Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Opini Seorang Silent Reader tentang Para Kompasianer

3 April 2021   15:49 Diperbarui: 3 April 2021   16:03 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebenarnya saya sudah lama menjadi seorang silent reader Kompasiana. Kalau tidak salah ingat, sejak tahun 2014, pas lagi hangat-hangatnya pemilu. Saya cukup kagum dengan beberapa kompasianer, yang tulisannya cukup mumpuni buat saya. 

Ini juga yang membuat saya merasa inferior untuk menulis di Kompasiana. Saya merasa menulis di Kompasiana bukan level saya. Bulan ini, saya akhirnya memberanikan diri memutuskan menjadi newbie di Kompasiana.

Selama lebih dari enam tahun menjadi seorang silent reader, saya merasa akrab dengan para kompasioner meskipun tidak kenal dan tidak pernah berinteraksi secara langsung. 

Saya akan menuliskan opini saya tentang beberapa kompasioner yang berkesan buat saya. Mohon jangan ditimpuk ya. Kalau opini saya kurang berkenan, harap maklum. He he he

Kompasioner yang pertama muncul di pikiran saya adalah Profesor Pebrianov. Tulisan-tulisan beliau ini cukup kocak mengocok perut. Entah itu terkait topik terkini yang sedang hangat dibicarakan seperti Ibu Tejo, isu politik, ataupun sepakbola. Semuanya dikemas dengan serius tapi kocak. 

Pikiran-pikiran beliau yang mendalam dan wawasan yang luas dapat kita lihat dari tulisannya, tanpa ada rasa menggurui. Kalau kata Engkong Felix Tani, dasar semprul, kenthir. 

Seringkali saya tertawa-tawa sendiri di dalam bus trans Jakarta dalam perjalanan pulang dari kantor, sampai-sampai saya dilihatin penumpang yang duduk di sebelah. Untung saya tidak diusir karena dianggap orang gila. 

Saya berandai-andai, kalau misalnya dulu saya bertemu Prof Pev di kampus gajah, saya akan mentraktir beliau makan di kantin arsitek. Eh, masih ada gak sih, Prof kantin arsitek? Sayangnya kompasioner favorit saya ini sudah jarang sekali menulis akhir-akhir ini. Padahal saya merindukan kekenthiran beliau di tengah-tengah keresahan pandemi covid ini.

Kompasioner lainnya yang tak kalah menarik perhatian saya tidak lain tidak bukan adalahlah Engkong Felix Tani. Sebagai tokoh utama kekenthiran di Kompasiana, sosiolog satu ini menulis beragam genre, mulai dari politik, humor, puisi, edukasi, humaniora dan novel. 

Artikel-artikel beliau yang bersahutan-sahutan dengan Prof Pev dan Daeng Khrisna Pabichara terasa sangat hidup, seakan-akan mereka berbicara langsung berhadap-hadapan. Kita sebagai pembaca seakan-akan diajak masuk dalam oboran para tokoh kenthir Kompasiana ini. 

Si Poltak adalah salah satu tulisan beliau yang saya tunggu-tunggu. Kepolosan dan keluguan si Poltak, sekaligus kesialan dan keberuntungannya, dikemas menyatu dengan gambaran kondisi sosial dan budaya masyarakat di mana Poltak tinggal. Untuk isu-isu sosiologi, ada satu orang lagi yang menjadi sparing patner Engkong Felix. Beliau adalah S. Aji.

Nah, kalau berbicara tentang bapak S. Aji, si penggemar Vonny Cornnellya dan sekarang sudah berganti ke Raisa kalau tidak salah, saya sangat menantikan ulasan beliau tentang film-film yang beliau tonton. Jangan lupa sarungan kalau kata Prof. Pev. Entah kenapa urusan film yang biasanya hanya sekedar hiburan receh, ditangan beliau menjadi tidak receh. 

Film yang bercerita tentang sang jagoan lengkap dengan adegan tembak-menembaknya, biasanya membuat kita berdecak kagum dengan si tokoh utama. Namun, ditangan S. Aji, ini menjadi ajang menyoroti ideologi dan premis kehidupan yang usang dan kehilangan sisi kemanusiaannya.

Satu hal lagi, banyak film yang beliau soroti bukan film buatan Hollywood, yang mungkin agak susah bagi sebagian orang untuk mengaksesnya. 

Tulisan-tulisan beliau yang memberikan wawasan tentang perfilm selain Hollywood ini,  yang menjadi keunikan S. Aji. Puisi-puisi beliau juga saya tunggu-tunggu. Beliau masih aktif menulis walaupun tidak sesering dulu.

Yang dari tadi sudah disebut-sebut di bagian atas artikel ini, Bapak Khrisna Pabichara, juga salah satu kompasioner yang menarik perhatian saya. Berhubung beliau sangat peduli tentang pemakaian kata dan bahasa di tengah-tengah kondisi saat ini yang serba keminggris, saya sebenarnya deg-degan menulis tentang beliau. 

Tidak heran kalau Engkong Felix menjuluki beliau “nabi munsyi”. Saya benar-benar memastikan bahwa saya sudah menulis nama beliau dengan benar. Berulang kali saya mengecek apakah tulisan saya sudah sesuai dengan kaidah EYD. Waduh, ini jadi menulis artikel Kompasiana rasa skripsi. He he he. Peace ya, Pak. 

Selain menyoroti penggunaan kata dan bahasa, tulisan Pak Khrishna juga cukup beragam, dari isu yang viral, politik, musik, media, edukasi, dan humor. 

Berhubung saya khawatir tulisan saya bisa-bisa membuat Pak Khrishna naik darah karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan, saya cukupkan opini saya tentang beliau sampai di sini.

Pasangan kompasioner lain yang membawa saya ke bangku kuliah di universitas kehidupan adalah Pak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Effendi. 

Pak Tjip, begitu panggilan kompasioner kepada beliau. Kisah perjalanan hidup beliau yang beliau bagikan dalam tulisan, seringkali seperti menjadi pengingat diri di tengah sibuknya menghadapi arus gelombang kehidupan. 

Saya banyak belajar dari beliau tentang kebaikan, pengampunan, dan kesederhanaan. Bahwa perjalanan hidup penuh liku-liku adalah sebuah realita, yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya.

Bapak Susy Haryawan, yang menuliskan di profilnya “bukan siapa-siapa”, bagi saya adalah seseorang yang "benar-benar siapa-siapa". Isu politik menjadi spesialisasi beliau, meskipun beliau juga menulis topik lainnya seperti edukasi, kuliner, bahkan novel. 

Bahasa beliau yang lugas seringkali membuat teman saya yang berbeda pendapat menjadi gerah. Ketajaman analisis dan kemampuan beliau melihat sesuatu yang jarang dilihat orang lain, menjadi keunggulan beliau. Tidak heran beliau pernah dinobatkan sebagai Kompasioner of The Year

Ngomong-ngomong, Pak Khrishna, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, apakah istilah ini menjadi “Kompasioner Terbaik Tahun Ini”? Bercanda, Pak.

Satu lagi kompasioner yang cukup unik menurut saya adalah Ibu Leya Cattleya. Tulisan-tulisan beliau cukup panjang dan sangat berbobot, lengkap dengan referensinya. Membaca tulisan-tulisan Ibu Leya memang tidak bisa sambil leyeh-leyeh karena membutuhkan konsentrasi penuh. 

Tulisan-tulisan Ibu Leya membawa saya kembali ke masa-masa kuliah, dimana draf laporan dan hasil penelitian dicoret-coret oleh dosen saya. “Mana referesensinya? Ini tulisan ilmiah, bukan tulisan populer”, begitu komentar dosen saya. 

Sayangnya Ibu Leya sudah jarang menulis akhir-akhir ini. Padahal tulisan beliau juga saya tunggu-tunggu, persis seperti mahasiswa menunggu dosen mata kuliah.

Nah, beralih ke dunia fiksiana. Favorit saya, Ibu Lilik Fatimah Azzahra. Saya sangat menikmati cerpen, novel ataupun puisi karya beliau. Penggunaan kata-kata yang tidak biasa dan terjalin indah layaknya untaian bunga penuh warna, dengan tema yang kadang sendu, kadang penuh kerinduan, kadang penuh harap. 

Cerpen-cerpen beliau yang seringkali misterius, juga tak kalah membuat bergidik. Jalan cerita yang tak terduga, membuat saya terbawa ke dalam arus cerita. Ada kalanya saya dibawa ke dalam penderitaan seorang perempuan. 

Di lain waktu, saya seperti berada di samping beliau layaknya seorang Sherlock Holmes, berusaha memecahkan misteri. Di lain cerita, saya dapat merasakan kebahagian si tokoh cerita yang bersatu dengan pujaan hatinya. 

Kemampuan menulis cerita layaknya air sungai yang mengalir ke lautan bebas, menjadi kekuatan beliau. Duet maut dengan Mba Desol yang senang bermain dengan belatinya, adalah momen yang ditunggu-tunggu. Sayangnya, Mba Desol sudah jarang menulis.

Kompasioner lainnya yang saya kagumi di dunia fiksiana adalah Ayah Tua. Sesuai namanya, tulisan-tulisan beliau menggambarkan kebijaksaan seorang tua yang telah melakukan perjalanan panjang dan banyak makan garam kehidupan. 

Kisah-kisah yang beliau tuliskan seakan-akan memaksa kita membongkar topeng kepura-puraan yang seringkali enggan kita lepaskan, atas nama penerimaan sosial.

Akhirnya perjalanan artikel ini saya tutup dengan sang penjelajah, Bapak Taufik Uieks. Bersama beliau, saya seakan-akan dibawa mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan panorama ataupun bangunan-bangunan yang menakjubkan. Melalui beliau juga, saya berkenalan dengan banyak budaya, yang karena keterbatasan dana dan waktu, tidak mungkin dapat saya kunjungi sendiri.  

Bak dibawa oleh Pak Janggut dalam karya Piet Wijn ataupun oleh Old Shatterhand dalam karya Karl May, saya berkelana ke negeri-negeri yang sangat jarang saya dengar. Perjalanan beliau ke negara-negara di Asia Tengah dan pecahan Uni Soviet membuka wawasan saya akan negara-negara yang “tidak terkenal” sebagai tujuan parawisata.

Baiklah, saya sudahi opini saya sampai di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun