Mohon tunggu...
HE. Benyamine
HE. Benyamine Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Asap: Mantra Kematian yang Senyap

19 Oktober 2014   08:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:30 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: HE. Benyamine

Pemahaman mengenai daerah merupakan titik dasar yang penting bagi siapa saja yang berminat menjadi kepala daerah; provinsi maupun kabupaten/kota, tak terkecuali para penyokongnya untuk memberikan data dan pemikiran yang bermakna historis. Kalimantan Selatan saat ini seperti tidak terpetakan, sehingga tahun berlalu hanya sebagai pengulangan pada masalah yang sama, tanpa perencanaan dan orientasi karena masalahnya berganti sesuai dengan musim dan kemurahannya. Kalimantan Selatan sangat memerlukan kajian yang sistematis dan terstruktur terhadap daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi, setidaknya hal ini mengemuka pada diskusi di rumah Desmond J. Mahesa (5/10/14) yang dihadiri para akademisi, aktivis, budayawan, dan mahasiswa.

Kajian tentang daerah merupakan kepentingan jangka panjang dan dapat menjadi rujukan bagi siapa saja, sehingga Kalimantan Selatan tidak berputar pada masalah yang sama dan pengurasan sumberdaya alam yang masif hanya untuk membiayai perputaran masalah tersebut. Apalagi, eksploitasi sumberdaya alam tak lebih dari rente ekonomi dalam segala lininya untuk daerah, selebihnya tak ada yang kembali ke daerah. Kajian yang minim tentang daerah memperanakkan ketidakperdulian dan kepala daerah yang tidak peduli sedang berada di mana masa periodenya selain bagaimana menghabiskan anggaran yang ada, tanpa ada jejak pembangunan.

Pertambangan batu bara dan perkebunan sawit menjadi primadona kepala daerah di Kalimantan Selatan, sehingga dengan gampang menyerahkan ratusan ribu hektar lahan, termasuk lahan basah yang divonis lahan tak produktif dengan mengabaikan ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa lahan basah sebagai ekosistem yang paling kaya keanekaragaman hayati dan menjadi penyangga air tawar.

Kabut asap yang terjadi setiap musim kemarau, merasuki udara bersama, seakan pemerintah daerah melepaskan “mantra kematian yang senyap” bagi semua warga Kalimantan Selatan, merupakan fakta adanya ketidakberesan dalam penataan ruang dan pemanfaatan sumberdaya alam. Asap lebih tebal pada pembakaran yang tidak sempurna, seperti di lahan gambut yang punya kedalaman puluhan meter, sehingga sangat sulit untuk dikendalikan. Kerusakan lahan basah secara langsung terkait dengan kerusakan tata air, dan secara nyata ditunjukkan kehadiran asap yang menyapa dengan wajah tak berperasaan.

Paling yang terpikir oleh pengambil kebijakan adalah melakukan hujan buatan, tentu dengan anggaran yang besar dan sesaat sifatnya, selanjutnya menunggu musim berganti dengan musibah banjir yang mendampinginya.Kabut asap adalah bukti tak berperannya lembaga perwakilan rakyat daerah, di mana anggota DPRD lebih memanfaatkan fasilitas yang diterimanya untuk menyelamatkan diri sendiri dengan berbagai pelayanan, sementara pemerintah daerah hanya terlihat seperti orang yang tersesat di rimba rutinitas “segalanya baik-baik saja”.

As soon as possible (asap), sangat diperlukan kajian tentang daerah; baik skala kabupaten/kota maupun skala provinsi, untuk menentukan apa dan bagaimana daerah menentukan arah skala prioritas dan peluang kepentingan dalam mencapai kesejahteraan bersama, bukan menikmati asap bersama.

Jadi, saat ini bukan siapa yang akan menjadi kepala daerah, tapi potensi, peluang, kesempatan, dan hambatan daerah yang penting untuk dibicarakan, baru selanjutnya mencari siapanya. Di samping itu, investasi yang masuk bukan dengan pandangan “kebutaan sawit”, seakan tidak ada investasi lain yang potensial masuk Kalimantan Selatan. Perubahan bentang alam, terutama lahan basah; seperti rawa dan sungai, akan menyebabkan gangguan ekosistem secara keseluruhan, dalam hal perkebunan sawit adalah asap dan kerusakan tanah.

“Kebutaan sawit” merupakan gejala psikologis, baik pemerintah daerah maupun anggota DPRD, yang tak mampu untuk berpikir dengan kegelisahan kehilangan investasi potensial tanpa peduli sekitarnya akan berubah jadi malapetaka. Padahal kemiri merupakan komoditas potensial, baik cangkang maupun minyaknya, selain untuk bumbu masak, yang layak diperjuangkan dalam pembiayaan oleh bank dalam skala perkebunan besar misalnya.

Oleh karena itu, kabut asap merupakan tanda yang faktual untuk ketidakpedulian pengambil kebijakan di daerah Kalimantan Selatan, dan memperlihatkan bagaimana daerah ini diputuskan oleh anggota DPRD dan pemerintah daerah tiada lain sebagai “sapi perahan” untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan daerah ini. Kabut asap secara kasat mata menjadi bagian dari “mantra kematian yang senyap” untuk warga Kalimantan Selatan yang dikirimkan oleh pengambil kebijakan yang tidak punya orientasi dan pandangan tentang kesejahteraan dan pembangunan Kalimantan Selatan.

Sudah saatnya, kalangan akademisi, aktivis, penggiat kebudayaan, mahasiswa, dan para pihak di Kalimantan Selatan, melakukan tindakan separatis untuk mendorong kepedulian pada keadaan daerah yang diabaikan oleh pengambil kebijakan, lebih menekankan kepentingan lokalitas dan menganggap bahwa tidak “semuanya baik-baik saja”, namun telah terjadi krisis untuk menandakan kepentingan adanya perubahan.

Banjarbaru, 6 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun