Mohon tunggu...
Hedy Lim
Hedy Lim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pembelajar yang pernah mengajar untuk tambahan, lalu mengajar sebagai profesi dan mengajar sebagai panggilan. Apapun alasannya, selalu suka mengajar, dan sekarang (setidaknya menurut PLPG) adalah seorang guru profesional :p

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Tanpa Bingung

11 Juli 2022   15:45 Diperbarui: 11 Juli 2022   15:49 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin sekolah sudah memikirkan hal ini, untuk memudahkan kedua pihak, sekolah dan siswa (termasuk orang tua) maka sekolah bisa memberikan paket mapel saja, bukan jurusan ya, jurusan sudah tidak ada, tetapi katakanlah paket merdeka mapel kategori A, B, C dan lain-lain. Beda loh ya dengan jurusan. Terdengar beda tapi kok? … Pemberian paket demi kerapihan dan keadilan jam mengajar guru-guru suatu sekolah.

Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar, belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Tidak membatasi guru mengajar lintas mapel. Biasa mengajar fisika, maka harus bisa juga mengajar pkn, biologi, bahasa, matematika, ekonomi dan lain-lain sesuai kondisi. Menarik sekali.

Sekarang mungkin tidak ada rangkaian kata-kata indah seperti KI/KD, melainkan menjadi Capaian Pembelajaran yang rangkaian kalimatnya lebih sederhana dan fokus. 

Semua guru memakai satu platform mengajar. Berbagi pengetahuan idealnya, ujungnya demi administrasi, saling ambil dokumen macam rpp, yang belum tentu berguna dan sesuai di kelas guru yang lain. Mengiming-imingi siswa bisa belajar sesuai pilihan tanpa melihat kesiapan faktor sekolah dan lingkungan, juga terkesan terlalu berani. Lalu jika sekolah (dalam kata kekinian “satuan pendidikan”) tidak siap maka katanya bisa disesuaikan. Seperti apa disesuaikannya? Seberapa fleksibel? Adakah kendala nanti di penilaian sekolah oleh para dinas pendidikan? Seberapa memiliki kuasakah si guru mengatakan bahwa juklak juknis tidak sesuai di kelasnya?

Pemulihannya jadi seperti apa? 

Kembali ke laptop. Sebagai pengajar di sekolah SPK yang menggunakan kurikulum internasional yang ujungnya juga ada tes standar sebagai tanda akhir menerima sertifikat, sebenarnya saya tidak akan terlibat langsung dengan pelaksanaan kurikulum merdeka ini. Sejauh melaksanakan mapel Pancasila, Bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama, semua beres. Konsep merdeka tanpa jurusan di jenjang SMA sudah terjadi lama, konsep menilai melalui proyek sudah juga terjadi. Namun, sebagai pendidik yang sudah berkecimpung lama sekali di sekolah, tentulah ingin tahu, belajar, sebagai pembanding, untuk mengambil segala sesuatu yang positif.

Dengan asumsi kemendikbud memang ingin meniru sistem SPK tadi maupun SPK yang mengembangkan kurikulum mandiri, apakah semudah dan seideal itu untuk satu Indonesia, sekolah-sekolah berbagai penjuru daerah disamakan secara kondisi ideal saja dengan para SPK? Bukankah sebaik-baiknya harus dipikirkan secara menyeluruh dan konsep berkesinambungan yang mungkin tidak cukup hanya dalam 2,5 tahun pandemi? Heboh merdeka, berakhir serupa saja kecuali banyak ide kata-kata baru dengan saat Kurikulum 94 menjadi KBK, KBK menjadi KTSP, KTSP menjadi Kurtilas. Tergesa-gesa, adalah kunci. “Cookie cutter” adalah inovasi. Repot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun