Mohon tunggu...
Henli Bestyana
Henli Bestyana Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasiswi salah satu universitas yang katanya "universitas perjuangan". Iya, karena dibutuhkan perjuangan untuk bayar kuliahnya, untuk lulusnya, dan perjuangan untuk berada didalam tantan sosial kampus. Feel free to argue and disagree with my opinions, im a learner too.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"If You Aren't Outrage, You Are Not Paying Attention"

29 Agustus 2017   21:12 Diperbarui: 29 Agustus 2017   21:21 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan di atas saya temukan lewat jejaring sosial yang sering saya santroni setiap malam (sejujurnya setiap saat). Singkat dan menohok, sebuah pernyataan yang bisa dikategorikan  sebagai kalimat "judgemental". Kamu harus marah, katanya. Ketika saya tidak marah artinya saya kurang memperhatikan, katanya. Namun pada kenyataannya, saya memang sedang marah dengan kondisi disekitar saya maupun yang jauh dari saya sekalipun. Hal ini berulang kali saya curahkan kepada teman saya setelah saya melihat, membaca dan mendengar berita-berita. 

 Dimulai dari huru-hara agama menjelang pilkada, kemudian kepada kasus bom yang menewaskan beberapa orang di Indonesia. Kasus main hakim sendiri dengan adanya pembakaran tersangka pencurian di Masjid. Tidak berhenti disana, terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika yang berulangkali memperlihatkan kecondongannya kepada rasisme. Kasus terorisme di Spanyol, sampai pada kasus penembakan pada klub-klub LGBT yang mempertajam fenomena  Islamicphobia di Eropa.

Daftar tersebut terus bertambah seiringan dengan kemarahan yang saya sendiri tidak tahu harus dicurahkan kepada siapa. Pertanyaan "Siapa yang harus disalahkan?" menurut saya sudah tidak relevan lagi. Separuh hati saya percaya bahwa kasus-kasus tersebut merupakan akumulasi dari bentuk protes setiap individu terhadap sebuah kasus sebelumnya.

 Tentu saja saya tidak membenarkan setiap kejahatan diatas, hanya saja saya ingin memaklumi bahwa setiap individu punya pemikirannya sendiri (terlepas apakah pemikiran tersebut sesat maupun benar). Sekali lagi, jangan ambil pernyataan saya mentah-mentah. Saya tidak memaklumi pemikiran mereka ataupun perbuatan mereka, namun memaklumi bahwa itulah sifat alamiah manusia yang akan selalu merespon sesuatu yang mereka alami. Baik respon terhadap doktrin-doktrin sesat yang tidak dipastikan kebenarannya, maupun perasaan pahit yang bercokol di dada mereka karena ketidakadilan yang mereka alami sebelumnya.

Konsep "The Butterfly Effect"mungkin cocok untuk menggambarkan pernyataan saya diatas. Mungkin hal-hal yang telah saya sebutkan diatas merupakan hasil dari perkara kecil yang perlahan melebar dan menghasilkan fenomena internasional tersebut. Dasar inilah yang menghalangi saya untuk menyalahkan individu maupun kelompok tertentu. Bagaimana caranya saya bisa menemukan titik awal dari permasalahan tersebut? Rasa-rasanya tidak mungkin dan pastinya penemuan saya tidak akan objektif. 

Keadaan ini diperparah dengan berita-berita yang dikemas ulang oleh beberapa oknum untuk memperpanas keadaan. Ironisnya, kalimat diatas yang saya sebutkan tadi juga berlaku kepada pihak ini. Alhasil, kemarahan tersebut diaplikasikan kepada perbuatan nyata yang dilandaskan oleh kebenaran versi mereka. Amankah untuk mengelompokkan ini sebagai titik balik setiap individu akan kemarahan yang kian memuncak?

 Tulisan ini juga termasuk dalam bentuk nyata dari amarah saya yang dicurahkan lewat tulisan, bukan berarti saya sudah memperhatikan betul-betul kondisi dunia ini. Saya yakin saya tidak kuat hati untuk melihat semua kenyataan tersebut, semakin saya melihat semakin menumpuklah amarah saya. Hanya saja, mungkin amarah saya masih dikategorikan sebagai gerutu belaka. Idealisme saya masih berharap saya dapat melakukan perubahan yang mampu untuk memperbaiki sebagian kecil dari kejahaan tersebut. Ya, bermimpi boleh bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun