Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kenthirisme, Seberapa Kenthirkah Saya? Menjawab Pesan Pak Felix Tani

10 April 2021   11:01 Diperbarui: 10 April 2021   11:05 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan kriteria ini, maka sayapun melakukan self-assessment kekenthiran. Dan hasilnya saudara-saudara, skala kekenthiran saya adalah 2. Hipotesis awal saya bahwa saya kurang kenthir ternyata terbukti benar. Tadinya saya khawatir kalau skala kekenthiran saya di atas 3, maka saya akan terpaksa bergabung dengan gerombolan kenthir Kompasiana.

Setelah saya melakukan self-assessment kekenthiran, saya merasa ada sesuatu yang kurang. Saya pikir untuk tokoh sekelas Pak Felix, seharusnya beliau minimal satu langkah lebih maju daripada sekedar mengeluh mengapa hanya sedikit kompasianer yang ikut mazhab kenthirisme. Beliau seharusnya menggali lebih dalam mengapa orang enggan atau bahkan tidak berminat menjadi kenthir. “Adillah sejak dalam pikiran”, kata Eyang Pram. Dengan memahami sebab musabab kengganan orang menjadi kenthir, Pak Felix tentunya dapat merumuskan strategi pemasaran yang cukup efektif untuk meyakinkan para kompasianer, untuk beralih menuju jalan kekenthiran. Siapa tahu, usaha beliau ini nantinya akan memunculkan disrupsi dan menjadi tonggak sejarah baru dalam jagad persilatan Kompasiana.

Menurut saya, persoalan kekenthiran ini bukan hanya ranah dunia penulisan saja, melainkan menyangkut falsafah hidup. Salah satu alasan orang enggan mengikuti jalan kekenthiran adalah karena menjadi kenthir membutuhkan keberanian untuk menjadi berbeda. Missfit kalau anak Jaksel bilang mah. Alih-alih mengambil jalan kekenthiran, orang-orang lebih memilih jalan konformitas. Jalan ini dianggap jalan yang lebih mudah, lebih aman dan sudah pasti selamat dari cibiran. Kalau kita telusuri ke belakang, dunia pendidikan yang menjadi tanah pijakan intelektualitas kita, juga menyiapkan kita menjadi conformist. Sejak dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi, kita dipaksa untuk “conform” dan mengikuti standar yang ada. Kalau tidak “conform”, maka konsekuensinya adalah tinggal kelas atau tidak lulus mata kuliah. Syukur-syukur tidak disuruh pindah ke sekolah lain atau drop-out (DO).

Masalahnya, konformitas ini seringkali abai dengan kekayaan kreativitas dan keunikan individu manusia, bahkan cenderung mematikan kreativitas itu sendiri. Para peserta didik diperlakukan sebagai “makhluk” yang siap dijejali pengetahuan. Lembaga pendidikan tak ubahnya menjadi pabrik penghasil manusia intelektual yang sesuai dengan standar kebutuhan industri pemberi kerja. Tapi benarkah dunia pendidikan sudah memanusiakan manusia? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Deg-degan nih saya, takut dilaporkan Prof. Pev ke Majelis Wali Amanat. Alamat saya nanti dikenakan sanksi, hanya boleh masuk ke kawasan parkiran kuda delman.  Ha ha ha.

Kita terbiasa mengikuti pakem yang sudah ada karena hanya dengan cara itu kita diterima di masyarakat, posisi kita aman. Cara berpikir kitapun, telah didoktrin dari pendidikan usia dini sampai mahasiswa, untuk berpikir secara linier: dari A ke B, lalu ke C, kemudian ke D, dan seterusnya. Padahal bisa jadi kita mulai dari A, kemudian B dan E yang memberi gambaran menuju D. Lalu dari C, D, dan H bersama-sama memberikan fondasi yang komprehensif menuju I (Ini bahas metode berpikir atau belajar huruf di PAUD sih? He he he). Kecuali untuk orang-orang yang cukup berani mengambil jalan sunyi seperti yang disarankan Emerson, orang-orang yang berani mendobrak status-quo, kekenthiran adalah kemustahilan. Kalau kata Mr. John Keating yang diperankan oleh Robin Williams dalam film favorit saya Dead Poets Society, orang-orang kenthir adalah orang-orang yang telah melewati fasa “find your own voice, no matter how silly it seems” dan berdamai dengan diri sendiri tanpa glorifikasi berlebihan.

Tanpa bermaksud merendahkan atau menganggap enteng kegilaan dalam dunia kesehatan mental, menjadi “gila”- kenthir, membutuhkan keberanian. Ironisnya, tanpa “kegilaan”, kita tidak akan bebas menjadi diri kita seutuhnya, diri kita yang diciptakan berbeda dan unik. Dan hanya dalam kebebasan menjadi diri sendiri itu, kita dapat menemukan diri kita yang sesungguhnya, “our true colors”. Kembali mengutip Mr. Keating.

“That you are here – that life exists, and identify; that the powerful play goes on and you may contribute a verse. What will your verse be?”

“Now we all have a great need for acceptance, but you must trust that your beliefs are unique, your own, even though others may think them odd or unpopular, even though the herd may go that’s bad”

Orang-orang kenthir adalah orang-orang yang tahu apa “verse” mereka dan menjalani hidup mengikuti “verse” mereka dengan penuh kesadaran. Tidak peduli apa kata orang lain. Ini hanya pendapat kroco mumet seperti saya lho, Pak Felix. He he he.

Jadi kalau Pak Felix mau kompasianer menjadi kenthir seperti Pak Felix, Pak Felix benar-benar harus kerja keras bagai kuda. Kalau perlu, ditambah gajah, badak, kingkong, banteng, dan teman-temannya.  Bukan apa-apa, karena yang dilawan Pak Felix ini berat. Ini bukan soal perilaku individual, tapi raksasa yang bernama konformitas dan inersia yang menghantui kehidupan manusia. Belum lagi kalau si konformitas dan si inersia manggil teman-temannya, kayak si zona nyaman, si pemalas, si keras kepala, si sombong, waduh makin berat aja. Dilan aja gak kuat, nyerah di pojokan. Walau bagaimanapun, saya tetap menyemangati Pak Felix. Saya tunggu gebrakan Pak Felix dalam menjaring pengikut baru kekenthiran dan mendobrak status-quo zona nyaman dalam menjalani hidup. Eh, kok jadi ngomong serius?

Kembali ke topik pembahasan, mohon kesediaan para tokoh kenthirisme Kompasiana untuk dapat meluruskan jika ada kesalahan persepsi dalam kriteria dan penilaian kekenthiran ini, sehingga Kompasiana memiliki standar penilaian kekenthiran yang baku. Dengan demikian, masing-masing kompasianer dapat melakukan self-assessment seberapa kenthir mereka, di manapun mereka berada, dengan mengacu kepada barometer kekenthiran ini. Nah, bagi kompasianer yang sudah mencoba barometer kekenthiran ini, silakan hasilnya dimuat di lapak ini kalau tidak merasa malu. Tenang aja, gak akan dilaporin ke Pak Felix kok. He he he.

Mengingat dan menimbang larangan Pak Felix Tani bagi penulis pemula untuk tidak menulis kenthirisme dan berdasarkan hasil self-assessment kekenthiran saya yang skalanya cuma 2 (di bawah passing grade, mbok, hiks hiks hiks), maka dengan penuh kesadaran saya menyatakan mundur dari dunia perkenthiran. Daripada saya ditolak panitia seleksi masuk komunitas kenthir karena tidak memenuhi kriteria dan menanggung malu, lebih baik mundur teratur sebelum bertanding. Katanya lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Eh, kebalik ding.  Kalau nanti saya ditanya kompasianer lain mengapa saya tidak bergabung dalam gerombolan kenthir Kompasiana, saya bisa berdalih, “Saya kan memang gak ikut ujian seleksi masuk. Gak minat tuh”. Padahal mah dalam hati meringis. Gengsi dong ah kalau ngaku gak lulus. Mau dikemanakan harga lidi saya? Ha ha ha.  Udahan ah, pusing pala barbie gara-gara urusan kenthir.

Pak Felix, peace ya Pak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun