulu sebagai mahasiswa, uang kiriman orang tua pas-pasan atau bahkan kurang. Ini menjadi salah satu alasan tidak berani mengutarakan perasaan cintanya ke mantan gebetan. Atau karena alasan gak tajir ini, mantan gebetan menolak. Sekarang dengan kesuksesan yang diraih, kepercayaan diri pun bertambah. Siapa tahu kali ini gebetan baru yang tadinya mantan gebetan menerima cintanya.
Menjadi berbahaya kalau orang tersebut ternyata sudah menikah dan kemudian mulai membandingkan pasangannya dengan mantan gebetan. Padahal sebelum bergabung WAG, hubungan dengan pasangan baik-baik saja. Kalau sang mantan gebetan memberi respon bak gayung bersambut. Kemungkinan terjadi perselingkuhan secara emosional semakin besar. Apalagi kalau hubungan saat ini dengan pasangan sedang hambar-hambarnya, komunikasi dengan mantan gebetan menjadi semacam oase. Kalau tidak mawas diri, bukan hanya terjadi perselingkhuan secara emosional, tapi jadi selingkuh benaran.
Ada lagi cerita yang lain. Kalau admin grup yang tahu kisah cinta bertepuk sebelah tangan ini iseng jahilin temannya. Semua rahasia dapur untuk mendapatkan hati sang pujaan di masa lalu terbongkar di WAG dan dijadikan banyolan. Dengan alasan nostalgia masa lalu akan mempererat hubungan anggota grup.
Teman-teman lain yang dulu tidak tahu cerita di balik layar, jadi tahu dan ikut-ikutan menertawakan atau memberikan komentar yang menohok. Mau marah dan tersinggung juga gak bisa. Padahal mungkin orang tersebut telah berusaha mati-matian mengubur rasa kasih tak sampainya itu jauh-jauh dan akhirnya memutuskan menikah dengan pasangannya sekarang.
Apa boleh buat, luka lama terkorek kembali. Mau tidak mau supaya gak dibilang baperan, banyolan teman-teman jahil tadi terpaksa direspon dengan hati meringis. Atas nama persahabatan, terpaksa menerima dijadikan bulan-bulanan.
Kalau sang mantan gebetan tidak merespon guyonan tersebut, biasanya banyolan itu mereda dengan sendirinya. Tapi kalau sang mantan gebetan ikut-ikutan berkomentar nyelekit, hati pun jadi panas. Yang tadinya sudah move-on, jadi gak jadi move-on. Merasa tersinggung dan marah. Syukur-syukur kemarahannya tidak merembet ke istri dan anak-anaknya.
Yang tidak disadari teman-teman yang membuat “sejarah kelam” masa lalu menjadi banyolan adalah, orang yang menjadi korban bisa jadi belum move-on dengan kisah cinta tak sampainya. Masih merasa sakit hati ditolak dulu. Bisa jadi menikah dengan pasangannya saat ini bukan karena cinta, tapi karena terpaksa. Entah karena usia yang semakin bertambah sehingga dituntut orang tua untuk segera menikah atau karena supaya gak kesepian. Apalagi kalau hingga saat ini, yang bersangkutan belum menikah. Benar-benar jadi tidak bisa move-on. “Sungguh teganya teganya teganya dirimu”.
Jadi sebenarnya bagaimana etika berkomunikasi di WAG? Sah-sah saja kalau mau ngebanyol agar suasana WAG ramai dan hidup, tapi harus peka juga dengan perasaan orang lain.
Jangan sampai membuat orang lain jadi sakit hati atau jadi gak bisa move-on. Karena urusan cinta ini urusan hati, baik laki-laki ataupun perempuan, sama-sama menjadi rentan layaknya porselen Tiongkok. Jangan sampai karena cinta lama belum kelar ini merusak persahatan. Untuk yang sudah punya pasangan, amit-amit jangan sampai cinta lama yang belum kelar, membawa ke perselingkuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H