Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan yang luas, termasuk Laut Cina Selatan di sekitar Kepulauan Natuna. Kepulauan ini tidak hanya penting dari sisi geostrategi, tetapi juga menyimpan kekayaan sumber daya alam berupa cadangan minyak dan gas bumi yang sangat besar.Â
    Kepulauan Natuna bagi Indonesia ibarat mutiara yang termakan ombak. Wilayah ini tidak saja bernilai strategis dari sisi pertahanan dan pelayaran, tetapi juga menyimpan potensi kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa wilayah perairan Natuna mengandung sekitar 7 miliar barel cadangan minyak dan 46 triliun kaki kubik gas bumi. Namun, Natuna yang seharusnya mampu menjadi tulang punggung ketahanan dan kedaulatan energi nasional dalam jangka panjang, justru menerima ancaman bayangan konflik kepemilikan wilayah dengan Tiongkok yang terus mengancam penguasaan atas kawasan tersebut.
    Salah satu titik panas konflik Laut China Selatan yang mengancam kedaulatan Indonesia adalah perebutan wilayah pengembangan minyak dan gas di perairan Natuna. Blok minyak Natuna yang kaya dengan cadangan hidrokarbon terletak di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, namun lokasinya juga berdekatan dengan wilayah yang diklaim oleh Tiongkok dalam "Nine-Dash Line". Konflik ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sebelum Indonesia memberikan konsesi pengeboran di Blok Natuna kepada perusahaan minyak asing. Tiongkok berkali-kali mengirimkan kapal pengawas dan memprotes aktivitas eksplorasi tersebut dengan alasan bahwa wilayah itu masuk dalam klaimnya.
    Sikap intimidatif Tiongkok di wilayah yang mereka klaim melalui konsep Nine-Dash Line telah membuat sejumlah blok migas Natuna yang telah dikontrakkan Indonesia kepada kontraktor asing masuk ke dalam kawasan sengketa. Akibatnya, berulang kali terjadi insiden yang merongrong kedaulatan energi nasional, seperti penangkapan awak kapal nelayan dan pengusiran kapal survei migas oleh pihak Tiongkok dari kawasan tersebut.Â
    Insiden yang serupa terjadi pada 2021 lalu, di mana kapal nelayan Indonesia beserta 7 awaknya ditangkap saat beroperasi di sekitar anjungan pengeboran minyak Blok Natuna yang dikelola kontraktor asing. Tiongkok dengan arogannya menuduh Indonesia melanggar batas perairan yang mereka klaim secara sepihak. Tentu ini merupakan penghinaan terhadap kedaulatan dan hak penuh Indonesia dalam mengelola blok migas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya sendiri.
    Eskalasi ketegangan seperti ini tentu mengkhawatirkan dan memiliki dampak strategis bagi ketahanan energi nasional. Menurut data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), konsumsi BBM dan gas alam Indonesia terus meningkat tajam hingga diproyeksikan mencapai 1,6 juta barel per hari pada 2030 mendatang. Jika situasi di Natuna tidak segera diselesaikan dan menyebabkan tertundanya kegiatan eksplorasi serta eksploitasi, maka Indonesia terancam akan semakin terjerat ketergantungan impor energi dari luar negeri, baik minyak mentah maupun BBM dan gas siap pakai. Ditambah lagi peningkatan kebutuhan Indonesia seiring pertumbuhan ekonomi dan populasi, akan memperburuk situasi jika tidak dikelola dengan benar.
    Maka dari itu, penyelesaian diplomatik sengketa wilayah Laut Cina Selatan khususnya di perairan Natuna harus menjadi prioritas Indonesia untuk menjaga kedaulatan energi nasional. Negosiasi untuk menetapkan batas wilayah yang jelas dengan mengedepankan prinsip hukum laut internasional (UNCLOS 1982) perlu diupayakan. Dengan diakhirinya status wilayah abu-abu, kepastian hukum dan keamanan aktivitas migas Indonesia di Natuna akan lebih terjamin dari gangguan pihak manapun.
    Namun upaya diplomasi tersebut harus dibarengi dengan penguatan postur pertahanan maritim yang memadai di kawasan Natuna. Operasi patroli angkatan laut secara intensif, modernisasi armada kapal penjaga pantai, serta peningkatan kerjasama latihan bersama mitra-mitra strategis seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan langkah-langkah krusial agar wilayah ini bisa diamankan dari tindakan sepihak oleh pihak lain yang mencoba memaksakan klaimnya.
    Di sisi lain, untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk, Indonesia juga harus mulai melirik diversifikasi mitra investasi dari negara-negara yang secara terbuka mendukung kedaulatan NKRI di Natuna. Bekerja sama dengan lebih banyak investor dari negara-negara sekutu menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan untuk menggantikan investor asing yang ragu menanamkan modalnya di kawasan yang disengketakan. Kebijakan diversifikasi mitra ini akan meningkatkan ketahanan industri hulu-hilir migas nasional dari risiko investasi yang terhambat. Â
    Langkah selanjutnya yang juga penting adalah mendorong percepatan transisi menuju energi baru terbarukan untuk mengurangi ketergantungan bangsa akan minyak dan gas dalam jangka panjang. Membangun kapasitas industri panas bumi, tenaga surya, biodiesel, dan sumber energi hijau lainnya harus menjadi prioritas pembangunan nasional ke depan. Memanfaatkan potensi Energi Baru Terbarukan di wilayah kepulauan terluar seperti Natuna juga bisa menjadi peluang baru yang bebas dari bayang-bayang sengketa.
    Kombinasi dari upaya-upaya strategis di atas pada akhirnya akan semakin memperkokoh ketahanan dan kedaulatan energi Indonesia di tengah potensi konflik berkepanjangan di Laut Cina Selatan. Kita tidak lagi terpukul oleh dampak sengketa wilayah karena mampu mengandalkan sumber daya energi sendiri secara optimal. Hanya dengan membangun kedaulatan energi yang tangguh inilah, Indonesia bisa benar-benar menjadi negara maritim yang disegani dengan kemampuan menjaga stabilitas dan ketahanan nasional dari segala bentuk ancaman.