Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kenthirisme, Seberapa Kenthirkah Saya? Menjawab Pesan Pak Felix Tani

10 April 2021   11:01 Diperbarui: 10 April 2021   11:05 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Artikel ini saya tulis berdasarkan hasil perenungan saya terhadap pesan Pak Felix Tani, bahwa sebagai newbie, supaya saya kuat iman agar tidak ikut-ikutan kenthir seperti Prof. Pebrianov, yang tingkat kekenthirannya sudah kronis parah. Berhubung saya awam dalam bidang perkenthiran dan tulisan ini semata-mata hanya berdasarkan pemahaman pribadi saya, maka saya menuliskan disclaimer terlebih dahulu:

            Disclaimer

Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman pribadi. Mohon tidak mengutip dan menjadikannya sebagai referensi karena dikhawatirkan tingkat kekeliruannya tinggi dan membuat Anda tersesat. Saya tidak bertanggung jawab atas konsekuensi kesalahan jika Anda mengutip tulisan ini. Apalagi kalau dikomentari oleh para tokoh kenthir Kompasiana.

Saat itu jawaban saya atas pesan Pak Felix adalah saya merasa kurang kenthir. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri. Kurang kenthir itu seperti apa sih? Menurut saya kekenthiran bukanlah sebuah dikotomi – kenthir atau tidak kenthir, melainkan sebuah spektrum. Kalau kita analogikan dengan kuesioner-kusioner yang biasanya kita diminta untuk mengisi, kita akan disuguhi skor: (1) tidak kenthir sama sekali; (2) kurang kenthir; (3) cukup kenthir; (4) kenthir moderat; (5) sangat kenthir. Nah, di sinilah benak saya terusik. Kenthir itu sendiri sebenarnya apa? Saya pikir ini persoalan penting karena menyangkut kemaslahatan para Kompasianer. Sedemikian penting, sampai-sampai Ibu Leya Cattleya turun gunung mendedikasikan satu artikel beliau, khusus membahas anarkis dan kenthirisme.

Gara-gara masalah kenthir, selama 1 minggu ini saya jadi galau. Saya jadi sering merenung memikirkan seberapa kenthir sebenarnya saya. Tidur tak nyenyak, makan tak enak. Lebay deh ah. Untung bapak saya kira saya mikirin kerjaan kantor. Kalau bapak saya tahu saya mikirin perihal kekenthiran ini, bapak saya pasti ngomong “Eh alah ndhuk, omongan Pak Felix Tani kok didengerin”. Peace ya, Pak Felix.

Tak kenal maka tak sayang. Sayapun berselancar di dunia maya, mencari-cari apa itu kenthir dan kenthirisme. Pertama-tama, yang saya kunjungi adalah KBBI daring. Saya masukkan kata kenthir. Hasilnya adalah entri tidak ditemukan. “Don’t try this at home”, kata Prof. Pev. Cukup saya saja yang kurang kerjaan. Waduh, ternyata kenthir belum diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Lalu saya mencoba membuka tautan-tautan lain. Eng ing eng, hasilnya adalah: gila, perilaku antisosial atau menabrak pakem atau aturan umum yang berlaku. Ha ha ha. Pertanyaan selanjutnya, seperti apa kriteria kenthir itu? Kalau tidak ada kriteria, tentu kita tidak akan bisa mengevaluasi tingkat kekenthiran kita. Keingintahuan sayapun terpancing, saya tergerak menguak tabir misteri kenthirisme ini bak seorang anggota CSI.

Sependek pengetahuan saya, istilah kenthir dan aliran kenthirisme dimulai di Kompasiana dan tidak ditemukan di tempat lain (atau saya mainnya kurang jauh?). Oleh karena itu, untuk memahami dunia perkenthiran ini, mau tidak mau saya harus menggali artikel-artikel berdebu ataupun yang baru yang terbit di Kompasiana. Saya pikir aliran kenthirisme yang berkembang di Kompasiana memiliki pengaruh yang hampir bisa disamakan dengan ekstensialisme-nya Albert Camus pada zamannya. Eh, atau masih kejauhan kali ya? Bahkan komunitas Planet Kenthir Kompasiana sudah dibentuk sejak tahun 2010 (mohon koreksi kalau saya salah).

Saya ubeg-ubeg artikel-artikel yang membahas kekenthiran, terutama artikel-artikel yang ditulis oleh para tokoh utama kekenthiran Kompasiana. Yang cukup mengagetkan, artikel yang membahas kekenthiran sudah dimulai sejak tahun 2010, bersamaan dengan berdirinya Planet Kenthir. Karena artikel kekenthiran ternyata cukup banyak, saya batasi cakupan bahasan hanya untuk neo-kenthirisme. Ingat lho ya, ini bukan saudara jauh Neo dalam trilogi The Matrix. Setelah melakukan desk study tentang perkenthiran, dengan mencoba memahami, baik yang tersurat maupun yang tersirat ataupun yang nyangkut, berikut beberapa kriteria kekenthiran. Menurut Ibu Leya Cattleya (Cattleya, 2020), kriteria kekenthiran atau meminjam istilah yang beliau gunakan “anarkis” terdiri dari: (1) lucu; (2) ada kritik di dalamnya, (3) relevan.

Pak Felix Tani sendiri sebagai tokoh utama kenthirisme di Kompasiana, sudah menerbitkan 1 artikel khusus di tahun 2021 yang membahas perkenthiran ini. Tahun 2020, sudah ada 6 artikel yang beliau tulis. Bayangkan, seorang Felix Tani sudah menelurkan total 7 artikel selama kurang dari 1 tahun terakhir, khusus tentang kekenthiran. Gak tahu deh telurnya apa udah menetas apa belum. Belum ngecek saya. Tapi sepertinya belum, makanya beliau jadi uringan-uringan karena usahanya mencari pengikut baru kekenthiran nyaris gagal. Gimana gak seriusnya masalah perkenthiran ini coba.

Dalam artikel terbarunya (Felix Tani, 2021), menuliskan kriteria calon anggota komunitas kenthir meliputi: (1), jomlo dan konsisten; (2) menyuarakan “kenabian” atau memiliki misi khusus (3) artikelnya sering masuk “karantina” Kompasiana. Kriteria ke-3 ini kemudian dianulir. Ngomong-ngomong apa hubungannya antara jomlo dan kekenthiran? Entahlah, hanya Pak Felix yang tahu. Sedangkan dari artikel-artikel beliau tahun 2020, kriteria kenthir dapat diringkas sebagai berikut: (1) anarkis inovatif; (2) mengandalkan intuisi dan serendipitas (3) metode tanpa metode; (4) saling tindak dinamis ide, data, dan kata. Tentunya kenthirisme dipagari oleh kaidah logika, etis, dan estetika. Di lain pihak, Pak Khrisna Pabichara berpendapat bahwa untuk menjadi kenthir, berarti bebas mengalir begitu saja dan mampu mengubah fakta sederhana menjadi sesuatu yang mencengangkan (Pabichara, 2020). Hal senada juga diungkapkan oleh Pak Felix Tani saat membahas tentang kekenthiran Prof. Pebrianov (ketinggalan ditulis euy).

Jika kita menggabungkan semua kriteria dari teori kekenthiran yang dijelaskan di atas dan menganggapnya sebagai konsensus kriteria standar kekenthiran Kompasiana, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria standar kekenthiran adalah sebagai berikut:

  • Bebas merdeka, metode tanpa metode
  • Anarkis inovatif
  • Lucu mengarah “gila”, “sinting”
  • Berpatok pada ide, data dan kata
  • Mengandalkan intuisi dan serendipitas
  • Mengubah yang sederhana menjadi mencengangkan
  • Mengandung kritik atau menyuarakan “kenabian” atau misi khusus
  • Relevan

Dengan asumsi bahwa masing-masing kriteria memiliki bobot yang sama dan tanpa memperhitungkan kaidah statistika, maka skala kekenthiran dapat kita kelompokkan sebagai berikut:

  • Tidak kenthir sama sekali       : 0-15%%
  • Kurang kenthir                             : 16-50%
  • Cukup kenthir                               : 51%-65%
  • Kenthir moderat                          : 66%-85%
  • Sangat kenthir                              : > 85%

Berdasarkan kriteria ini, maka sayapun melakukan self-assessment kekenthiran. Dan hasilnya saudara-saudara, skala kekenthiran saya adalah 2. Hipotesis awal saya bahwa saya kurang kenthir ternyata terbukti benar. Tadinya saya khawatir kalau skala kekenthiran saya di atas 3, maka saya akan terpaksa bergabung dengan gerombolan kenthir Kompasiana.

Setelah saya melakukan self-assessment kekenthiran, saya merasa ada sesuatu yang kurang. Saya pikir untuk tokoh sekelas Pak Felix, seharusnya beliau minimal satu langkah lebih maju daripada sekedar mengeluh mengapa hanya sedikit kompasianer yang ikut mazhab kenthirisme. Beliau seharusnya menggali lebih dalam mengapa orang enggan atau bahkan tidak berminat menjadi kenthir. “Adillah sejak dalam pikiran”, kata Eyang Pram. Dengan memahami sebab musabab kengganan orang menjadi kenthir, Pak Felix tentunya dapat merumuskan strategi pemasaran yang cukup efektif untuk meyakinkan para kompasianer, untuk beralih menuju jalan kekenthiran. Siapa tahu, usaha beliau ini nantinya akan memunculkan disrupsi dan menjadi tonggak sejarah baru dalam jagad persilatan Kompasiana.

Menurut saya, persoalan kekenthiran ini bukan hanya ranah dunia penulisan saja, melainkan menyangkut falsafah hidup. Salah satu alasan orang enggan mengikuti jalan kekenthiran adalah karena menjadi kenthir membutuhkan keberanian untuk menjadi berbeda. Missfit kalau anak Jaksel bilang mah. Alih-alih mengambil jalan kekenthiran, orang-orang lebih memilih jalan konformitas. Jalan ini dianggap jalan yang lebih mudah, lebih aman dan sudah pasti selamat dari cibiran. Kalau kita telusuri ke belakang, dunia pendidikan yang menjadi tanah pijakan intelektualitas kita, juga menyiapkan kita menjadi conformist. Sejak dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi, kita dipaksa untuk “conform” dan mengikuti standar yang ada. Kalau tidak “conform”, maka konsekuensinya adalah tinggal kelas atau tidak lulus mata kuliah. Syukur-syukur tidak disuruh pindah ke sekolah lain atau drop-out (DO).

Masalahnya, konformitas ini seringkali abai dengan kekayaan kreativitas dan keunikan individu manusia, bahkan cenderung mematikan kreativitas itu sendiri. Para peserta didik diperlakukan sebagai “makhluk” yang siap dijejali pengetahuan. Lembaga pendidikan tak ubahnya menjadi pabrik penghasil manusia intelektual yang sesuai dengan standar kebutuhan industri pemberi kerja. Tapi benarkah dunia pendidikan sudah memanusiakan manusia? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Deg-degan nih saya, takut dilaporkan Prof. Pev ke Majelis Wali Amanat. Alamat saya nanti dikenakan sanksi, hanya boleh masuk ke kawasan parkiran kuda delman.  Ha ha ha.

Kita terbiasa mengikuti pakem yang sudah ada karena hanya dengan cara itu kita diterima di masyarakat, posisi kita aman. Cara berpikir kitapun, telah didoktrin dari pendidikan usia dini sampai mahasiswa, untuk berpikir secara linier: dari A ke B, lalu ke C, kemudian ke D, dan seterusnya. Padahal bisa jadi kita mulai dari A, kemudian B dan E yang memberi gambaran menuju D. Lalu dari C, D, dan H bersama-sama memberikan fondasi yang komprehensif menuju I (Ini bahas metode berpikir atau belajar huruf di PAUD sih? He he he). Kecuali untuk orang-orang yang cukup berani mengambil jalan sunyi seperti yang disarankan Emerson, orang-orang yang berani mendobrak status-quo, kekenthiran adalah kemustahilan. Kalau kata Mr. John Keating yang diperankan oleh Robin Williams dalam film favorit saya Dead Poets Society, orang-orang kenthir adalah orang-orang yang telah melewati fasa “find your own voice, no matter how silly it seems” dan berdamai dengan diri sendiri tanpa glorifikasi berlebihan.

Tanpa bermaksud merendahkan atau menganggap enteng kegilaan dalam dunia kesehatan mental, menjadi “gila”- kenthir, membutuhkan keberanian. Ironisnya, tanpa “kegilaan”, kita tidak akan bebas menjadi diri kita seutuhnya, diri kita yang diciptakan berbeda dan unik. Dan hanya dalam kebebasan menjadi diri sendiri itu, kita dapat menemukan diri kita yang sesungguhnya, “our true colors”. Kembali mengutip Mr. Keating.

“That you are here – that life exists, and identify; that the powerful play goes on and you may contribute a verse. What will your verse be?”

“Now we all have a great need for acceptance, but you must trust that your beliefs are unique, your own, even though others may think them odd or unpopular, even though the herd may go that’s bad”

Orang-orang kenthir adalah orang-orang yang tahu apa “verse” mereka dan menjalani hidup mengikuti “verse” mereka dengan penuh kesadaran. Tidak peduli apa kata orang lain. Ini hanya pendapat kroco mumet seperti saya lho, Pak Felix. He he he.

Jadi kalau Pak Felix mau kompasianer menjadi kenthir seperti Pak Felix, Pak Felix benar-benar harus kerja keras bagai kuda. Kalau perlu, ditambah gajah, badak, kingkong, banteng, dan teman-temannya.  Bukan apa-apa, karena yang dilawan Pak Felix ini berat. Ini bukan soal perilaku individual, tapi raksasa yang bernama konformitas dan inersia yang menghantui kehidupan manusia. Belum lagi kalau si konformitas dan si inersia manggil teman-temannya, kayak si zona nyaman, si pemalas, si keras kepala, si sombong, waduh makin berat aja. Dilan aja gak kuat, nyerah di pojokan. Walau bagaimanapun, saya tetap menyemangati Pak Felix. Saya tunggu gebrakan Pak Felix dalam menjaring pengikut baru kekenthiran dan mendobrak status-quo zona nyaman dalam menjalani hidup. Eh, kok jadi ngomong serius?

Kembali ke topik pembahasan, mohon kesediaan para tokoh kenthirisme Kompasiana untuk dapat meluruskan jika ada kesalahan persepsi dalam kriteria dan penilaian kekenthiran ini, sehingga Kompasiana memiliki standar penilaian kekenthiran yang baku. Dengan demikian, masing-masing kompasianer dapat melakukan self-assessment seberapa kenthir mereka, di manapun mereka berada, dengan mengacu kepada barometer kekenthiran ini. Nah, bagi kompasianer yang sudah mencoba barometer kekenthiran ini, silakan hasilnya dimuat di lapak ini kalau tidak merasa malu. Tenang aja, gak akan dilaporin ke Pak Felix kok. He he he.

Mengingat dan menimbang larangan Pak Felix Tani bagi penulis pemula untuk tidak menulis kenthirisme dan berdasarkan hasil self-assessment kekenthiran saya yang skalanya cuma 2 (di bawah passing grade, mbok, hiks hiks hiks), maka dengan penuh kesadaran saya menyatakan mundur dari dunia perkenthiran. Daripada saya ditolak panitia seleksi masuk komunitas kenthir karena tidak memenuhi kriteria dan menanggung malu, lebih baik mundur teratur sebelum bertanding. Katanya lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Eh, kebalik ding.  Kalau nanti saya ditanya kompasianer lain mengapa saya tidak bergabung dalam gerombolan kenthir Kompasiana, saya bisa berdalih, “Saya kan memang gak ikut ujian seleksi masuk. Gak minat tuh”. Padahal mah dalam hati meringis. Gengsi dong ah kalau ngaku gak lulus. Mau dikemanakan harga lidi saya? Ha ha ha.  Udahan ah, pusing pala barbie gara-gara urusan kenthir.

Pak Felix, peace ya Pak.

Salam kenthir!

Referensi:

  • Catellya, L., “Apa Maksud Prof Felix Tani Meminta Kompasianer Menulis Secara Anarkis?”, Kompasiana, 2020
  • Tani, F., “Gagalnya Pembentukan Komunitas Kenthis Kompasiana”, Kompasiana, 2021
  • Tani, F., “Kenthirisme Terlarang untuk Penulis Pemula”, Kompasiana, 2020
  • Tani, F., “Mahzab Kenthirisme, Sebuah Pertanggungjawaban Terbuka”, Kompasiana, 2020
  • Tani, F., “Novel “Poltak”: Sebuah Proyek Kenthirisme , Kompasiana, 2020
  • Tani, F., “Etika Kenthirisme di Kompasiana”, Kompasiana, Agustus 2020
  • Tani, F., “Kenthir Itu Anarkisme Literasi (di Kompasiana), Kompasiana, 2020
  • Tani, F., “Kasihan, Kompasianer Milenial Takut Kenthir, 2020
  • Pabichara, K., “Bahaya Mazhab Kenthirisme bagi Penulis Pemula”, Kompasiana, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun