Mohon tunggu...
Darwanto
Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Pria manula, purnabakti PNS

Mencari, membagi, mensyukuri...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Mental Pasca-Pandemi

9 Mei 2020   16:10 Diperbarui: 9 Mei 2020   16:51 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ridwan Kamil minta hindari jabat tangan dan cipika cipiki (IG/ridwankamil)

Ada pesan penting yang menarik dari seminar melalui video conference yang diselenggarakan oleh Universitas Pakuan pada Rabu, 6/5/2020. Tema seminar adalah "Kota dan Desa Berketahanan dimasa Pandemi Covid-19".

Dikatakan oleh Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng, salah seorang pembicara dalam seminar itu, bahwa social engineering merupakan bagian penting dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Masyarakat perlu dibiasakan berperilaku sehat untuk mencegah penularan virus. Untuk itu perlu dilakukan revolusi mental dalam diri setiap warga bangsa, merujuk pada gagasan yang dicetuskan Presiden Jokowi pada awal periode pertama pemerintahannya.

Pada hemat saya, pernyataan Dr. Ruchyat Deni itu benar adanya. Kini memang saat yang tepat untuk melakukan Revolusi Mental yang sesungguhnya. Tujuannya agar kita sebagai bangsa bisa hidup lebih kuat lagi, secara jasmani dan rohani.

Kenapa saat ini adalah waktu yang tepat, karena kita sedang dipaksa oleh virus korona untuk mengubah kebiasaan kita yang selama ini keliru. Kebiasaan yang membuat virus korona mudah menyerang kita karena kita lengah, yang terbukti telah memakan banyak korban nyawa dan melumpuhkan perekonomian.

Revolusi mental yang dimaksud adalah mengubah perilaku yang keliru selama ini menjadi perilaku yang baru, yang lebih sehat, lebih mampu menghambat penularan virus.

Panduan dasar dari perilaku yang baru adalah pola hidup yang sehat, kepatuhan pada peraturan, bersikap kooperatif, dan berpandangan positif terhadap pihak lain.

***

Bertolak dari praktek pencegahan penularan virus korona yang dianjurkan para ahli, beberapa perilaku atau kebiasaan masyarakat Indonesia yang perlu dilanjutkan setelah pandemi usai adalah antara lain sebagai berikut.

Setiap orang perlu dibiasakan untuk memakai masker saat flu dan saat ada wabah jika pergi keluar rumah. Tujuannya untuk tidak menularkan sakit flu kepada orang lain dan untuk mencegah tertular virus dari orang lain. Tanpa dianjurkan, kelak kita akan otomatis menggunakan masker tanpa merasa  sungkan atau risih dilihat orang lain.

Masker dipakai saat naik angkutan umum, saat bekerja di kantor, saat mengikuti rapat, saat beribadah, saat menghadiri undangan, dsb. Masyarakat perlu disadarkan bahwa memakai masker adalah untuk kepentingan bersama, jadi harus dihargai dan tidak dicemooh atau dianggap anti sosial.

Perlu dibiasakan untuk membersihkan tubuh sendiri dan lingkungan terdekat. Setiap orang sebisa mungkin mandi dua kali sehari sesuai dengan iklim tropis yang mudah menyebabkan keluarnya keringat.

Kemudian mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sehabis buang air kecil dan besar, serta menggosok gigi setiap habis makan besar. Hal-hal ini elementer  ini merupakan kebiasaan sehari-hari bagi sebagian orang namun belum tentu demikian bagi sebagian orang lain.

Saat bertemu orang lain, biasanya dilakukan jabat tangan atau cipika-cipiki. Maka kebiasaan yang baru adalah menganggukkan kepala, jika perlu sambil mengatupkan kedua telapak tangan, dan mengucapkan salam, selamat pagi/siang/malam, atau ucapan selamat lain, seperti selamat menjabat posisi baru, selamat ulang tahun, dsb. Jabat tangan dihindari kecuali dengan orang asing.

Sebagai tanda rasa kangen, anak-anak dan remaja dapat menggaplokkan (menempelkan dengan tekanan) satu atau kedua telapak tangan sebagai pengganti jabat tangan, tidak perlu berangkulan.

Mengapa urusan jabat tangan saja mesti diatur negara/masyarakat? Jawabnya sederhana: tidak dilarang, namun jika ada cara yang lebih sehat untuk mengekspresikan perasaan, mengapa harus memakai cara yang kurang sehat, yang dapat menularkan virus?

Selanjutnya, yang perlu menjadi kebiasaan setiap orang Indonesia adalah antri saat menunggu giliran dilayani, saat naik angkutan umum, dsb. Kebiasaan ini sudah tampak dilakukan saat membeli tiket dan melewati pintu masuk/keluar busway dan MRT. Namun di luar itu, masyarakat masih sering berebutan memasuki bis/kereta api.

Memang keterbatasan obyek yang dicari merupakan pendorong orang untuk dahulu mendahului, namun tetap hal itu tidak benar. Pengelola terminal dan stasiun KA perlu membuat rambu-rambu agar penumpang dapat antri dengan tertib dan menggunakan sistem pesan secara online jika relevan.

Di dalam angkutan umum, perlakuan khusus perlu diberikan kepada orang tua, ibu hamil, wanita yang membawa bayi, tuna netra, orang yang cacat tubuh, dsb. Untuk itu perlu dipasang stiker besar yang menunjukkan penumpang yang harus diprioritaskan di setiap kendaraan umum.

Kursi untuk penumpang yang diprioritaskan perlu dibuat berbeda secara mencolok untuk mengingatkan penumpang bahwa kursi itu bukan setiap orang.

Selanjutnya, kewajiban untuk mematuhi peraturan lalu-lintas harus ditegakkan dengan konsisten. Indonesia belum bisa disebut sebagai negara maju jika pelanggaran lalu lintas dibiarkan terjadi.

Untuk itu marka jalan harus dibuat  jelas sehingga pengemudi mengetahui dimana ia harus berhenti saat lampu lalu-lintas berwarna merah. Perlu ditekankan bahwa marka jalan dibuat untuk mencegah kecelakaan, memperlancar arus lalu lintas, dan memastikan semua moda dapat menggunakan jalan secara adil. Jadi setiap orang harus mematuhinya.

Dalam hal pekerjaan, korupsi dalam berbagai bentuk adalah pelanggaran hukum yang harus dicegah dan tidak ditolerir.

***

Pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita bahwa manusia di muka bumi ini saling terhubung satu dengan yang lain. Wabah virus korona yang muncul pertama kali di Wuhan, China, dalam hitungan bulan dapat menyebar ke seluruh dunia, tanpa bisa dicegah dengan mudah.

Bencana dapat menjalar dari suatu daerah di suatu negara ke negara-negara lain. Demikian pula sebaliknya, kemakmuran bisa menjalar dari suatu negara ke negara lain. Negara-negara yang sudah terbebas dari virus korona seperti Korea Selatan, China, dan Taiwan (China) memberi bantuan berupa masker, alat pelindung diri, obat-obatan ke negara-negara lain, termasuk ke Eropa dan AS, walau diantara negara-negara itu sedang terlibat perang dagang.

Kita tidak bisa hidup sendiri, maka kita tidak boleh menganggap negara atau bangsa lain sebagai musuh yang harus dijauhi. Sebaliknya, kita harus menganggap negara-negara lain sebagai sesama warga bumi yang saling bekerja sama untuk kemaslahatan umat manusia.

Mental menganggap bangsa/negara lain sebagai musuh karena berbeda ideologi perlu kita singkirkan. Jangan ada stereotype atau pandangan buruk terhadap bangsa/negara lain tanpa bukti yang jelas bahwa bangsa/negara lain itu membahayakan bangsa/negara sendiri.

***

Apa yang diuraikan di atas hanya sebagian kecil saja dari upaya revolusi mental yang harus dilalui bangsa Indonesia untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang sehat, tertib dan damai. Tanpa mengubah perilaku buruk yang selama ini dilakukan, kita juga tidak akan menjadi bangsa yang besar, yang memberi rahmat bagi semesta alam.

Tentunya perubahan mental saja tidak dapat mengatasi pandemi. Tetap perlu ada penanganan lain seperti pelacakan sumber virus, imunisasi/vaksinasi, social dan physical distancing, penutupan wilayah/lockdown, dan sebagainya. Revolusi mental diarahkan untuk mendorong setiap warga patuh menjalani berbagai ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Ego individu ditekan demi kepentingan bersama.

Kita tidak ingin melihat chaos terjadi di sekitar kita akibat mental yang serakah, individualistis dan kebiasaan yang tidak sehat. Chaos membuat pikiran kalut, badan lelah dan mudah emosional.

Momentum pandemi Covid-19 sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan revolusi mental, mengubah kebiasaan dan perilaku buruk, yang membuat kita cenderung terpuruk. <>

Herry Darwanto, 7/5/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun