Apakah dengan tatap muka menjadikan pembelajaran lebih bermakna? Bagi saya, tidak juga, tergantung makna bagian mana yang ingin dibahas.Â
Lebih bermakna, iya, jika kita ingin membicarakan memupuk pertemanan antar siswa, bersosialisasi antar siswa, siswa dengan guru.Â
Namun jika bermaknanya dimaksud untuk supaya tidak tertinggal pelajaran, nah itu dilihat dari sudut mana dulu. Jangan digeneralisir. Harus dilihat berdasarkan daerah, sekolah dan sosial budaya penduduknya.Â
Menyamakan satu Indonesia bahwa kondisi pandemi telah menciptakan "learning loss" adalah salah kaprah.
Jika bersekolah didefinisikan memperoleh berbagai macam pelajaran (12--15 mata pelajaran seminggu) dengan isi kompetensi kurikulum yang harus diselesaikan, maka mudah sekali kita terjebak dengan mengatakan telah terjadi "learning loss".Â
Bagai buah simalakama bagi guru dan sekolah. Ingin mengambil langkah kebijakan mengurangi jumlah materi, dianggap gagal mengajar, jeleknya dianggap tidak bisa mengajar, tidak bisa mengatur rencana pembelajaran sehingga materi tidak selesai.Â
Materi tidak selesai, ditegur sekolah, sekolah ditegur pengawas karena laporan tidak tuntas. Akibatnya peringkat sekolah mungkin terpengaruh. Begitu saja terus bagai lingkaran setan.
Kemendikbud sudah menyatakan bahwa kurikulum ada penyesuaian. Tapi susah sekali bagi pandangan insan pendidik bahwa dirinya sudah diberi kebebasan untuk merancang kurikulumnya sendiri di dalam kelas (online) bersama dengan siswanya.Â
Saya sangat mempercayai bahwa kurikulum itu adalah yang terjadi di kelas antara guru dengan siswanya. Merdeka Belajar. Mari Bergerak. Guru Penggerak.Â
Begitu banyak kata-kata semangat untuk guru, jadi jangan takut. Guru bukan sedang mengajari siswanya ikutan kejuaraan/kompetisi/olimpiade. Bukan semua dijadikan untuk "champion" level akademis saja. Ini sulit, sulit sekali.Â
Keenakan gurunya disuruh bebas merdeka mengajar, nanti siswanya diajarin yang tidak-tidak, wah bahaya. Susah kan? Gurunya tidak dipercaya lagi.Â