Mohon tunggu...
HE. Benyamine
HE. Benyamine Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kota Gaib Saranjana dalam Elegi Eko Suryadi WS

21 Februari 2012   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 1490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: HE. Benyamine

Memasuki elegi Eko Suryadi WS sungguh terasa senandung yang mengandung ratapan, yang secara langsung mengajak orang yang masuk menjadi bagian berbagai peristiwa yang melatarinya, namun berbagai kelemahan dan keterpurukan dapat begitu apik disembunyikan hingga tiada yang membuat orang yang masuk menjadi bagian tersebut menjadi lemah dan larut dalam kesedihan; malah yang ada ketegaran dan perjuangan yang tiada kata menyerah.

Hal ini nampak pada pandangannya dalam puisi Bajau pada lirik-lirik: Lautmu adalah kelahiran/Daratan mimpi kematian/Berlayarlah dengan waktu/ Tak kembali kembali.

Dalam kumpulan sajak Elegi Negeri Seribu Ombak (ENSO), terbitan Framepublishing tahun 2010,  Eko Suryadi WS (ESWS) melalui puisi-puisi di dalamnya mampu menghadirkan sosok yang peka dan terlibat dalam berbagai peristiwa yang dialaminya. Keterlibatan diri sang penyair dalam ruang dan waktu nampak terlihat dalam hampir semua puisi dalam buku ini, yang terkadang tidak terlihat sebagai tanggapan personal namun lebih cenderung sebagai tanggapan komunal yang mampu diartikulasikan sang penyair.

Memperhatikan puisi-puisi yang dihadirkan ESWS dalam buku ini, nampak terlihat begitu kentara pandangan sang penyair terhadap ruang dan waktu serta peristiwa yang terjadi. Di sini, ESWS lebih mengutarakan apa yang disaksikannya, yang tentu saja mengusik batin dan kepekaannya atas berbagai peristiwa yang terjadi; yang cenderung meninggalkan luka. Hampir sebagian besar puisi-puisi dalam kumpulan ini mengacu pada luka, baik yang langsung diungkapkan sebagai luka maupun yang samar dengan menghadirkan rasanya seperti nyeri dan pedih. Tanggapan sang penyair terasa lebih cenderung, yang dalam filsafat, pada ranah aksiologi yang lebih menggali hal-hal yang berhubungan dengan etika dan estetika; yaitu bagaimana seharusnya manusia bertindak dan tentang kebenaran dari dasar tindakan itu, dan tentunya mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan.

Di samping itu, pandangan sang penyair, ESWS, dengan memperhatikan puisi-puisi yang cenderung bermuatan kritik sosial, memperlihatkan pandangan berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge), di mana segala sesuatu merupakan satu kesatuan dan saling terhubung, manusia merupakan bagian dari alam. Pandangan ini cenderung tidak sepaham dengan pandangan antroposentris, yang cenderung manusia terpisah dengan alam, yang menguasai alam untuk kepentingannya sendiri. Kecenderungan ini dapat dilihat dari pilihan kata-kata, seperti semesta berduka dalam puisi Tanjung Dewa, atau Akan ke mana perginya kita dalam puisi Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima, dan menjadi semestaku serta adakah semestaku dalam puisi Elegi Negeri Seribu Ombak.

Pada puisi Saranjana, lebih terlihat pandangan sang penyair yang tidak antroposentris, tapi eksistensi manusia merupakan bagian dari alam. Saranjana merupakan kota gaib sebagai cerita mistis masyarakat tentang sebuah kota yang sudah maju, bagai mitropolis,  dengan penduduk yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng di desa pada Kecamatan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.

Dengan larik, Di puncak-puncak keniscayaan kau bangun gerbang/Pembatas duniamu dan para juriat, jelas menunjukkan adanya dua dunia yang berbeda dengan batas yang dianggap jelas dan dipercayai oleh sebagian masyarakat. Dalam puisi Saranjana ini nampak sang penyair mencoba masuk pada mitos tersebut, dengan pengharapan untuk saling menjaga dan berkasih sayang antara dua dunia tersebut, sebagai bagian dari pandangan bahwa manusia bagian dari alam sebagaimana pandangan berdasarkan pengetahuan lokal; pengetahuan yang dekat dengan lingkungan sekitar yang bersifat unik dan spesifik tempatan.

Hampir sebagian besar puisi, untuk tidak mengatakan seluruhnya, puisi-puisi ESWS yang terhimpun dalam ENSO ini, lebih banyak bercerita tentang yang telah lewat, berlalu, masa lalu, dan yang meskipun ada cerita dengan menggunakan kata sebelum tetapi tetap saja telah berlalu, seperti dalam puisi Sebelum Halimun yang bercerita tentang resiko sebagai manusia yang mengarungi lautan, dengan larik: menunggu kepulangan/halimun bergulung turun/mengantar ruhmu menaiki perahu/menuju laut, yang juga merupakan setelah kejadian yang baru tersingkap setelah halimun menghilang.

Begitu juga dengan penggunaan kata luka, yang hampir semua puisinya berbicara tentang luka, baik secara langsung atau melalui metafor dan tentunya disandingkan dengan laut yang menambah perih luka-lukanya, seakan ESWS dalam perjalanan hidup ini penuh dengan luka-luka, namun seperti anak kecil yang belajar berjalan harus jatuh bangun dengan luka-luka didapat tetap saja teguh terus berjalan; luka bagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang lumrah dalam perjuangan.

Dalam puisi Terbanglah Kuat-Kuat Ke Langit Lukaku, terasa begitu kuat cerita tentang luka tersebut sebagai sesuatu yang bukan penghalang dalam hidup dan kehidupan,  seperti dalam larik: Terbanglah kuat-kuat ke langit lukaku/kunyahlah anyir darah perihnya/nikmati makan malammu/sedekat gigitan sedekat kerlingan/simpan di mejamu, dan larik berikutnya: tanpa kusentuh/kenyangnya tiba.

Dengan pilihan kata setelah dan luka, ESWS melengkapi dengan pilihan ungkapan air mata yang merupakan suatu bentuk kesatuan dalam puisi-puisinya, saling berkaitan dan mendukung dalam jalinan cerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar sang penyair. Di sini sang penyair tidak berposisi sebagai personal yang berjarak dengan alam dan sekitarnya, tetapi sebagai bagian yang menyatu.

Hal ini terlihat bagaimana sang penyair menggauli kata hujan dalam puisi-puisinya, yang tentu saja berkaitan dengan air; sebagai sumber kehidupan. Dalam ungkapan tentang hujan, begitu dekat dengan kehidupan sang penyair, yang menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat, karena air merupakan masalah krusial bagi masyarakat, yang tidak hanya dialami sang penyair tapi menjadi pandangan komunal.

Hal ini terungkap dalam puisi Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan yang bertutur tentang etika kita dalam memperlakukan alam sebagai sesuatu yang berjarak; eksploitatif , ekspansif, dan masif. Terungkap pada larik-larik berikut: Langit menyembunyikan embun/Karena awan telah dikalahkan/Cakrawala murung di wajah semesta/Hujan menjadi tawanan waktu.

Langit menyembunyikan embun sebagai ungkapan betapa daun-daun yang menjadi gantungan embun telah tiada, namun demikian sang penyair masih punya harapan dengan pilihan ungkapan Hujan menjadi tawanan waktu, yang seakan ingin mengungkapkan bahwa waktu yang akan menyembuhkan dan sekaligus untuk berbenah dalam melepaskan hujan dari tawanan waktu itu sendiri. Begitu juga dalam puisi-puisi lainnya, seperti puisi Bingkai: luka peradaban menggiring kepada waktu.

Muatan kritik sosial, dengan kecenderungan aksiologi dalam hal etika, juga nampak dalam puisi yang beraroma religius, seperti puisi Kukitari Rumahmu; terlihat bagaimana pandangan sang penyair dengan memilih kata rumah sebagai padanan Ka’bah, dengan ungkapan tawaf subuhku dan pemakaian mimpi serta pencarian dalam himpitan peristiwa; lalu bait berikut: Matahari dan bulan mengitari rumahmu/Air mata kekasih membasuh luka semesta/Ke mana kan kusembunyikan debu kemusykilan/Air mata itu mencari diriku/Aku terkepung dan tak bisa lari, sebagai ungkapan yang membingkai setelah pulang haji.

Di sini ada hal yang menarik, sebagai pilihan naik haji cukup sekali, karena masih banyak hal yang lebih utama. Sehingg, larik berikut; Kukitari rumahmu/Tidak dalam hitungan lagi, sebagai ungkapan bahwa komitmen kesucian tidak perlu dihitung-hitung lagi.

Dalam beberapa hal, dalam kumpulan sajak ENSO, sang penyair terlihat begitu akrab dengan yang namanya luka, seakan ada bagian dari diri sang penyair yang merasa nyaman dalam luka yang dalam pemaknaan berbeda dalam puisi Di Kedalaman Waktu, sebagaimana larik-larik berikut: ayo lukai aku/ayo kirim perihku dan jangan balut lukaku/jangan rebut perihku, sebagai ungkapan kerinduan pada sang Pemilik Hidup.

Di sini, ada menarik untuk melihat bagaimana pandangan sang penyair dalam melihat luka-luka kehidupan, yang memang harus dilewati dalam memperjuangkan hidup dan kehidupan itu sendiri; luka-luka yang harus disembuhkan dengan kerja keras dan kepasrahan. Sang penyair, memperlihatkan dalam kumpulan sajak ENSO, bahwa kita merupakan bagian dari semesta, bagian dari alam dan lingkungan, yang secara langsung merupakan pandangan yang ramah dan akrab dalam bergaul dengan alam, bukan dengan cara berjarak dan menguasai alam sebagaimana mentalitas kapitalis yang ekpansif, eksploitatif, dan masif. Alam dan lingkungan adalah diri kita sendiri, yang seharusnya dijaga dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian, yang juga tidak terlepas dari kearifan cerita-cerita mistis sebagai bentuk pengetahuan yang khas, unik, dan spesifik tempatan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan.

Banjarbaru, 20 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun