Syukurnya, wilayah kerja lainnya bisa diakses lewat darat dengan kendaraan VIAR yang berisi 8 orang. Okto menambahkan bahwa memang daerahnya serba terbatas dan sulit diakses. Transportasi VIAR juga hanya sekali seminggu.
Kesan pertama Okto ketika sampai di tempat tugasnya waktu itu adalah kaget. Hal itu dikarenakan daerah kerja sebelummya di kabupaten Maggarai (NTT), yang statusnya sama-sama daerah sangat terpencil, berbeda jauh dari keadaan yang ia dapati di daerah tugas yang baru. Posisi ketika mereka tiba itu siang hari  sekitar  jam 2, jadi terkesan aman. Ternyata malam hari semuanya sangat gelap karena tidak ada listrik. Untungnya ada generator. Nah, untuk menyalakan generator ini, setiap rumah harus kumpul uang Rp. 2.500. Akan tetapi, ini hanya diperuntukan bagi biaya lampu nyala  selama 2 malam. Generator juga tidak menyala sepanjang malam dan hanya akan menyala mulai jam 6 sore sampai jam 10 malam.
Di tahun 2021, barulah PLN masuk ke kampung ini. Penderitaan belum usai. Jaringan internet  ada, tapi hanya bisa diakses sekitar jam 2 subuh. Air ada tapi asin. Bagi Okto, semua terkesan tersedia, hanya saja dibuntuti lagi dengan kata "tapi". Akhirnya, bisa diambil kesimpulan bahwa penuh perjuangan untuk hidup dan bertahan di tempat ini.
Okto dan beberapa teman Nusantara Sehat lainnya tinggal di salah satu rumah warga. Lebih tepatnya mereka menyewa salah satu kamar sebagai kos. Penyebabnya karena rata-rata tenaga kesehatan di sana adalah pendatang, jadinya tidak ada rumah kosong untuk ditempati. Perlahan, Okto mulai belajar menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada.
Awalnya ia benar-benar bingung mau mulai dari mana. Keadaan di sana betul-betul tidak mendukung. Ada beberapa hal miris di sana. Misalnya saat kegiatan turun desa sekali sebulan, jika ada 5 kegiatan, terpaksa harus dijalankan dalam sehari  saja karena akses dan biaya tranportasi yang mahal.
Hal tersebut diperparah lagi dengan tidak tersedianya kendaraan dinas untuk kegiatan. Saat pasien berkunjung ke Puskesmas itu, pasiennya rata-rata hanya berasal dari 2 desa terdekat dan sisanya jarang ke puskesmas karena jauh. Di sana juga tidak tersedia alat kesehatan dan obat-obatan yang memadai. Cukup menyedihkan bila dikenang kembali. Ketika turun kegiatan di desa, mereka harus bawa bahan makanan. Syukurnya mereka berada di daerah pesisir, karena itu ikan dijual murah di sana.
Terdapat banyak hambatan yang dihadapi. Salah satunya adalah kurangnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan fasilitas Kesehatan. Masyarakat lebih percaya dengan obat tradisional. Ibu yang melahirkan lebih percaya ke dukun dibandingkan dengan nakes, karena akses jauh dan biaya tranportasinya yang mahal. Sewa body dan fiber atau viar itu mahal, jadi masyarakat memilih tidak  berobat menunggu sampai darurat/sekarat baru ke Puskesmas. Banyak peristiwa yang akhirnya hanya bisa berujung terucapnya kata terlambat.
Tantangan berikutnya adalah susahnya merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku hidup bersih, karena hal adat dan kebiasaan. Beberapa kegiatan juga dilakukan untuk merubah perilaku masyarakat agar dapat hidup sehat. Contohnya seperti penyuluhan kesehatan anak usia SD, SMP dan SMA, serta masyarakat pada umumnya.Â
Tidak lupa juga kami selalu berkoordinasi dengan orang-orang kunci di sana seperti pemerintah desa, tokoh agama dan sekolah.
 Bila ada kasus malaria, tenaga surveillance, analis, dan penangungjawab malaria harus segera ke lapangan secepat mungkin. Terkadang, masyarakat tidak menerima dan harus dilakukan koordinasi yang lebih intens lagi. Kejadian tersebut juga berlaku dengan kunjungan rumah penderita TB dan Kusta. Hambatannya adalah pasien sering tidak ada di tempat, karena sudah ke kebun.