Tiga tahun lalu kita telah melampaui pemilu serentak. Banyak hal yang terjadi ada pemilu saat itu terutama banyaknya panitia yang meninggal dunia karena kelelahan dan kegaduhan  menjelang hari H atau kita kenal sebagai masa kampanye. Saya akan membahas yang kedua.
Hal yang terjadi pada saat kampanye (bahkan sebelum itu) adalah serangan membabi buta kepada dua pasang kandidat presiden. Masing-masing dengan strategi mereka.Â
Masing-masing -tentu punya tim pemenangan yang bekerja keras dan berupaya sedemikian rupa agar kandidatnya menang. Namun di luar itu ada juga para simpatisan yang memang tidak dibayar untuk mendukung para kandidat itu namun mereka juga berupaya agar calon yang didukungnya itu menang.
Sayangnya masa kampanye dan sebelumnya itu sangat penuh dengan narasi-narasi yang tak pantas. Narasi itu bersifat saling mencasi maki, menghujat, bahkan berisi kebencian kepada pihak lain. Narasi-narasi yang bersifat fitnah juga ditemukan dalam media sosial.
Narasi-narasi itu juga seringkali masuk ke ranah yang sangat pribadi, semisal latar belakang orangtuanya, bagaimana dia masa kecil dan bagaimana anaknya, bagaimana perkawinannya dan lain sebagainya. Tak jarang juga narasi ini mengarah ke identitas, agamanya apa, sukunya apa, warna kulitnya bagaimana ; hal-hal yang mengarah pada identitas sang kandidat.
Tak jarang mereka juga melakukan adu domba dan mendiskreditkan pihak tertentu. Mungkin kita ingat ada seorang yang menulis bahwa di Pelabuhan ada beberapa container surat suara yang sudah tercoblos. Dia bahkan tidak segan menuduh bahwa pihak X yang melakukan itu. Setelah disinyalir, ternyata kabar itu adalah kabar bohon.
Dua kubu saling serang menyerang dengan sangat massif, bahkan seakan tidak peduli apakah itu siang atau malam, subuh atau saatnya salat magrib. Mereka saling serang dan meluapkan kebencian, nyaris tanpa pernah puas.
Situasinya mirip dengan Pilkada Jakarta tahun 2017 dimana pendukung dua kandidat (yang masuk putaran kedua) saling serang tanpa henti. Tidak hanya di media sosial dan media mainstream tapi juga di ranah keidupan nyata bahkan di rumah-rumah ibadah.
Tak menunggu lama kegiatan itu pun seakan memecah bangsa; satu di kubu A dan satu di kubu B. Mereka bahkan tak jarang membuat kelompok-kelompok eksklusif yang hanya menerima anggota dari pendukung A saja dan kelompok eksklusif yang hanya beraggotakan pendukung B saja.
Dua tahun lagi kita juga menghadapi Pemilu lagi. Belajar dari banyak kasus di masa lalu, kita mengharapkan, sebagai bangsa, kita seharusnya bisa lebih baik; menghadapi dan melampaui Pemilu dengan sikap dan semangat yang lebih baik dan santun.
Tidak ada manfaat yang bisa kita petik dengan ujaran kebencian yang dilontarkan oleh para pendukung yang fanatic. Jangan lakukan kegiatan yang memecah belah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H