Berawal dari insiden "Guru tampar murid" dialaminya saat masih kelas 1 SMP, Habil (15) traumatik tidak mau sekolah formal lagi. Mogok, selain itu dia tidak mau terlibat geng-gengan, apalagi ikutan anggota geng motor seperti temannya yang lain, tawuran, drugs, narkoba yang merajalela di sekitarnya.
Sejalan dengan yang dikawatirkan orang tuanya, ada masalah besar mengenai lingkungan sekolah, juga ingin lebih fokus pada pengajaran agama dan moral, untuk sementara menjauh dengan pengajaran akademik di sekolah negeri atau sekolah swasta. Mumpung masih kecil mereka memutuskan homeschooling.
Dengan membeli laptop seharga Rp 5 juta, komputer PC Rp 5 juta, Kamera digital Rp 5 juta, sekaligus memasang jaringan internet unlimited, Indihome, di rumahnya Rp 560 ribu perbulan, tidak lupa gitar akustik, musik dan internet, youtuber adalah kesehariannya, pernah pula ikut Karate dan belakangan tertarik Basket. Selama dua tahun dia serius menekuni ilmu dan tidak pernah keluar rumah kecuali untuk urusan penting dan kegiatan positif. Total Habil bersih dari Narkoba, miras dan pergaulan bebas.
Namun tibalah waktunya bulan Mei 2017, secara fisik dan mental Habil relatif stabil. Dia ingin berntegrasi dengan pendidikan formal melanjutkan cita-citanya masuk SMANegeri 4 mengikuti jejak sang kakak yang alumni SMAN tersebut. Dia pun mengikuti prosedur resmi yang diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dibawah naungan Disdikpora Kabupaten Karawang yang menjanjikan bahwa peserta Kejar Paket B dapat mengikuti Ujian Kesetaraan tingkat SLTP untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke SMA.
Tapi bagi disambar petir di siang bolong, cita-cita Habil harus kandas, pupus sudah jerih payahnya konsentrasi penuh pada home schooling tiada arti. Ternyata pada prakteknya mengikuti UN Kejar Paket B "ada diskriminasi" tidak bisa daftar ke sekolah formal (SMA). Pasalnya, pengumuman hasil ujian kejar paket B belum diterima oleh Disdikpora Karawang, Selasa (04/07/2017), padahal pendaftaran akan segera ditutup tiga hari kemudian. Kemungkinan nasib malang bakal dialami oleh para peserta ujian Kejar paket B tersebut, mungkin juga paket A se-kab Karawang bernasib sama. Mereka tidak bisa mendaftar ke sekolah formal (SMP/MTs atau SMA/MA). Mereka di abaikan oleh aparatur Disdikpora Karawang, tidak diurus, "diskriminasi" menjijikkan.
Padahal ketentuan mengenai kesetaraan ini diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26, ayat (6): "Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan." Jadi untuk apa "kebohongan publik" mengenai kesetaraan itu. Tidak ada. Pasti banyak Habil-Habil kecil lainnya diluar sana yang kecewa dan menangis.
Menurut Amid Mulyana Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Disdikpora Karawang mengatakan, "seharusnya yang namanya setara itu benar-benar setara dalam prakteknya, namun nyatanya, peserta paket B tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena terhambat, nilai ujian dari provinsi belum turun, sedangkan pendaftaran ke sekolah formal sudah berlangsung dan mau ditutup, saya sudah menghubungi provinsi tapi belum ada tanggapan sebagai solusinya," ujar Amid dikantornya, Selasa (04/07/2017).
Lain lagi menurut Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat Disdikpora Karawang, H Udan Suptiadi, "kami tidak punya kewenangan apapun, provinsi yang punya kewenangan memberi nilai. Apalagi saya cuma Kasi, ya.. kalau Kepala Dinas Pendidikan yang telepon ke provinsi mungkin saja nyambung," ujarnya.
Sementara itu, saat hendak dikonfirmasi di kantornya, Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Kadisdikpora) Kabupaten Karawang, Dadan Sugardan tidak ada di tempat. Beberapa orang wartawan yang berkumpul di sekitar kantor Disdikpora mengatakan, Dadan Sugardan "alergi" pada wartawan, karena banyak Mafia di Disdikpora Karawang kan sudah bukan rahasia umum lagi, semua orang sudah tahu," katanya. . Sampai saat ini SMS penulis tidak dibalas dan telepon tidak pernah diangkat Kadisdikpora untuk konfirmasi.
Di lain tempat, Heigel, Humas Lembaga Bantuan Hukum Laskar Merah Putih (LBH LMP) Karawang mengatakan, Dadan Sugardan selaku Kadisdikpora tidak boleh begitu saja acuh tak acuh, seolah tidak ada masalah dan hanya berpangku tangan saja. "Dia harus bertanggungjawab, seharusnya Dadan aktif berkomunikasi dan melobi pihak provinsi agar warga masyarakat Karawang yang ikut kelulusan paket B bisa melanjutkan ke SMA. Adanya kendala terhambat Ini kan karena Kadisdiknya tidak aktif, tidak peduli, atau memang tidak becus kerja," tegas Heigel.
Heigel menjelaskan, "untuk itu pihaknya berkewajiban membantu warga masyarakat Karawang yang dirugikan. Sesuai dengan Surat edaran Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2006, yang menegaskan bahwa ijazah Paket A/Paket B/Paket C setara secara hukum dengan ijazah SD/SMP/SMA.
Surat nomor: 107/MPN/MS/2006 tersebut ditujukan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Kepala Staf TNI AD, TNI Al, TNI AU, Kapolri, Kepala BKN, dan Rektor Universitas/Direktur Politeknik/Ketua Sekolah Tinggi. Isi dari surat edaran itu menegaskan tentang status hukum Ijazah Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA) yang harus diperlakukan setara secara hukum dengan ijazah sekolah.
Pokok-pokok isi dalam surat edaran Mendiknas: 1. Setiap orang yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B atau Paket C masing-masing memiliki hak eligibilitas yang sama dan setara dengan berturut-turut pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi. 2. Status kelulusan program pendidikan kesetaraan Paket C memiliki hak eligibilitas yang setara dengan pendidikan formal dalam memasuki lapangan kerja. 3. Setiap lembaga diminta mematuhi ketentuan perundang-undangan tersebut di atas agar tidak diindikasikan melanggar Hak Asasi Manusia.
Saya akan melayangkan somasi ke Kadisdikpora Kabupaten Karawang, karena secara teknis memang dia harus bertanggungjawab, sebagai aparatur Negara yang digaji dari pajak rakyat jangan melongo saja. Para penyelanggara Negara di semua tingkat memiliki tanggungjawab untuk mengelola kebijakan publik yang adil bagi semua unsur tanpa kecuali, diatas segalanya. Negara melalui pejabat pubik, kepala daerah terpilih dan aparaturnya berkewajiban melindungi dan memberi rasa aman bagi setiap warga Negara, jika perlu secara koersif, agar semua warga Negara memperoleh hak, perlindungan, dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Para penyelenggara Negara dan aparaturnya yang telah digaji dari uang pajak rakyat harus bertanggungjawab baik moral dan hukum, jika tidak peka, atau merasa tidak bersalah, sikap demikian itu dapat dikatagorikan sebagai pembangkangan terhadap konstitusi, UUD 1945 pasal 31 yang mentyatakan bahwa setiap warga Negara berhak medapat pendidikan, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bab III pasal 12, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdasan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak, mulia, berbahagia dan sejahtera sesuai dengan Hak Asasi Manusia, UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menganut system multy entry dan multy exit.Â
Bupati Karawang harus mengerti problematika ini, tapi jangan-jangan memang benar isyu di luar sudah santer terdengar, Kadisdikpora Karawang Dadan Sugardan tidak becus kerja", kata Heigel.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H