Mohon tunggu...
Hedy Lim
Hedy Lim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pembelajar yang pernah mengajar untuk tambahan, lalu mengajar sebagai profesi dan mengajar sebagai panggilan. Apapun alasannya, selalu suka mengajar, dan sekarang (setidaknya menurut PLPG) adalah seorang guru profesional :p

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Otak-atik Pendidikan Indonesia, Salah Siapa?

2 Oktober 2024   22:55 Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:05 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sekelas katakanlah 30 siswa, beragam kemampuan, bagaimana mengelola kelasnya? Siswa belajar sesuai minat, tetapi sekolah membuka kelas minat terbatas, musti dikemanakan siswa yang tidak memilih minat seperti yang sekolah sediakan? Siswa dipindahkan atau sekolah yang penting asal buka kelas minat itu? Urusan sepele tapi pembuat kebijakan pahamkah?

Kita lihat tentang dengung RPP satu lembar. Kabar bahagia di awal, namun di ujung hari, tak ada itu satu lembar, kalau gurunya tetap diminta buat segala macam laporan yang wajib diunggah di pmm. 

Bahas pmm panjang lagi, aplikasi yang digadang-gadang  sebagai superapp edukasi rancangan kementerian untuk meningkatkan kualitas pendidik di Indonesia. Antara mimpi dan angan-angan, memajukan kualitas pendidik melalui aplikasi.

Inquiry based learning, dengan mewajibkan siswa membuat proyek dalam pembelajarannya. Tidak ada masalah dengan proyek, tetapi jika yang penting harus ada proyek dengan tag proyek p5, sudah seperti tempelan saja harus ada proyek disambung-sambungin. 

Saya yakin sekolah tertentu banyak yang berhasil dan sukses dengan model proyek yang digadang seperti model kurikulum IB, namun bicara skala satu negara dengan beragam sumber daya, latar belakang sosial ekonomi, kultur, tidak bisa semua disamakan begitu saja bukan.

Jadinya saya melihat kurikulum merdeka ini seperti kurikulum yang cuma kemasan saja, diberondong oleh jargon bombastis, branding kesana kemari. Belum solid, belum terbukti tetapi seperti saya sebut di atas, over claimed.

Dengan dimulainya kurikulum merdeka ini, maka ujian nasional sebagai syarat kelulusan dihapuskan. Satu sisi, iya setuju, syarat kelulusan yang semakin tidak jelas. Tetapi lalu diganti dengan asesmen nasional di kelas 8 dan 11 yang digunakan untuk menunjukkan tujuan utama satuan pendidikan, pengembangan kompetensi dan karakter murid. 

Agar diharapkan dapat mendorong satuan pendidikan dan dinas pendidikan untuk memfokuskan sumber daya pada perbaikan mutu pembelajaran. Kenyataannya? Sekolah macam apa yang butuh? 

Apa semua butuh hal yang sama? Contoh saja di sekolah SPK, siswa yang penting jawab, guru yang mengisi survey lingkungan belajar yang penting isi. Dan apa gunanya? Zero, nothing. Jadi tidak tepat sasaran. 

Jadi 5 tahun terakhir, bukan sistem, fondasi yang krusial mendapat perhatian, tetapi telinga saya terjejal dengan yel-yel, jargon, teknologi, aplikasi, target melangit, glorifikasi pejabat maupun keluarga yang pernah sekolah dan tinggal di luar negri. 

Yakin tahu dengan kondisi sekolah di negara ini menyeluruh? Saya setuju jika guru diberikan keleluasaan untuk berinovasi sesuai di lingkungan mana guru di sekolah itu berada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun