Mohon tunggu...
Heidy Sengkey
Heidy Sengkey Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ingin selalu berbagi lewat tulisan...\r\n\r\nMenghargai hidup dengan kerja keras dan mengasihi sesama.\r\n\r\n^__* Jalani hidup dengan penuh ucapan syukur...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Risma Akan Head to Head, Megawati Penentunya

9 Agustus 2016   11:41 Diperbarui: 9 Agustus 2016   11:59 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.youtube.com/FaceToFace

Tak banyak yang ingin saya bahas kali ini. Sisa pertanyaan ‘maha penting’ yang kini ingin sekali didengar oleh begitu banyak orang adalah “Siapakah lawan Ahok sesungguhnya?” Dan tentu saja tak berlebihan pula bila pertanyaan itu sebetulnya untuk saat ini sangat bergantung dari apa yang akan terucap dari mulut sang Ketua Umum Partai terbesar di negeri ini, Megawati. Ketua Umum PDIP ini memegang ‘kunci’ kepastian siapa yang akan menjadi lawan Ahok sesungguhnya.

Kalau umpamanya Megawati mengatakan Risma maju sebagai calon tunggal PDIP (siapapun wakilnya) untuk menggapai kursi DKI 1, maka sudah pasti akan ada begitu banyak partai yang bakalan turut ‘mengekor’ mendukung dan memberi suara bagi Risma. Ini terjadi oleh sebab bagi mereka siapa saja oke asal bukan Ahok. Jelas Ahok sudah menjadi musuh bersama partai-partai selain Nasdem, Hanura dan Golkar. Kalau itu terjadi, Ahok berarti akan head to head dengan Risma. Lain cerita kalau tiba-tiba Megawati memberikan dukungan penuh kepada Ahok, ini jelas akan mengubah konstelasi menuju DKI 1 menjadi tak terkontrol dan penuh intrik.

Secara garis besar politik kepentingan, maka semua partai besar seperti PDIP, Golkar dan Gerindra sangatlah berkepentingan di pilkada DKI oleh karena begitu dekatnya pilkada ini dengan pilpres 2019. Calon dari partai mana pun yang jadi Gubernur DKI akan punya pengaruh besar pada pilpres 2019 nanti. Tidak heran bila nama Risma – mewakili PDIP, dan Sandiaga Uno – mewakili Gerindra langsung mencuat muncul ke permukaan. Golkar – mendukung Ahok dengan satu harapan Ahok akan kembali masuk menjadi kader partainya, sehingga untuk pilpres 2019 nanti nama besar Golkar akan kembali bisa mereka peroleh, dan kejayaan masa lampau kembali direngkuh.

Koalisi 7 Partai

Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PDI-P DKI Jakarta, Gembong Warsono menegaskan bahwa "Koalisi Kekeluargaan" dibentuk bukan untuk melawan Ahok. Ini pernyataan basa basi klasik lah menurut saya. Kalau bukan untuk melawan ya pasti mendukung kan? Cuma ada dua pilihan toh: Lawan atau dukung!

Koalisi ini digagas oleh tujuh partai politik, yakni PDI-P, Gerindra, PKS, PPP, Demokrat, PKB dan PAN. Luarbiasa koalisi maha dahsyat ini. Bayangkan saja, ada 7 partai besar dan kecil yang bersatu padu. Saya jadi teringat koalisi KMP tatkala pilpres dilangsungkan tempo hari antara Jokowi vs Prabowo. Koalisi partai-partai yang begitu banyak melawan PDIP + Relawan Jokowi – JK + Rakyat biasa. Hasil akhir membuktikan Jokowi – JK menang secara dramatis. Lantas seiring berjalannya waktu koalisi besar yang katanya permanen itu pun menemui ‘ajal’, yaitu bubar jalan. Sekarang koalisi seperti itu akan kembali dibentuk, dan sepertinya motornya adalah PDIP?

Bagi saya koalisi ini adalah amunisi pengantar menghadapi ‘peperangan’ yang sesungguhnya. Ini baru pemanasan. Koalisi yang diberi nama "Koalisi Kekeluargaan" pada Pilkada DKI Jakarta 2017 memang sudah diumumkan, namun jelas sekali ini belum final dan belum mengikat. Dalam bahasa BPK kalau sudah final dan mengikat itu akan sampai kiamat.

Lalu kita bertanya kenapa keputusan dari 7 DPW ini belum final dan mengikat? Karena tujuh partai dalam koalisi itu masih menunggu keputusan dari kepengurusan partai tingkat pusat. Sebab, koalisi ini kan baru sebatas disepakati oleh pimpinan partai di tingkat Jakarta. Artinya? Sekali pimpinan pusat mengatakan ‘ya’ barulah koalisi ini jadi resmi. Kalau tidak? Ya nggak ada pengaruh apa-apa.

Saya sih lagi coba bayangkan, betapa dahsyatnya pertempuran menuju DKI 1 saat ini jikalau sampai PDIP mau bersatu dengan Demokrat, PKS, dan Gerindra. Betapa tidak, Anda tentu masih ingat betapa tidak maunya Megawati menegur atau mengakrabkan diri dengan SBY selama ini. Jabat tangan pun tidak. Begitu pula, betapa tidak sukanya PDIP terhadap ‘cara pandang’ PKS dalam berbagai hal yang amat sangat prinsip. Aura dan komitmen PDIP dan PKS itu amat berbeda bagaikan langit dan bumi. Ibarat minyak dan air yang tidak dapat menyatu. Lalu bagaimana dengan Gerindra? Kita tentu juga masih belum lupa perseteruan antara megawati dan Prabowo pada pilpres lalu. Dua-duanya saling mencap ini dan itu. Amat mustahil dapat bergandengan tangan secara utuh kembali. Di sisi lain Megawati juga secara personal sangat dekat dengan Ahok. Ini membingungkan sekaligus asyik ditelaah. Menarik sangat.

Megawati Sebagai Penentu

Apapun Kesepakatan yang telah dibuat oleh tujuh pimpinan parpol di tingkat DPD (PDI-P, Gerindra, PKS, PPP, Demokrat, PKB dan PAN) di Restoran Bunga Rampai hari Senin kemarin belum akan berarti apa-apa kalau Megawati belum ngomong.

Masing-masing partai tentu memiliki mekanisme sendiri. Mekanisme tersebut juga pasti berbeda-beda. Pemimpin seperti Megawati tentu tahu betul apa yang diingini partainya. Mau dibawa kemana partainya. Seperti apa pandangan partainya melihat terciptanya Indonesia Hebat kedepan ini. Megawati tentu akan sangat hati-hati dan tidak akan sembarang menentukan pilihan. Itulah sebabnya ia masih berdiam diri sampai saat ini, meskipun ‘anak buah’ dia sudah seperti cacing kepanasan bicara di sana. Lalu bicara di sini. Melempar berbagai macam opini.

Untuk saat ini, seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Megawati adalah sosok penentu. Ia sekarang yang memegang kendali. Namun nampaknya Megawati baru akan bersuara kepada siapa pilihannya dijatuhkan itu nanti pada ‘detik-detik terakhir’. Ini memang sungguh mendebarkan sekaligus merisaukan. Berbagai pihak menanti dengan risau.

Banyak pihak lain yang juga sudah tak tahan lagi kepingin segera tahu apa yang direncanakan Megawati, dan langkah apa yang akan diambilnya. Akankah dia merestui Risma maju bertarung di DKI, dengan konsekuensi kalau kalah maka Risma akan ‘hilang dari peredaran’. Padahal peluang menjadi nomor satu di Jawa Timur sangatlah besar. Ataukah Megawati pada saat-saat terakhir akan memberi dukungan pada Ahok yang secara personal sangat dekat dengan dirinya, dan juga setelah mendengar ‘masukan’ Jokowi. Atau ada calon lain? Djarot bisa. Mungkin juga dari luar PDIP seperti Sandiaga Uno atau Buwas?

Sikap Megawati memang misterius. Dia saat ini bekerja dalam diam. Mengumpulkan semua data dan hasil analisa. Ia mengolahnya juga dalam diam. Dan pada saatnya nanti, sebelum segala sesuatunya terlambat, ia akan memutuskan secara tepat dan dengan penuh perhitungan matang kepada siapa pilihan itu akan dijatuhkan. Ahok atau Risma, atau bahkan bisa jadi ke Sandiaga Uno yang duitnya sangat banyak tak berseri itu. Biarlah Megawati yang memutuskan dengan segala kecerdasan intelektual dan intuisi mumpuni yang dimilikinya.

Meskipun keputusan 7 DPW partai di Jakarta ini telah disepakati, tetapi apakah itu bisa berbeda dengan keputusan DPP yang notabene ada di tangan Ketua Umum masing-masing? Hal serupa itu sangatlah mungkin terjadi. Kita tunggu saja dengan hati berdebar tak karu-karuan, bagi siapa saja yang memang lagi menunggunya. Ayo Bu Mega, kamu bisa! Hahahaha.... HS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun