Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi ), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari "kasta" mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk "mengakali" saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang.
Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya "tidak mau belajar", pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata "jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.
Jadi..... rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional "xyz" kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan "Project based" kah? Â Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak "apakah" yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK?Â
Harapan kita bersama, ke depannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat.
Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.
Demikianlah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H