Mohon tunggu...
Heldy DiasIlonka
Heldy DiasIlonka Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya membaca dan nonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pernikahan Usia Dini dalam Perspektif Islam

7 Desember 2024   07:34 Diperbarui: 7 Desember 2024   07:36 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pernikahan menurut hukum Islam ialah akad yang sangat kuat atau mithaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 3 Selain juga untuk memenuhi kebutuhan biologis, pernikahan juga sebuah ibadah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, atas dasar itulah, setiap manusia terdorong untuk melangsungkan pernikahan. 

Hal ini disebutkan dalam UU Pernikahan Nomer 16 Tahun 2019 yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI No. 1 Tahun 1974)

Berkenaan dengan prinsip ini, salah satu standar yang digunakan adalah penetapan usia perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1), ukuran kedewasaan diimplementasikan dengan adanya batasan umur yang harus dipenuhi sebagai syarat seseorang melakukan perkawinan.

 Batasan umur tersebut adalah 19 (Sembilan belas) tahun bagi calon mempelai wanita dan bagi pria. Penentuan batas umur untuk perkawinan sangatlah penting sekali. Karena suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis juga psikologis. 

5 Sebab pernikahan bagi seseorang atau kalangan masyarakat merupakan hal yang sakral, karena didalam pernikahan itu bertujuan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri. 

Namun kenyataannya membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan dan kelestarian bersama, bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bagi suami istri bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis dan perbedaan kecenderungan pandangan hidup tersebut.(Minnuril Jannah, R. N., & Halim, A,2022)

Pernikahan pada anak dibawah umur, atau sering juga disebut pernikahan dini, merupakan masalah serius yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Berbagai kajian menyimpulkan perlunya menghentikan pernikahan anak dikarenakan dampaknya yang luar biasa terhadap kemanusiaan khususnya kematian ibu dan bayi. Upaya mengenali faktor penyebab menjadi syarat mutlak guna merumuskan kebijakan strategis pencegahan terhadap perkawinan anak di negara berkembang (Heny Sunaryanto,2019)

Sampai saat ini para ulama belum menemukan batasan minimal usia secara mutlak bagi seseorang untuk melakukan pernikahan dalam Islam tidak disebutkan bahwa seseorang baru boleh menikah setelah berusia sekian. Ketidak jelasan kmengenai batasan usia minimal seseorang untuk menikah iniah yang kemudian menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Adapun banyak dalil Al Qur'an maupun hadits yang menganjurkan untuk segera menikah ketika sudah dirasa mampu. Misalnya seperti dalam Q.S an Nisa (6) berikut : Artinya : 

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.

 barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksisaksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). 

Ayat diatas memiliki beberapa penafsiran yang berkaitan dengan umur dalam pernikahan. Seperti al Qurtubi menafsirkan ayat tersebut memberikan pembelajaran atau pendidikan kepada anak yatim tersebut untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan keahlian serta kemampuan untuk mengatur kehidupan dirinya dengan keluasan ilmunya. 

Dengan pendidikan dan kedewasaan cara berfikir diharapkan bisa membelanjakan harta yang dia punya. Kedewasaan menurutnya juga bukan sebatas kecerdasan intelektual semata, tetapi juga kedewasaan dalam hal umur. Al Qurtubhi yang mengambil pendapat dari Imam Hanbal bahwa umur 15 tahun sudah termasuk dewasa karena disebabkan oleh balighnya sang anak. 

Sedangkan ulama Madinah merujuk pada pendapat Abu Hanifah bahwa umur baligh yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan untuk perempuan yaitu 17 tahu. Kemudian Wahbah az Zuhaili dalam tafsir al Munir menjelaskan sama dengan pendapat Qurtubhi yaitu pentingnya "rusdun" atau kecerdasan pada anak untuk menunjukkan salah satu ciri dari kedewasaan yang dimilikinya. 

Lalu Quraisy Shihab memperkuat pendapat Abu Hanifah tentang usia 25 tahun sebagai usia maksimal untuk memberikan hak-hak harta epada anak yatim. Menurutnya usia tersebut tetap secara normal sudah mempengaruhi kepada pola pikir, kedewasaan san juga perbuahan pada psikologinya (Rohana, k.s, 2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun