Fenomena intolerasi terhadap suku yang sering berkembang dalam dunia sosial media, menjadi pesan utama dalam Campaign Project yang dibawakan oleh ketiga mahasiswa Ilmu Komunikasi -- Konsentrasi Public Relations Universitas Pelita Hasrapan (UPH). Â Ide ini akhirnya membawa Clarita (2016); David Gunarso (2017); dan Elizabeth Lius (2017) berhasil menjadi juara 1 kategori PRAHASTA (Pertempuran Humas Nusantara) dalam kompetisi Ajisaka 2018 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada 2-3 November 2018.
Penerapan ilmu perkuliahan dan berusaha berpikir kreatif diakui mereka menjadi kunci kemenangannya. Bahkan tidak hanya menjadi juara 1, tim UPH ini juga berhasil memboyong gelar 'Best Presentation' pada kompetisi berskala nasional ini.
"Pastinya kita bisa jadi juara ini semua karena ilmu yang kita dapat  dan  soft skills yang semakin terasah di perkuliahan. Contohnya dari mata kuliah PR Campaign, Media dan Budaya Pop, teknik melakukan presentasi, Public Speaking, Komunikasi Masa, juga Desktop Publishing untuk mengasah kemampuan desain. Ditambah lagi di UPH ini kita juga selalu didorong untuk berpikir kreatif," jelas Clarita, David, dan Elizabeth.
Dalam kompetisi ini, kurang lebih 40 peserta yang mendaftar diminta untuk berperan menjadi Humas Pemerintah yang membuat kampanye untuk pengentasan intoleransi dalam sebuah proposal dan presentasi. Â Setiap peserta bebas menentukan intoleransi dalam aspek apa yang ingin dibahas.
"Kalau dari kami, awalnya kita menemukan kasus intoleransi yang viral di facebook. Ini menunjukkan bahwa intoleransi  dapat berkembang pesat melalui media sosial dengan mudahnya, dan ini bahaya. Kami berpikir suku atau ras merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga. Untuk itu kami memposisikan diri sebagai Humas Pemerintah, melakukan riset dan sebagainya," jelas Clarita.
Dari ide tersebut, Clarita dan tim mulai membuat prorposal dan presentasi kampanye dengan pesan utama "Indonesia Baik untuk Semua"
"Konsep kampanye "Indonesia Baik untuk Semua" ini kami mulai dari Instagram, sebagai salah satu media sosial yang diminati. Kami membuat  info grafik, fakta, dan pesan visual terkait intoleransi suku melalui Instagram. Kemudian kami berpikir puncak acaranya akan dibuat dalam bentuk kompetisi yang melibatkan mahasiswa sebagai generasi milenial dengan nama 'Terasi -- Tebas Rasa Intoleransi'. Peserta diberi kasus-kasus intoleransi suku dan harus memberi ide penyelesaian masalah dengan gaya milenial. Ini konsep yang kami tulis dalam proposal kami. Dan akhirnya kami bisa jadi juara," jelas Elizabeth.
Dengan konsep kampanye ini, tim UPH berhasil masuk sebagai top 5 dan melakukan presentasi di depan juri yang terdiri dari CEO Media Buffet PR Â - Bima Marzuki dan Dosen Ilmu Komunikasi UGM -- I Gusti Ngurah Putra. Setelah melakukan presentasi di depan para juri, UPH berhasil menjadi juara 1, disusul Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai juara 2, dan Universitas Indonesia sebagai juara 3.
Bagi ketiga mahasiswa Ilkom UPH ini, mengikuti kompetisi sangat bermanfaat dan penting bagi mahasiswa.
"Di kuliah kita diberikan konsep, pembelajaran, contoh kasus, dan dengan ikut kompetisi ini kita bisa mengaplikasikannya ilmu, dan kita bisa menuangkan ide. Untungnya kita di UPH juga sudah terbiasa untuk didorong berpikir kreatif, disiplin dalam deadline pengerjaan tugas, melakukan presentasi. Ditambah lagi kami bertiga juga aktif sebagai Divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) di HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Ilkom. Jadi kita tidak kaget ikut kompetisi seperti ini," ungkap David yang juga sejalan dengan Clarita dan Eli.