Generasi Z atau sering disebut Gen Z adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok orang yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010. Generasi ini tumbuh di era digital, di mana akses informasi dan komunikasi sangat mudah dan cepat. Namun, di balik kemudahan tersebut, ada juga tantangan dan masalah yang dihadapi oleh generasi ini, salah satunya adalah kesehatan mental.
Salah satu isu kesehatan mental yang sering diperbincangkan adalah trauma psikologis. Trauma psikologis adalah suatu kondisi yang terjadi akibat pengalaman yang menimbulkan rasa takut, marah, sedih, atau tidak berdaya yang sangat kuat. Trauma psikologis bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti kekerasan, pelecehan, bencana alam, perang, kehilangan orang terdekat, atau situasi stres lainnya.
Trauma psikologis bisa berdampak negatif pada kesejahteraan emosional seseorang. Orang yang mengalami trauma psikologis bisa mengalami gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, stres pasca-trauma atau Post Traumatic Stress Disorder  (PTSD). Gangguan mental ini bisa mengganggu fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, trauma psikologis perlu ditangani dengan serius dan profesional.
Namun, sayangnya, tidak semua orang yang mengalami trauma psikologis mendapatkan bantuan yang tepat. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, seperti kurangnya kesadaran, stigma, diskriminasi, atau keterbatasan sumber daya. Selain itu, ada juga fenomena yang cukup mengkhawatirkan, yaitu romantisasi trauma psikologis.
Dalam perkembangan emosi, terkadang generasi Z meromantisasikan trauma mereka. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang membesar-besarkan pengalaman traumatis mereka atau bahkan merasa bahwa pengalaman tersebut membuat mereka lebih kuat daripada sebelumnya. Namun, meromantisasikan trauma dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang. Hal ini dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang mampu untuk mengatasi trauma mereka dan bahkan dapat memperburuk kondisi mental mereka.
Meromantisasi Trauma
Romantisasi trauma psikologis adalah suatu cara pandang yang menganggap bahwa memiliki trauma psikologis adalah sesuatu yang indah, menarik, atau estetik. Romantisasi trauma psikologis bisa terjadi karena pengaruh media sosial, budaya populer, atau lingkungan sekitar. Contohnya adalah ketika seseorang membagikan foto luka bekas self-harm (melukai diri sendiri) di media sosial dengan tujuan mendapatkan simpati atau perhatian dari orang lain. Atau ketika seseorang menonton film atau membaca buku yang menggambarkan karakter dengan trauma psikologis sebagai sosok yang heroik, unik, atau romantis.
"Bisa jadi menimbulkan bahaya juga, trauma itu jika diingat-ingat trus, bisa membuat kita tidak bisa move one dengan trauma tersebut". sebut Kamilah, selaku pemateri dalam pertemuan Mata Kuliah Psikologi Pendidikan (20/10/23)Â
Lalu Bagaimana Cara Mengatasi Romantisasi Trauma?
1. Meningkatkan literasi kesehatan mental. Â
Literasi kesehatan mental adalah kemampuan untuk memahami, mengakses, dan menggunakan informasi tentang kesehatan mental secara tepat. Dengan meningkatkan literasi kesehatan mental, seseorang bisa lebih memahami apa itu trauma psikologis, apa penyebab dan dampaknya, serta bagaimana cara mengatasinya. Seseorang juga bisa lebih kritis terhadap informasi yang beredar di media sosial atau budaya populer tentang trauma psikologis. Seseorang bisa mencari sumber informasi yang kredibel, seperti dari ahli kesehatan mental, organisasi kesehatan, atau media massa yang terpercaya.
2. Membangun sikap empati dan dukungan.
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dukungan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Dengan membangun sikap empati dan dukungan, seseorang bisa lebih peka terhadap kondisi orang lain yang mengalami trauma psikologis. Seseorang bisa memberikan perhatian, pengertian, penghargaan, atau bantuan praktis kepada orang lain yang mengalami trauma psikologis. Seseorang juga bisa mendorong orang lain untuk mencari bantuan profesional jika diperlukan.