Pada hari Minggu Pagi, 26 Desember 2004 silam, tragedi bencana alam Tsunami dan Gempa Bumi dahsyat melanda Provinsi Aceh, yang saat itu masih diselimuti konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan aceh merdeka (GAM).
Bencana Tsunami dan Gempa bumi dahsyat ini memecah hiruk pikuk aktivitas masyarakat yang menyambut hari, seketika terdengar gemuruh ombak air laut yang meluluhlantakkan bumi Iskandar Muda.
Menurut data BNPB Aceh, tragedi gempa bumi dengan kekuatan 9,1 hingga 9,3 skala richter yang disusul dengan gelombang Tsunami setinggi lebih dari 30 meter ini, menewaskan 173.741 jiwa, dan 394.539 jiwa mengungsi serta kerusakan parah pada bangunan rumah, sekolah, rumah sakit, dan hampir seluruh bangunan di sepanjang 800 Km pesisir barat Aceh.Â
Kondisi Aceh pagi itu seketika menjadi pagi yang mencekam, isak tangis masyarakat kehilangan anggota keluarga, transportasi lumpuh, listrik mati dan ratusan ribu mayat menumpuk berserakan.
Semua mata tertuju pada Indonesia. Banyak bantuan berdatangan dari 53 negara dan banyak pihak. Namun ada satu bantuan yang tak boleh dilupakan yakni peran Gajah.
Di tengah keterbatasan tenaga manusia untuk mengangkat puing reruntuhan yang berat dan kendaraan berat saat itu juga tidak mampu melintas di medan yang sangat berantakan, secercah harapan datang dari gajah.
Gajah-gajah ini diturunkan dalam membantu pencarian dan evakuasi Jenazah korban, serta membuka akses jalan yang tertutup oleh material berat yang terbawa arus tsunami.
Terlihat sejumlah aksi heroik para gajah ini diabadikan dalam sebuah foto-foto dokumentasi yang terpampang di Museum Tsunami Aceh menggambarkan bahwa terjalin relasi yang baik antara  manusia dengan Gajah. Bagi sebagian masyarakat Aceh Besar, gajah-gajah tersebut sangat berjasa saat terjadi bencana Tsunami 2004 silam. Gajah-gajah penolong ini merupakan gajah latih dari Conservation Response Unit (CRU) Saree, Aceh Besar.