Â
Kita masuk tahun baru; tahun dimana banyak sekali harapan digantungkan. Tahun baru juga menandai bahwa kita meninggalkan tahun lama, yng mungkin penuh sukacita, ada juga dukacita sampai tragedi. Logikannya, untuk menyongsong tahun baru dan masa depan kita harus bisa mengambil hikmah baik dan meninggalkan bahkan membuang hal tidak baik.
Hal yang layak untu kita cemati adalah pendidikan. Sekolah dan anak didik begitu dipermudah dengan berbagai inovasi pendidikan, mulai kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka di mana beberapa hal disesuaikan dengan kemampuan siswa. Anak yang punya kemampuan olahraga akan diberi keleluasaan untuk berprestasi di bidang olahraga. Begitu juga anak yang punya kemampuan intelektual di bidang matematika, kimia atau fisika juga diberi keleluasaan untuk menggapainya.
Namun ada beberapa hal yang mengganjal untuk soal pendidikan. Yaitu adanya beberapa sekolah bahkan guru yang memiliki bahkan mengajarkan hal yang melenceng dari seharusnya. Contoh actual adalah ditangkapnya seorang oknum guru sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah bernama AR di kabupaten Sumenep Oktober 2022 .
Bersama AR, juga turut ditangkap NH dan SG. AR yang merupakan kepala sekolah sehari-harinya memegang kendali kebijakan kelembagaan sekolah ternyata terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah. SG merupakan coordinator JI di wilayah Madura.
Sebelumnya, Densus 88 juga mengamankan seoang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI) di sebuah kampus di Malang yang berpaham radikal Dia dikeahui simpatisan berat ISIS dan sempat melakukan pengumpulan dana bagi organisasi terlarang itu.
Meski kasus-kasus radikalisme pada tahun 2022 cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun sebenarnya kita tidak bisa menganggap remeh keberadaan faham ini di masyarakat. Pendidikan yang seharusnya berjalan sesuai falsafah Pancasila, tanpa banyak yang tahu diselewengkan dengan memasukkan ide-ide / faham intoleran di tingkat pendidikan dasar. Banyak sekali contoh yang ada di media antara lain atas pengaruh guru yang simpatisan radikal akan sang anak yang masih di bawah umur itu sulit menerima perbedaan (intoleran) baik rekan yang berbeda keyakinan atau keluarga yang berbeda keyakinan.
Biasanya jika intoleran sudah masuk pada kanak-kanak, maka akan meningkat pada faham radikal di tingkat pendidikan selanjutnya. Seiring waktu seorang murid yang tumbuh dewasa akan ada pada lingkaran faham terorisme. Kita bisa melihat fenomena ini pada upaya pengeboman pos polisi di Kartasura dan bom Surabaya, dimana mastermindnya adalah kepala keluarga yang mengenal faham intoleran dan radikal pada masa awal kuliah.
Ini merupakan tantangan kita bersama. karena bagaimanapun pendidikan adalah hal penting bagi sebuah bangsa. Jika faham yang tidak diinginkan masuk dalam benak generasi muda, maka disa dipastikan peta atau arah bangsa juga akan berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H