Hampir semua orang di Indonesia sekarang ini memiliki smartphone. Menurut @spectatorindex, Indonesia di peringkat ke 6 sebagai negara yang paling banyak menggunakan telepon genggam.Â
Sementara menurut laporan e-Marketer, di tahun 2018, Indonesia menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia. Keren yo Indonesia :) .Â
Sementara itu pula menurut Investor Daily, jumlah pengguna internet di Indonesia diproyeksikan tembus 175 juta pada 2019, atau sekitar 65,3% dari total penduduk 268 juta. Peningkatan pengguna internet terutama ditopang oleh semakin meluasnya penggunaan ponsel pintar (smartphone) dan selesainya proyek penggelaran kabel fiber optic Palapa Ring yang menyambungkan jaringan internet ke seluruh wilayah Indonesia. Makin keren.Â
Namun bertolak belakang dengan kecanggihan tersebut, mengapa rakyatnya masih ..... yaaahhhh..... kepo ada, pemarah ada, sok tahu ada..... Jika ada berita terlempar saja di media sosial, tanpa kroscek, tanpa data, tanpa punya kepentingan, yang penting "sok berbagi" dulu sambil pura-pura tanya "ini bener gak ya", lalu komentar "sekedar mengingatkan" sebagai tanda orang lain selalu salah dan jempol dia boleh sebagai penilai.Â
Ada abg masuk rumah sakit karena sakit setelah sebelumnya bertengkar dengan kakak kelas, tersiar berita penganiayaan dan semua langsung menghujat, mungkin langsung meneror si "tertuduh pelaku", merasa diri paling benar.Â
Ada artis bercerai, sebulan kemudian sudah menggandeng pasangan baru, langsung dihujat, dikata-katai, serasa paling tahu semua duduk persoalannya. Dan masih banyak lagi cerita seputar ini, males juga ingat-ingatnya. Salah Pendidikan Indonesia?
Kesejahteraan Guru.....
Pernyataan populer "Ingin pendidikan di Indonesia maju maka Guru perlu disejahterakan", umum terdengar kan? Suatu kemajuan luar biasa, menyaksikan perubahan di masa saya sekolah, guru-guru sekolah swasta (yang saya tahu) maupun negri yang berpenghasilan pas-pas an saja, tetapi mereka tetap berdedikasi, menjadi kenyataan guru-guru dapat memperoleh level profesional nya melalui sertifikasi berujung sebuah tunjangan dan dilanjutkan dengan kesetaraan seperti PNS melalui inpasing. Puji Tuhan sungguh sebuah langkah besar.Â
Jika mau seperti itu dan jalan dengan benar, mengapa pengalaman PLPG saya dulu adalah mengumpulkan "tanda kasih" berkali-kali mulai dari pendaftaran, pelaksanaan, sampai mendapatkan selembar sertifikatnya.Â
Ok, lupakan sejenak itu pengalaman pribadi he..he... Tetapi kelanjutan kisahnya masih serupa, setelah tunjangan sertifikasi, lalu pengurusan kelanjutan dengan beragam kelengkapan administrasi yang menyebabkan si Guru lupa tugas utamanya karena terlalu sibuk melengkapi berkas, atau mengurus mutasi pindah sekolah tidak mendapat informasi sejelasnya hingga akhirnya "ya sudahlah tak usah diurus" (lagi-lagi pengalaman pribadi :)).
Dan, yang saya ketahui baru-baru ini dan luar biasa adalah pemberian hibah dari pemerintah propinsi tertentu (ini DKI, propinsi lain? mungkin ada, tetapi saya tidak tahu).Â