Menurut penulis, ada dua kriteria fraudster dalam menjalankan aksinya khususnya dalam lingkungan kerja (occupational fraud) yaitu (1) Pelaku-Berniat, yaitu pelaku yang sejak awal masuk dalam perusahaan dengan tujuan akan berbuat kecurangan dengan melakukan kamuflase kepribadian untuk lolos dari proses screening awal. Tipe pelaku ini dapat dikatakan spesialis kutu loncat, mencari tempat kerja yang dapat di ekploitasi untuk keuntungan jangka pendek.
Contohnya, pelaku melakukan eksploitasi celah atau credential kemudian melakukan pembobolan simpanan nasabah yang telah direncanakan. Biasanya, setelah mendapatkan keuntungan pelaku akan menghilang tanpa kabar, dan di waktu bersamaan mencari “mangsa” perusahaan baru. (2) Pelaku-Khilaf, yaitu pelaku yang awal masuk dalam perusahaan memiliki kualifikasi baik, menjalankan pekerjaan sesuai aturan namun berjalannya waktu tergelincir dan timbul niat untuk melakukan tindakan kecurangan.
Pelaku tipe ini lebih berpengalaman, karena telah memahami flow bisnis dan terbiasa dengan aktivitasnya, umumnya skema kecurangan yang dilakukan pun lebih rumit agar tidak terdeteksi. Biasanya, pelaku tipe ini didorong adanya tekanan yang datang baik kebutuhan finansial yang mendesak, kebutuhan keluarga, keinginan pengakuan yang berlebihan hingga pada akhirnya memilih jalan pintas dan menghalalkan segala cara.
Karyawan berbuat curang tentu disesuaikan dengan kondisi jabatan yang dipegang. Seorang karyawan dengan intensitas pada kewenangan monetary, akan lebih rawan dibandingkan karyawan yang memiliki kewenangan non-monetary. Sehingga internal kontrolnya atau treatment seharusnya dapat dibedakan sesuai tingkat risiko.
Internal kontrol tentu akan berjalan dengan baik bilamana setiap proses bisnis organisasi dapat termitigasi. Tidak saja persoalan SOP atau aturan main, namun juga karyawan yang ditugaskan telah sesuai kompetensi (the right man on the right job).
Pembangunan sistem deteksi dini dan kontrol prevensi menjadi suatu yang penting untuk dilakukan. Pemanfaatkan teknologi ataupun peningkatan kompetensi karyawan dalam menjalankan bisnis perusahaan akan lambat laun menekan terjadinya kecurangan. Misalnya, menciptakan suatu sistem early warning atas redflag kecurangan, memastikan segregation of duties, serta membangun budaya anti-fraud yang kuat dalam organisasi.
Budaya (culture) acap kali mudah terucap namun sulit dilaksanakan. Membangun budaya bukan hanya tugas satu bidang dalam organisasi yaitu human capital saja, namun menjadi tugas seluruh karyawan perusahaan.
Budaya apapun tidak dibentuk, namun dibangun. Sama halnya ketika kita membangun sebuah rumah, maka budaya adalah pondasi kokoh sebelum bangunan mampu berdiri tegak. Sehingga komitmen, tone at the top para Manajemen Perusahaan menentukan berhasilnya suatu organisasi.
Untuk itu, dalam mendukung hal ini, mulai dari proses rekrutmen yang kuat harus dilakukan, background check menggunakan teknologi terkini yang mampu mengidentifikasi perilaku buruk atau kecenderungan seorang calon karyawan atau karyawan akan melakukan kecurangan dapat teridentifikasi secara dini, sehingga sejak awal calon fraudster akan terseleksi bukan “seleksi alam” berdasarkan masa kerja, namun sejak awal tidak akan lolos verifikasi.
Ketika proses pencegahan ini dapat dilakukan, untuk memastikan “seleksi alam” dapat dilakukan maka tentu penguatan fungsi deteksi perlu dilakukan. Salah satu yang penting adalah melalui sistem whistleblowing terpercaya dan handal.
Hal ini didukung hasil riset ACFE tahun 2022, bahwa deteksi paling efektif 41 persen melalui sarana pengaduan (whistleblowing), dengan 55 persen pelaporan bersumber dari karyawan. Atasan langsung memiliki peran sentral dalam upaya pencegahan ataupun deteksi dikarenakan sebanyak 30 persen pelapor melaporkan kejadian kepada mereka.