Karawang - Pengamat sosial politik, ekonomi dan Bisnis Kabupaten Karawang, Heigel, mempersoalkan tentang pertanyaan "Unsika Kenapa sih?" yang terlanjur sudah menjadi trending  topic. Kini tagar itu berbuntut panjang karena sudah jadi konsumsi publik.
"Saya melihat, di forum diskusi kaum terpelajar milenial Karawang, kritik dan teguran pada Unsika tak hanya ke luar dari mahasiswa, calon mahasiswa, alumnus dan aktivis saja. Tapi orang yang berpikir waras rame-rame mengecam rektor Unsika," ujar Heigel.
Apalagi setelah kejadian Wabup Karawang Ahmad "Jimmy" Zamakhsyari yang cepat tanggap, menegur keras Unsika kini diapresiasi warganet. Jimmy didaulat sebagai pemimpin Karawang yang responsible, punya tanggung jawab. Terlepas dari masalah politik Pilkada. Kang Jimmy lebih peduli derita rakyat, dianggap pro rakyat. Pemimpin yang lain kan diam saja.
Andaikata masalah Pilkada Karawang pun disoal orang, wajib hukumnya Calon Bupati Karawang periode mendatang bersikap jelas membela rakyatnya sendiri, kritisi bayar uang pangkal masuk PTN Unsika Rp.45 Juta yang tidak logis itu. Jadi yang dilakukan Jimmy sudah proporsional pada tempatnya.
Jangan jadi pemimpin yang bersikap netral melihat ketidak keadilan. Orang yang besikap netral artinya mementingkan diri sendiri. Netral tidak memihak rakyat kecil yang tertindas dan terpuruk resesi ekonomi di tengah pandemi Covid-19, bukanlah contoh calon pemimpin yang baik dan beradab.
Siapapun yang mengaku pemimpin Karawang, tapi buta, tuli dan bisu alias diam saja, nyaris tak terdengar suaranya, dianggap gagal dalam memimpin Karawang." Tegas Ketua Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) Unsika 2016 itu.
Lalu bagaimana dengan visi- misi Unsika? Universitas yang pada 06 Oktober 2014 beralih status menjadi PTN itu memiliki visi- misi serta tujuan yang berdasarkan pada nilai-nilai Regilius, Patriotisme, serta Kekaryaan yang berazaskan Pansacila dan UUD 1945, juga berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Menurut Heigel nggak penting rakyat melihat itu, yang penting fakta di lapangan. Ini lho... Ada rakyat yang nggak bisa bayar, ada rakyat nggak bisa masuk PTN karena mahal, biaya tak terjangkau, gaji pas-pasan, ada diskriminasi dan ada pula pelanggaran konstitusi.
Seharusnya pemimpin Karawang mumpung tandatangannya masih laku mengingatkan dan menegur rektor. Jadi yang dilakukan Kang Jimmy sudah benar dan didukung masyarakat Karawang pada umumnya.Â
Anak Dosen yang Gratisan
Tapi anak orang miskin yang dimiskinkan secara struktural, jangan dibandingkan dengan anak Dosen. Karena mereka bikin aturan sendiri. Anak Dosen dan Tendik dibebaskan dari pembayaran IPI Rp.45 Juta, anak buruh gaji pas-pasan harus bayar. Kenapa harus ada diskriminasi?, padahal perintah Undang-Undang semua warga Negara mempunyai hak yang sama.
Dosen itu kan tidak punya anak, Tendik tidak punya anak, Rektor dan Bupati pun tidak punya anak. Jabatan tidak punya alat produksi melahirkan anak turunan. Â Konstitusi menyatakan semua Warga Negara Indonesia punya hak yang sama. Pokoknya jangan ada diskriminasi di Unsika.
Rakyat mau menuntut ilmu di PTN harus bayar puluhan juta rupiah bisa diduga pemerasan, ekploitasi rakyat miskin. Dan Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya sendiri.
Begitulah jadinya jika otak pemimpin hanya berpikir keuntungan dan laba. Kapitalisme masuk di bidang pendidikan, yang tadinya pendidikan itu berorientasi sosial telah bergeser menjadi orientasi komersial dan bisnis.
Masalah ini jadi tanggungjawab kita bersama. Jika ada orang yang tidak bisa mengakses pendidikan maka kita telah gagal. Karena tidak boleh ada satu orang pun yang ditolak untuk sekolah, melanggar UUD 45 yang mengatakan Negara berkewajiban memberi pendidikan untuk seluruh rakyat. Jika Bupati diam saja Karawang mau dibawa kemana ke depannya?" kata Heigel.
Perintah UUD 45 mengatakan, setiap Warga Negara Indonesia mempunyai hak pendidikan yang sama, Bunyi dari Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan".
Jika diabaikan hal tersebut adalah pelanggaran HAM sang anak untuk mendapat pendidikan. Dalam permasalahan ini, pemerintah pusat harus segera mengambil langkah untuk mengatasinya.
Ini merupakan bentuk liberalisasi pendidikan yang berbahaya, karena akan terus ada diskriminasi dalam memperoleh hak asasi ini. Hanya mereka yang mampu membayar yang bisa memperoleh pendidikan sampai level tinggi, sementara yang tidak mampu harus menerima keadaan. Pasrah terbungkuk-bungkuk, masa depan anak-cucu kita akan menjadi bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa lainnya, itu kutukan Soekarno.Â
Sudah tahu uang pangkal setinggi langit, masuk PTN Unsika Rp.45 Juta mahalnya, Bupati Karawang diem bae. Jelas sudah arah dunia pendidikan di Karawang mau dibawa kemana?" pungkas Heigel. (dot)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H