Jepang termasuk segelintir negara yang disanjung karena berhasil mengalahkan virus korona, seperti halnya China, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.
Rendahnya kasus positif Covid-19 di Jepang pada saat negara-negara Eropa menunjukkan peningkatan yang tinggi sekitar Maret yang lalu sering dihubungkan dengan budaya khas Jepang.
Orang Jepang biasa menggunakan masker saat sakit, tidak melakukan kontak fisik saat bertemu/berpisah dengan orang lain, tidak ngobrol di angkutan umum, dsb. Sistem pelayanan kesehatan di Jepang mendukung tingkat kesehatan masyarakat yang tinggi.
Namun sejak awal bulan April ini, jumlah kasus baru dan kematian akibat Covid-19 melonjak cukup drastis. Maka pemerintah menetapkan status darurat negara pada 7 April 2020 yang berlaku untuk 7 prefektur, meliputi Tokyo, Osaka dan kota-kota besar lain.
Kebijakan ini mirip dengan PSBB di Indonesia, dimana prefektur dapat meminta warga untuk tinggal di rumah dan menutup perkantoran/perdagangan tertentu. Sementara pemerintah pusat membagikan bantuan uang sebesar 100.000 untuk setiap penduduk, dan mengalokasikan dana sebesar 1 triliun untuk mendukung usaha kecil dan menengah.
Pada 16 April lalu keadaan darurat diperluas ke seluruh prefektur dan diperpanjang hingga 6 Mei. Pada 29 April, Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan akan mempertimbangkan perpanjangan masa darurat hingga akhir Mei atau 7 Juni, genap satu bulan perpanjangan masa darurat. Hari Jumat ini, 1/5/2020, pemerintah akan memutuskan jadi tidaknya perpanjangan itu.
Pasalnya, walaupun jumlah kasus positif dan kematian akibat virus korona telah menurun sejak dua minggu terakhir, namun angkanya masih tinggi. Pada Rabu (29/4/2020) lalu tercatat ada 47 tambahan kasus baru di wilayah Metropolitan Tokyo. Pemerintah akan mencabut status darurat jika kasus baru dapat diturunkan hingga 20-30 orang.
***
Cara Jepang mengatasi pandemi Covid-19 tidak sama dengan negara-negara lain. Jepang menerapkan social distancing tidak melakukan lockdown seperti China dan negara-negara Eropa dan AS, tetapi juga tidak melakukan tes massal untuk menapis orang yang positif terkena Covid-19 dengan orang yang tidak terpapar, seperti di Korea Selatan dan Singapura.
Pertimbangan untuk tidak melakukan lockdown adalah untuk menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya sudah rendah. Sedangkan alasan untuk tidak melakukan tes massal adalah karena hal itu dianggap tidak efektif.
Adapun social distancing model Jepang adalah mencegah 3C, yaitu closed spaces (ruang tertutup dengan ventilasi buruk), crowded places (tempat yang sesak dengan orang banyak yang berkerumun, dan close-contact (kontak jarak dekat seperti ngobrol secara berdekatan).