Para siswa, apakah kalian menikmati suasana belajar dari rumah, alias tidak pernah memperdulikan panggilan email atau pesan dari gurunya? Pura-pura saja tidak tahu nanti tinggal beri alasan "saya kok tidak terima email ya?". Lalu mengambek dengan bilang "saya tidak suka cara ini, saya mau dijelaskan bertemu muka. Ini bukan gaya saya."Â
Atau justru kalian ada di tipe yang menyambut suka cita bahwa inilah waktunya saya tampil karena biasa di kelas sering tertinggal, saya mau menunjukkan bahwa sekarang saya mampu berusaha. Atau kalian yang memiliki akademis sangat baik, dengan kebiasaan kalian yang selalu tepat waktu, menjadi tergopoh-gopoh dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan dan dikumpulkan secara online dengan batas waktu tertentu.Â
9 mata pelajaran artinya 9 tugas. 13 mata pelajaran artinya 13 tugas. Lalu kalian mengambil kesimpulan "aaaahhh kami ingin kembali ke sekolah, cara ini membuat gila dengan tugas tidak ada putus-putusnya." Sabar ya, Nak :)
Secara umum kondisi belajar dari rumah ini memiliki kendala yang berbeda-beda. Bahwasanya seorang Menteri Pendidikan kemaren diberitakan terkejut menemukan kondisi di pedesaan yang tidak berlistrik dan memiliki akses internet. Bahkan ada guru yang di saat menjaga jarak ini, malah harus berkeliling antar kampung untuk memastikan siswanya belajar sesuai yang dia instruksikan. Kalau melihat secara global, iya, sulit sekali.
Satu hal yang saya pahami adalah bahwa di Indonesia khususnya, Menteri Pendidikan sudah memberikan surat edaran mengenai penyesuaian pengajaran, tidak wajib menyelesaikan satu silabus kurikulum, lalu mengajar dengan cara sesuai yang dipahami guru dan siswa, tidak perlu melakukan ujian tradisional seperti di dalam kelas.Â
Saya pikir hal-hal tersebut sudah menggambarkan diberikannya sebuah "kebebasan" untuk berkreasi dalam porsi kita sebagai guru. Namun, masih banyak pula guru-guru mengeluh yang diwakilkan oleh para pengamat pendidikan, pejabat-pejabat organisasi guru, mengatakan bahwa guru kebingungan di lapangan musti melakukan apa, lalu didesaklah Kemendikbud untuk membuat kurikulum darurat karena guru cenderung berusaha menyelesaikan silabusnya.
Nah, di sinilah letak miskomunikasi dan mispersepsi. Sudah diberikan kebebasan tetapi masih minta diatur supaya guru tidak salah langkah. Terus terang lelah membaca berita seputar itu. Tapi sayapun tidak pada kapasitas mampu memberikan solusi.
Belum lagi, sekolah yang mengadaptasi kurikulum international, sama seperti UNBK, semua ujian akhir bersifat "high stake exam" sudah dibatalkan periode Mei-Juni ini. Maka dengan batal, marilah guru bereksplorasi sesuai dengan potensi guru dan siswa kita. Namun masih banyak pula guru dan sekolah dengan pola pikir tetap ujian secara tradisional. Boleh buat proyek, boleh buat portofolio. Ah, namun bagi guru tetap lebih mudah adalah ujian online. Kita butuh bukti ("evidence"), ya benar. Namun tidak pernah pernyataan bukti itu adalah nilai ujian bersifat "high stake". Benar-benar perubahan pola pikir, bukan?
Sehabis mengajar, kalau tidak diujiankan, maka siswa tidak mau belajar. Jadi orang tua pun menuntut ada tes. Iya benar. Namun tes atau evaluasi tadi bisa dipakai yang bersifat formatif saja. Tapi bagaimana kalau ada yang berpendapat tetap harus sumatif?Â
Silahkan, karena sumatif bukan melulu "high stake" tadi kan? Jika dalam kondisi normal seorang guru ada yang memberikan evaluasi setiap minggu, maka dalam kondisi tidak normal ini, mungkin jangan mempertahankan kebiasaan tersebut. Walau kebiasaan baik tetapi kondisi "new normal" ini membuat kita ditantang untuk melakukan semua jenis penyesuaian.
Banyak cara lama yang musti disesuaikan atau bahkan diubah. Jangan ragu untuk berubah. Jangan takut untuk merubah. Siapa tahu ini menjadi keadaan normal hingga beberapa tahun ke depan? Jangan kuatir dikatakan terlalu fleksibel oleh rekan-rekan guru lain atau dianggap merusak "tatanan" peraturan baku guru yang tidak pernah tertulis tetapi tersirat, karena yang paling penting di saat ini adalah anak-anak yang mau belajar. Belajar yang tentu beragam kemauan, ada yang 100% mau, ada yang 30% mau bahkan masih ada yang 0% mau. Tetapi anggaplah mereka semua mau. Sepakat kan? :)Â