Belum lagi megamati sikap dan tindakan sekolah-sekolah di kota besar, dengan siswa-siswa yang mayoritas memiliki latar akademis yang baik, plus sekolah tersebut bergaya "international" dalam hal jualan kurikulumnya maupun fasilitasnya, tapi begitu mau ujian nasional harus ikutan gentar dan bahkan menakuti siswanya soal kelulusan tadi.
Kebijakan ujian nasional dan ujian sekolah ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan. Setiap kurikulum ganti, pasti ada hebohnya tersendiri. Bukan berarti ganti kurikulum merdeka yang kacau artinya kurtilas bagus.Â
Mungkin dulu waktu ramai kurtilas belum lahir sebagai guru. Setiap kurikulum berganti, pasti berganti pula sistem ujian akhir. Referensi lengkap soal ujian akhir dan kurikulum salah satunya pernah dirangkum oleh harian Kompas.
Sebagai contoh, Kurikulum 2013 dengan KI KD nya yang kalimatnya baku dan super panjang serta diulang-ulang. Kurikulum merdeka dengan elemen dan CP yang tidak jauh berbeda.Â
Capaian pembelajaran per fase di saat sistem sekolah adalah per kelas. Logikanya siswa di kelas bisa di fase yang berbeda. Lalu pembuat dan penentu kurikulum berpikir bahwa hal ini akan bisa berhasil, di kelas harus bisa membagi siswa berdasarkan fase pencapaiannya. Omong kosong sekali.
Semua kurikulum ada plus dan minusnya, wajar. Namun kurikulum merdeka yang terakhir ini, mengapa menjadi menonjol semrawutnya? Karena pembuat kebijakan kurikulum terlalu "over confident" dan juga "over claimed".Â
Saya akui di awal saya merasa pak Menteri muda dengan background pendidikan dan pengalamannya cukup mumpuni memimpin departemen ini, membuat gebrakan, membenahi pola pikir lama, mendobrak sistem ke arah lebih baik, dan lain sebagainya.
Benarkah ada gebrakan? Oh iya ada. Mengubah nama kurikulum, dari kurikulum darurat (akibat ada kasus covid 19), kurikulum prototype (mulai lebay pakai prototype segala) sampai berakhir kurikulum merdeka (yang dari penetapan sudah kurang sreg karena kata merdeka sudah memiliki makna lain yang menonjol yaitu bebas).
Dengan bergaya kurikulum IB, inquiry based learning, dirancanglah CP (capaian pembelajaran) tadi dengan berbagai fase, siswa belajar sesuai dengan minat dan kemampuan (aduh ini paling mengesalkan, mikir tidak ya pak Menteri dan tim bagaimana ini bisa berjalan di sekolah-sekolah?).Â
Siswa berbeda fase kemampuan di dalam satu kelas yang sama, sudah dipersiapkan belum gurunya?Â