Minyak bumi merupakan hasil proses alami berupa hidrokarbon dalam kondisi dan temperatur atmosfir berupa fasa cair atau padat termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan. BBM merupakan hidrokarbon yang dibentuk dari proses yang berlangsung dalam skala waktu geologis. Indonesia yang merupakan salah satu Negara pengekspor migas  disinyalir cadangan minyaknya hanya tinggal 5 miliar barrel. Itu berarti hanya sekitar 0,484 persen dari seluruh cadangan minyak dunia atau hanya sekitar 0,614 persen dari cadangan minyak negara-negara anggota OPEC.
Apakah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang zalim? Mengapa demikian?
Yang jelas korban kebijakan pemerintah tersebut yaitu rakyat dari kalangan menengah ke bawah. Dimana kebijakannya dikeluarkan disaat kebanyakan masyarakat masih belum bangkit setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19. Adapun harga BBM di luar negeri justru sedang anjlok. Dimana pemerintahan tetap ngotot melanjutkan proyek-proyek Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Bandung-Jakarta, yang mana proyek tersebut diduga lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan oligraki, bukan kepentingan rakyat. Pemerintah seperti tidak serius melakukan efisiensi anggaran. Belum lagi, kebocoran anggaran akibat korupsi yang makin massif. Hal ini dipastikan akan meningkatkan biaya hidup masyarakat, harga-harga kebutuhan pokok pun pasti naik. Dalam pandangan Islam BBM dan energi lainnya hakikatnya milik rakyat bukan pemerintah. Pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut. Hasilnya tentu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya.
Salah satu penyebab awal dari naiknya harga bahan bakar minyak khususnya pertamax yaitu harga minyak mentah dunia yang mencapai lebih dari USD100 per Maret 2022 dan kondisi ini masih sama dengan keadaan saat ini. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyarankan agar menahan harga bahan bakar minyak pertamax, mengingat masih banyaknya dana yang diperlukan dalam pengaturan APBN yakni sebagai cara penahanan terhadap harga bahan bakar minyak nonsubsidi yang mengalami kenaikan. Penggunaan bahan bakar Pertamax sekarang ini sedang mengalami peningkatan hingga mencapai 21% dari total konsumsi bahan bakar. Namun, pertalite masih mendominasi konsumsi bahan bakar minyak yaitu sebesar 78% dari total penggunaan bahan bakar. Jika dibandingkan dengan total penggunaan BBM nasional, maka penggunaan BBM Pertamax terus meningkat mendekati 14%.
Tujuan utama pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pertamax sudah pasti adalah untuk menyeimbangkan dana APBN yang tujuan akhirnya adalah juga demi kemakmuran masyarakat. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan minyak juga sangat sesuai dengan keadaan, mengingat semakin berkembangnya kendaraan yang ada di Indonesia sehingga meningkatkan juga kebutuhan bahan bakar minyak bagi semua kendaraan tersebut.
Persediaan minyak mentah dunia yang semakin menipis juga harus diatasi dengan kebijakan-kebijakan yang memang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menghemat bahan bakar minyak agar dapat bisa terus digunakan oleh anak cucu kelak. Kementerian ESDM mencatat BBM Pertalite adalah BBM jenis bensin/premium yang paling banyak digunakan sepanjang 2021 dengan volume mencapai 23 juta kilo liter. Jumlah tersebut sekitar 79% dari total konsumsi BBM jenis bensin yang juga mencakup Pertamax, Pertamax Turbo, dan Premium.
Lantas bagiamana kebijakan ini dalam pandangan sosiologi hukum?
Dalam perspektif sociological jurisprudence, Indonesia dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendesain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Dimana tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit atau sebagai sekedar corong undang-undang tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
Adapun dalam perspektif Hukum Progresif, hukum energi nasional (HEN) sebagai sebuah sistem hukum idealnya digunakan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia bukan sebaliknya, seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa "hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia". Oleh karena itu, hukum untuk manusia adalah sebagai asumsi dasar hukum progresif yang hendaknya dapat ditanamkan dan disemaikan ke dalam bekerjanya hukum energi sampai di tataran praksis, termasuk dalam pengaturan harga perekonomian BBM yang sudah tidak memiliki landasan hukum di tataran implementasinya.
Kelahiran UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan pintu masuk dimulainya praktik liberalisasi harga perekonomian energi BBM, seperti dirumuskan di dalam Pasal 28 Ayat (2), alhasil muncul berbagai reaksi terhadap praktik liberalisasi tersebut yang bermuara pada konflik hukum. Dengan demikian, perdebatan tentang pengaturan harga energi BBM tersebut sebagai parameter betapa pentingnya kajian tentang problematika implementasi hukum energi nasional dalam melindungi hak rakyat atas energi BBM. Problematika praktik liberalisasi pengaturan harga perekonomian BBM menurut Pasal 28 Ayat (2) UU Migas beserta aturan dibawahnya cenderung kontraproduktif atau berlawanan dengan idealisme pengaturan harga perekonomian energi menurut Pasal 7 Ayat (1) UU 2007 Tentang Energi yang didasarkan kepada prinsip efisiensi berkeadilan yang diamanatkan oleh konstitusi di dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, yakni Pasal 33 Ayat (2) , Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI 1945.
Ditinjau dari segi yuridis normatif, fakta hukum menunjukkan bahwa implementasi fungsi hukum energi nasional belum dapat melindungi hak rakyat atas energi. Beberapa konflik hukum yang mewarnai implementasi praktik liberalisasi harga energi di sub sektor BBM, di antaranya yaitu: Putusan MK RI No.002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 tentang pembatalan Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Migas, Putusan MK RI Nomor 20/PUU-2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang pengujian Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, Putusan MK No.36/PUU-X/2012 tentang pembubaran Badan Pelaksana Migas, dan Judicial  review Pasal 7 Ayat (6a) UU APBN-P 2012 tentang pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM. Judicial reveiew beberapa pasal di atas merupakan bukti tidak sesuainya faham liberalisme di dalam kehidupan bernegara dan demokrasi ekonomi Indonesia yang berdasarkan nilai keadilan sosial Pancasila, dengan demikian nilai liberalis tersebut inskonstitutional atau bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang secara formil tidak sesuai dengan syarat-syarat formil pembuatan UU seperti diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Terakhir, ditinjau dari sisi sosiologis terdapat fakta sosial yang menunjukkan bahwa pelaksaan fungsi hukum energi nasional cenderung belum dapat melindungi hak rakyat atas energi BBM, hal ini dapat diperhatikan dari dinamika kenaikan harga BBM sejak tahun 2003 sampai  dengan tahun 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H