Mohon tunggu...
Helena Annisa
Helena Annisa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

The Pluviophile.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendapat Felix Siauw dalam Kacamata Seorang Tukang Selfie

21 Januari 2015   08:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:42 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang belum tahu apa arti dari selfie?
Mustahil jika sekarang ini masih ada yang belum tahu apa arti dari selfie. Sebuah istilah yang sebenarnya sudah muncul lebih dari satu dekade yang lalu dan menjadi populer sejak tahun 2013 hingga sekarang. Bahkan Oxford Dictionary menambahkan selfie dalam kosakatanya dan kemudian menyematkan gelar Word of The Year terhadap 'Selfie'. Sejak tenarnya istilah tersebut, orang-orang menjadi keranjingan selfie -termasuk saya. Sepertinya kapanpun, dimanapun dan sedang melakukan aktifitas apapun, selfie tidak boleh terlewati. Ditambah dengan kamera ponsel yang semakin canggih dan berkualitas tinggi sangat mendukung kegiatan memotret diri sendiri ini.

Namun akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, terjadi pro dan kontra terhadap selfie yang berkaca pada pendapat Ustad Felix Siauw. Beliau memaparkan di linimasa Twitter-nya tentang bagaimana ketika seseorang yang mencari pose terbaik, memilah-milah lalu kagum terhadap diri sendiri dikhawatirkan sudah termasuk ujub, begitu pula dengan pemaparannya tentang foto selfie yang di-upload ke media sosial dengan harapan akan dikomentari atau diklik suka dan kemudian merasa diri lebih keren atau semacamnya berarti sudah masuk ke perangkap riya dan takabur. Kemarin siang, ketika saya menjelajahi isi linimasa Twitter saya mendapati tagar dalam tren Indonesia yang cukup menarik perhatian. Para pengguna Twitter Indonesia berlomba-lomba mengunggah foto selfienya sebagai bentuk protes mereka disertai tagar #Selfie4Siauw dan tidak sedikit juga yang menyebut/mention @felixsiauw dalam kicauan mereka.

Mungkin pendapat Ustad Felix terhadap selfie memang ada benarnya, karena khususnya saya -sebagai tukang selfie, juga mengakui bahwa sedikitnya dari kami yang mengunggah (hobi) foto selfie pasti memiliki rasa ingin dilihat oleh orang lain, ingin dikomentari dan dipuji. Jadi disini, saya tidak hanya akan melakukan pembelaan diri, tapi saya juga ingin berpendapat dan meralat secuil pendapat dari beliau.


  1. Ustad Felix menyebutkan bahwa beliau tidak pernah selfie, karena selalu ada orang yang diminta tolong untuk memotret dan ada yang bisa diajak berfoto (re: istri beliau). Pertanyaan yang ingin saya ajukan, apa bedanya? Apa bedanya memotret diri sendiri dengan dipotret oleh orang lain? Bukankah sama saja kita bergaya di depan kamera dan membuat pose terbaik? Lalu, apa hubungannya dengan banyaknya orang yang berfoto? Mau itu sendirian, berdua atau bertiga pun saya pikir tidak ada hubungannya sama sekali dengan wujud riya dalam pandangan beliau. Kata kunci disini menurut saya sebenarnya bukan selfie, tetapi bagaimana cara mengikuti sudut pandang beliau tentang bergaya di depan kamera. Jadi, satu-satunya cara agar tidak riya atau ujub atau takabur adalah dengan tidak usah berfoto sekalian. Bukankah begitu?
  2. Kebanyakan orang-orang memotret untuk mengabadikan momen. Ketika sedang berada di suatu tempat yang memang berpemandangan indah rasanya sayang sekali jika tidak memotret dirinya sendiri kemudian diunggah untuk mempercantik tampilan akun Instagram. Namun, ada juga yang iseng selfie selepas mandi dengan rambut yang masih basah, lain lagi dengan orang yang selfie saat bangun tidur dengan caption "Baru bangun tidur" atau "Just woke up" padahal sebelumnya mereka telah membersihkan wajah terlebih dahulu dan memulaskan sedikit bedak di wajah mereka. Jika selfie begitu saja sudah menyebabkan penyakit hati seperti yang disebutkan di atas, apa kabarnya dengan orang yang memotret makanan level restoran berbintang, kopi panas berharga mahal, barang mewah, atau apapun yang diunggah mereka yang dapat menyebabkan orang lain iri? Bukankah itu sudah termasuk ke dalam riya dan takabur level tinggi?
  3. Ustad Felix tidak seharusnya hanya menyalahkan selfie sebagai penyebab penyakit hati, masih banyak bentuk riya, ujub dan takabbur yang sama sekali tidak terasa, bukan? Dengan cara kita check in di Path atau Foursquare jika sedang berada di suatu tempat saya rasa itu juga sudah termasuk riya. Saya tengok juga dalam akun Instagram beliau rupanya beliau pun banyak mengunggah foto makanan. Mungkin beliau memang tidak bermaksud riya, namun pikiran manusia tentu saja berbeda-beda.


Saya juga masih harus belajar banyak tentang agama Islam, terutama tentang wajibnya hijab yang sampai saat ini hanya saya kenakan dalam keadaan tertentu saja. Saya setidaknya sedikit membenarkan apa yang Ustad Felix kemukakan, namun apa salahnya jika kita memiliki pendapat yang berbeda dan menyuarakannya dalam media massa seperti ini. Sekali lagi, semua tergantung dalam diri kita sendiri. Menurut saya selfie itu tidak masalah, hanya yang harus diperhatikan adalah porsinya. Jangan berlebihan mengunggah foto selfie ke media sosial, apalagi sampai berbelas-belas foto dengan pose yang itu-itu saja, selain membuat orang lain bosan pasti orang lain merasa risih juga. Saya bukan munafik, porsi saya dalam mengunggah foto selfie paling banyak hanya dua, itupun tidak setiap hari.

By the way, selamat malam dari kami, Si Tukang Selfie! :p

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun