Untuk WAG orang tua di sekolah, biasanya yang aktif berinteraksi adalah ibu-ibu, terutama ibu-ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Untuk ibu-ibu yang bekerja sebagai karyawati ataupun yang wiraswasta, hanya sempat mengantarkan anak-anak pada pagi hari dan hampir tidak ada waktu bercengkrama dengan ibu-ibu lain. Acara arisan orang tua murid biasanya dikoordinir oleh ibu-ibu yang lebih sering berada di sekolah menunggu anak pulang sekolah.
Khusus grup alumni, biasanya admin grup adalah orang-orang yang dulu aktif sebagai panitia kegiatan di sekolah ataupun di kampus. Admin grup memasukkan nomor ponsel teman-teman kelas ke dalam WAG.
Tidak jarang tanpa menanyakan persetujuan orang yang bersangkutan. Ada yang OK saja dimasukkan ke dalam WAG karena merasa ini wadah bersilatuhrahmi. Tapi ada juga yang merasa keberatan. Entah karena ponsel menjadi lambat akibat terlalu banyak bergabung dalam WAG ataupun karena ada anggota WAG lain yang memang sengaja dihindari. Ada juga yang merasa topik yang dibahas di WAG membosan.
Kalau sudah begini, jadi serba tidak enak. Mau keluar grup sungkan, tetap di dalam grup juga merana. Terpaksa keluar diam-diam saat WAG sepi. Kalau ada teman yang ngeh ada yang keluar dari WAG, biasanya muncul komentar “Siapa tuh yang left?”
Lalu salah satu teman yang lebih dekat dengan yang bersangkutan menghubunginya secara pribadi. “Kok left sih? Kenapa?” Terpaksa buat alasan ponsel jadi lambat, terlalu banyak grup WA. Kalau yang menanyakan benar-benar teman dekat, yang bersangkutan bisa dengan jujur mengungkapkan alasannya. “Malas euy. Yang dibahas gak mutu, buang-buang kuota internet aja”.
Cerita lain yang sering dijumpai di grup alumni adalah kalau dari beberap anggota WAG bekerja tidak sesuai dengan background pendidikan atau memilih menjadi ibu rumah tangga, sedangkan teman-teman lain menjadi profesional di bidangnya. Pembicaraan di WAG jadi gak nyambung.
Di saat WAG membicarakan hal-hal yang sangat teknis dari profesi atau bidang industri tertentu, teman-teman yang berada di luar jalur merasa beda dunia. Merasa tersesat di dalam grup WA.
Akhirnya terbentuk grup di dalam grup, yang membahas hal-hal yang ringan saja atau sharing kehidupan sehari-hari. Mulai dari pusing harga-harga di pasar melonjak, biaya masuk sekolah anak yang bisa setara dengan 2-3 kali gaji, repotnya administrasi ujian masuk sekolah anak, anak-anak susah makan, pelajaran sekolah anak yang semakin susah diikuti, menemani anak belajar saat menjelang ujian, atau susahnya mencari asisten rumah tangga. Kadang-kadang diselingi dengan gosip artis terbaru yang lagi heboh.
Justru hal-hal yang tampaknya “remeh” ini seperti tali pengikat grup karena merasa senasib sepenanggungan. Kedekatan seperti ini tidak bisa dilakukan di grup besar, khususnya yang melulu berdiskusi tentang topik profesi tertentu.
Kadang-kadang ada juga yang membagikan topik grup besar ke dalam grup kecil. “Eh, itu anak-anak bahas apaan ya? Gue benar-benar gak ngeuh. Emang dulu kita pernah belajar itu ya di kuliah?”
Teman-teman yang lain ikutan nyeletuk, “Elu sih sering bolos kuliah, makanya elu gak ingat”, canda teman yang lain. Kemudian percakapan bersambung dengan dosen mata kuliah yang killer-nya ampun-ampun sampai harus mengulang mata kuliah. Dapat nilai C saja sudah sujud syukur.