Mohon tunggu...
HE. Benyamine
HE. Benyamine Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kota Gaib Saranjana dalam Elegi Eko Suryadi WS

21 Februari 2012   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 1490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dengan pilihan kata setelah dan luka, ESWS melengkapi dengan pilihan ungkapan air mata yang merupakan suatu bentuk kesatuan dalam puisi-puisinya, saling berkaitan dan mendukung dalam jalinan cerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar sang penyair. Di sini sang penyair tidak berposisi sebagai personal yang berjarak dengan alam dan sekitarnya, tetapi sebagai bagian yang menyatu.

Hal ini terlihat bagaimana sang penyair menggauli kata hujan dalam puisi-puisinya, yang tentu saja berkaitan dengan air; sebagai sumber kehidupan. Dalam ungkapan tentang hujan, begitu dekat dengan kehidupan sang penyair, yang menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat, karena air merupakan masalah krusial bagi masyarakat, yang tidak hanya dialami sang penyair tapi menjadi pandangan komunal.

Hal ini terungkap dalam puisi Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan yang bertutur tentang etika kita dalam memperlakukan alam sebagai sesuatu yang berjarak; eksploitatif , ekspansif, dan masif. Terungkap pada larik-larik berikut: Langit menyembunyikan embun/Karena awan telah dikalahkan/Cakrawala murung di wajah semesta/Hujan menjadi tawanan waktu.

Langit menyembunyikan embun sebagai ungkapan betapa daun-daun yang menjadi gantungan embun telah tiada, namun demikian sang penyair masih punya harapan dengan pilihan ungkapan Hujan menjadi tawanan waktu, yang seakan ingin mengungkapkan bahwa waktu yang akan menyembuhkan dan sekaligus untuk berbenah dalam melepaskan hujan dari tawanan waktu itu sendiri. Begitu juga dalam puisi-puisi lainnya, seperti puisi Bingkai: luka peradaban menggiring kepada waktu.

Muatan kritik sosial, dengan kecenderungan aksiologi dalam hal etika, juga nampak dalam puisi yang beraroma religius, seperti puisi Kukitari Rumahmu; terlihat bagaimana pandangan sang penyair dengan memilih kata rumah sebagai padanan Ka’bah, dengan ungkapan tawaf subuhku dan pemakaian mimpi serta pencarian dalam himpitan peristiwa; lalu bait berikut: Matahari dan bulan mengitari rumahmu/Air mata kekasih membasuh luka semesta/Ke mana kan kusembunyikan debu kemusykilan/Air mata itu mencari diriku/Aku terkepung dan tak bisa lari, sebagai ungkapan yang membingkai setelah pulang haji.

Di sini ada hal yang menarik, sebagai pilihan naik haji cukup sekali, karena masih banyak hal yang lebih utama. Sehingg, larik berikut; Kukitari rumahmu/Tidak dalam hitungan lagi, sebagai ungkapan bahwa komitmen kesucian tidak perlu dihitung-hitung lagi.

Dalam beberapa hal, dalam kumpulan sajak ENSO, sang penyair terlihat begitu akrab dengan yang namanya luka, seakan ada bagian dari diri sang penyair yang merasa nyaman dalam luka yang dalam pemaknaan berbeda dalam puisi Di Kedalaman Waktu, sebagaimana larik-larik berikut: ayo lukai aku/ayo kirim perihku dan jangan balut lukaku/jangan rebut perihku, sebagai ungkapan kerinduan pada sang Pemilik Hidup.

Di sini, ada menarik untuk melihat bagaimana pandangan sang penyair dalam melihat luka-luka kehidupan, yang memang harus dilewati dalam memperjuangkan hidup dan kehidupan itu sendiri; luka-luka yang harus disembuhkan dengan kerja keras dan kepasrahan. Sang penyair, memperlihatkan dalam kumpulan sajak ENSO, bahwa kita merupakan bagian dari semesta, bagian dari alam dan lingkungan, yang secara langsung merupakan pandangan yang ramah dan akrab dalam bergaul dengan alam, bukan dengan cara berjarak dan menguasai alam sebagaimana mentalitas kapitalis yang ekpansif, eksploitatif, dan masif. Alam dan lingkungan adalah diri kita sendiri, yang seharusnya dijaga dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian, yang juga tidak terlepas dari kearifan cerita-cerita mistis sebagai bentuk pengetahuan yang khas, unik, dan spesifik tempatan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan.

Banjarbaru, 20 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun