Hasil survei menjelang pemilu selalu saja laris manis. Banyak di antara kita bahkan mau begitu saja menelan mentah-mentah berbagai hasil survei yang ada dan terus bermunculan. Asal saja ada kecondongan hasil survei yang tertampilkan dengan persepsi kita tentang calon yang kita sukai, maka serta merta kita mengamininya. Kita menyukainya. Dan kita ‘terjebak’ olehnya. Tapi, memahami dan memercayai hasil survei tidak harus semudah dan sesederhana itu.
Apa akibatnya kalau masyarakat terlalu mempercayai hasil survei? Bila lantas kenyataannya di lapangan tidak sesuai hasil survei, bisa saja terjadi kekacauan dan tuntutan demi tuntutan dari kalangan masyarakat pemilih tertentu. Mereka akan menaruh berbagai kecurigaan, kemudian dengan sendirinya akan muncul rasa penasaran amat besar, rasa tidak suka, dan pemberontakan terhadap hasil nyata di lapangan. Padahal kemungkinan paling mungkin hasil survei itulah yang keliru.
Menjalankan survei tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya sangat setuju dengan banyak pihak yang selalu mempertanyakan hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey di Indonesia, yang semakin hari semakin banyak bermunculan. Apakah memang hasil survey dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan?Karena lihat saja, ada beberapa hasil survei yang dengan terlalu berani dan sangat yakin bisa menentukan partai mana yang akan kalah dan mana yang akan menang, caleg mana yang akan menang dan mana yang tidak mungkin menang dalam pemilu 2014 ini, capres mana yang pasti lolos dan mana yang tidak, padahal pemilihan belum juaga dimulai.
Ini berbahaya sebab mengandung banyak kecerendunganyang keliru. Hasil survey bisa saja sangat tidak representatif. Contohnya, yang benar saja, bagaimana bisa hasil survei terhadap jumlah responden 2000-5000 orang umpamanya dapat dikatakan mewakili 100-150 juta pemilih? Atau, bagaimana bisa dengan margin error yang sangat besar dapat kemudian memastikan si A bakal lolos dan si B bakalan tidak? Ini justru dapat menjadi pemicu penyalahgunaan hasil survei untuk mempengaruhi para calon pemilih.
Untuk membuktikan apakah sebuah lembaga survei dapat dipercaya atau tidak ketika mereka menggelontorkan data hasil survei ke publik, maka semestinya dilihat benar-benar dari beberapa faktor. Pertama lakukanlah cek ulang mengenai kebenaran data-data yang ditampilkan, misalnya cek langsung ke responden yang mereka ambil. Jangan-jangan justru data-data yang sebetulnya malah berlawanan dengan hasil survei, itu yang ditampilkan. Siapa tau ada permainan uang dan lain sebagainya. Janga-jangan ada permainan politik memainkan hasil survei yang dipublish. Padahal etika lembanga survei harus tetap dijaga. Boleh saja salah dalam menyimpulkan, tetapi jangan pernah berbohong mengenai hasil survei.
Adalah dosa besar bagi sebuah lembaga survei bila mereka merekayasa data , misalnya dengan tanpa menggunakan metodologi survei yang benar. Tanpa menggunakan random sampling namun dengan memakai cara ‘pukul rata’. Tidak terjun langsung mengambil data di lapangan namun menggunakan ‘imajinasi’ belaka. Ini yang paling parah tentunya. Masih banyak contoh lainnya. Kita perlu memeriksa lebih lanjut tentang kredibilitas sebuah lembaga survei. Kita perlu meneliti margin error, level of confidence, serta jumlah populasi sampelnya, juga tentu saja sebaran respondennya, begitu juga dengan banyak parameter lainnya. Ini dengan sendirinya menunjukkan kepada kita bahwa membuat hasil survei tidak boleh semau gue saja. Demi kepentingan partai politik tertentu, calon tertentu, pun demi pundi-pundi keuangan lembaga survei itu sendiri. So, be careful!
Melakukan survei tidak mudah. Melakukan pertanggungjawaban hasil survei juga tidak mudah. Menjelang pemilu, hasil survei justru sangat rawan ‘kecurangan’. Kita sudah belajar dari hasil survei tempo hari pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jadi, bukan hanya hasil pemilu yang rawan kecurangan, hasil survei pun memiliki resiko yang sama.
Menurut saya pribadi, tidak perlu sebetulnya ada survei-survei segala macam menjelang pemilu ini. Biarlah hasil nyata di lapangan yang menunjukkan hasil real-nya seperti apa. Belajar menjadi orang sabar menunggu hasil. Ngapain juga repot-repot melakukan survei, bila itu sama sekali tidak bermanfaat bagi masyarakat pemilih. Malah bila hasilnya kemudian tidak sesuai kenyataan di lapangan justru berpotensi menciptakan kebingungan bagi para pemilih yang kurang mengerti (sangat percaya hasil survei adalah sebuah kenyataan), dan menjadi kebingungan tersebut berpotensi menciptakan kekacauan. Yang diuntungan kelak ya hanya berbagai lembaga survei itu saja.Bukan siapa-siapa yang lain.
Jadi mengadakan survei sebelum pemilu itu mendatangkan masalah atau maslahat? Anda sendiri yang menentukan jawabannya. HS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H